Di tahun 1988 rakyat Chile melaksanakan referendum. Referendum ini bertujuan untuk menentukan apakah Jenderal mereka –Augusto Pinochet, tetap memerintah sebagai Presiden atau harus turun dari jabatannya. Hanya ada dua pilihan di surat suara; “YES” untuk melanjutkan rezim Pinochet atau “NO” untuk mencukupi kekuasaannya. Baik suksesor “YES” maupun “NO” diberi kesepatan untuk menarik simpati masyarakat lewat media televisi. Namun, rezim otoriter yang diciptakan oleh Pinochet mencurangi kampanye ini. Dalam satu hari siaran televisi, kubu NO hanya diberi waktu 15 menit untuk menayangkan iklannya di televisi, itu pun waktu dini hari. Meski akhirnya kubu NO memenangkan referendum, namun media tak pernah mengatakan bahwa Pinochet berhasil dikalahkan. Media hanya berkata Pinochet menang 44% dari referendum. Perang media juga terjadi di Kolombia hingga sekarang. Media menjadi tempat bertarung negara dan pemberontak yang disponsori drug trafficker. Dengan kekerasan dan penyuapan, mereka mendesak media untuk meminimalisir propaganda War on Drugs yang ditetapkan pemerintah.
Baik di Chile maupun di Kolombia, kita bisa melihat bahwa media adalah alat pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik. Sadar atau tidak, ada prinsip yang berlaku bahwa barangsiapa bisa mengontrol media dia bisa mengontrol negara. Itulah mengapa politisi berlomba menggaet media untuk membantu kampanye politik mereka. Apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini menggambarkan hal yang sama. Tahun ini, polarisasi media terlihat makin jelas. Hampir semua media baik cetak maupun online menunjukkan keberpihakan politiknya. Beberapa menyatakannya secara gamblang. Beberapa media yang pintar beretorika menyampaikan keberpihakannya secara implisit. Media ini tidak berdiri sendiri, mereka menggandeng lembaga survei untuk memperkuat isi beritanya. Tanggal 9 Juli lalu bisa kita lihat jelas gejala ini. Belum sampai TPS ditutup pukul satu, media telah menampilkan perolehan suara sementara hasil hitung cepat (Quick Count). Beberapa jam setelahnya juga hari-hari selanjutnya, hasil quick count masih terus ditampilkan di sisi bawah layar atau tertulis dalam running text. Paling tidak kita bisa mengkategorikan media menjadi dua. Kelompok pertama terdiri dari TV One, RCTI, Global TV dan MNC TV bekerjasama dengan JSI,IRC,LSN dan Puskaptis yang memenangkan Prabowo dengan rata-rata kemenangan 51%. Sedangkan di waktu yang sama, Metro TV dan Kompas bekerjasama dengan LSI, SMRC dan tim litbang kompas menunjukkan kemenangan Jokowi di angka 52%.
Keberpihakan ini membawa dua implikasi. Pertama, rakyat yang bingung dalam menyerap informasi. Kedua, rakyat yang kurang kritis akan mudah terprovokasi isi media. Penelitian yang dilakukan oleh Edelman Trust Barometer baru-baru ini mengatakan bahwa media adalah sumber informasi yang paling dipercaya masyarakat. Bahkan penelitian ini menyebutkan kepercayaan masyarakat pada media jauh lebih besar dibanding kepercayaannya pada pemerintah. Ketika kepercayaan masyarakat pada media kelewat besar dan masyarakat menerimanya secara taken for granted, risikonya sikap yang diambil masyarakat pun keliru. Inilah mengapa kerap terjadi konflik pasca pemilu 9 Juli lalu. Masing-masing simpatisan capres menganggap capres mereka yang menang dan menyetujui tuduhan media bahwa capres yang lain melakukan kecurangan. Cara media yang terkesan memprovokasi massa membuat situasi makin panas. Beberapa waktu lalu kita tahu TV One mengaitkan PDIP dengan PKI. Wacana ini ternyata berimbas pada diserangnya kantor TV One di Yogyakarta. Jurnalisme yang tidak sehat ini akhirnya membuat rakyat seakan sedang diadu domba. Mereka yang asal percaya apa kata media, menjadikan informasi ini sebagai landasan perilaku mereka.
Oleh karenanya, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah saling berbagi informasi. Sebuah website berjudul kawalpemilu.org mengajak partisipasi massa untuk mengawal pemilu. Caranya mudah yaitu dengan mengunggah scan formulir C1 dan menghitung hasil perolehan suara kedua kandidat. Saya rasa, website ini bisa kita jadikan alternatif untuk mengawal hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU. Pertama karena website ini bersifat independen, tanpa disponsori pihak manapun, sehingga dapat dipastikan hasilnya tak memihak salah satu kandidat capres-cawapres manapun. Kedua, website ini memungkinkan partisipasi semua orang untuk terlibat baik dalam mengunggah formulir C1 maupun mengecek keabsahan formulir tersebut. Sehingga, ketika nanti ada pihak-pihak yang mencederai hasil rekapitulasi KPU, paling tidak hasil penghitungan real count website ini bisa dijadikan referensi untuk menggugatnya.
Selain itu, untuk menghindari konflik antar simpatisan, kita bisa melepaskan diri dari jebakan media dengan berpikir cerdas mengedepankan logika bukan emosi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdiskusi lewat media sosial. Beberapa waktu sebelum Pilpres tanggal 9 Juli kita tahu ada beberapa surat terbuka yang ditulis oleh masing-masing simpatisan. Cara ini memungkinkan kedua belah pihak untuk menilai baik-buruk masing-masing capres dan cawapres. Diskusi terbuka di media sosial ini tentu lebih menyehatkan dibanding adu fisik seperti yang terjadi juga di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Dari sini kita mencapai kesimpulan bahwa tugas kita belum selesai. Kita masih harus mengawal hasil pemilu dan menjaga diri untuk tidak terprovokasi. Dewasa memilah dan memilih informasi itulah yang kita butuhkan. Sebagai warga yang cerdas baiknya kita tidak tersulut emosi sebelum kebenaran terkonfirmasi. Akhirnya, selamat menikmati hasil rekapitulasi.
Ganesh Cintika Putri
BPPM Balairung
Universitas Gadjah Mada
Bekerjasama dengan Simpati Golbro http://simpati.telkomsel.com/golbro/