Kamis (1/5) menjelang pukul 10.00, Titik Nol Km Yogyakarta nampak semakin padat. Sekelompok pemuda dari Aliansi Rakyat Indonesia Tertindas (ARIT) melakukan orasi disertai aksi membakar ban dan membawa keranda. Sedangkan dari arah Malioboro, gabungan dari berbagai aliansi yang menamakan diri Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) berorasi secara bergantian. Selain itu terdapat juga pembacaan puisi, pentas musik, dan teatrikal jalanan. Aksi gabungan tersebut terkait dengan peringatan hari buruh yang mana sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi buruh yang masih tertindas.
ARIT menuntut agar perusahaan memberikan upah yang layak dan tidak mengeksploitasi buruh. Selain itu, ARIT menolak Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bagi mereka, kebijakan yang demikian justru akan menunjukan keberpihakan pemerintah terhadap pemodal asing.
Sementara itu, Koalisi Rakyat Bersatu (KRB) meminta pemerintah untuk memperbaiki sebelas hal. Diantaranya adalah penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Keberadaan serikat buruh juga harus dilindungi dari usaha pemberangusan dan kekerasan. Selain itu, perempuan juga harus diberi hak reproduksi. Bagi difabel pun harus diberikan tempat setidaknya 1% di tiap perusahaan. Di masa mendatang juga perlu adanya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
KRB terdiri dari beberapa gerakan baik intra maupun ekstra kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM, Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) cabang UII. Namun tidak semua berorasi bersama. Akhirnya hanya HMI cabang UII yang melanjutkan orasi di Titik Nol Km. Senada dengan ARIT, HMI pun menolak MP3EI. Sementara itu, aliansi yang tergabung dalam KRB lainnya berorasi di depan Gedung Agung. “Turun ke jalan dan membakar ban bukan budaya kami (mahasiswa UGM),” jelas Aditya Herwin selaku ketua BEM KM UGM terkait orasi di depan gedung agung.
Isu relokasi Sunmor juga tidak ketinggalan untuk diorasikan. BEM KM UGM menuntut pihak UGM untuk segera menyelesaikan relokasi sehingga masalah ini tidak berlarut. Mereka mengklaim bahwa UGM meraup keuntungan hingga Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) dari relokasi tersebut.
Namun tidak bisa menyatukan semua masa untuk berorasi. Padahal, sebelum hari H sudah ada komunikasi untuk menggelar orasi bersama. “Namun masih ada golongan tertentu yang hanya ingin mencari nama dan turun ke jalan sendiri,” ujar Zim Nales, salah satu anggota ARIT.
Bahkan serikat buruh juga menolak untuk berorasi di jalan dan melakukan long march. Mereka lebih memilih untuk mengikuti acara yang diadakan di gedung DPRD Yogyakarta. “Kami sudah melakukan koordinasi dengan Serikat Buruh, tetapi mereka menolak melakukan long march karena menyusahkan. Lebih baik diadakan jalan santai bersama dan diakhiri dengan pemberian door prize,” tambah Zim Nales.
Serikat buruh memang tidak ikut serta dalam aksi bersama mereka. Namun, mereka memutuskan untuk tetap turun ke jalan. “Toh perjuangan tidak harus dilakukan semua orang,” kata Zul Mukti, salah satu anggota ARIT. [Auviar Wicaksanti, Dimas Syibli M. Haikal, Erbha Nurfidya, Kevin M.]