
©Pandan.bal
Jumat (2/5) sore, Pusat Studi Pedagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (PSPD UGM) menggelar diskusi bertema ‘Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Upaya Pemajuan Kepentingan Negara Berkembang di World Trade Organization (WTO)’. Bertempat di ruang D01 PSPD UGM, diskusi ini bertujuan membagi ilmu pada dosen dan mahasiswa pada khususnya. “Kami menggelar acara ini secara mingguan,” tutur Harri Fajri, anggota riset PSPD UGM selaku moderator diskusi.
Menurut N. Afif Fauzi selaku pemateri, saat ini terjadi pergeseran kekuasaan di WTO. “Salah satu aspek penyebab adalah semakin majunya negara berkembang,” tutur mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM ini. Contoh negara berkembang tersebut ialah Brazil, Cina, India dan Turki. Peningkatan perekonomian mereka mendesak perekonomian negara-negara maju.
Selain itu, Afif mengungkapkan, krisis ekonomi dunia turut memengaruhi pergeseran tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa tak bisa mengelak dari dampak krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu saja melemahkan perekonomian negara-negara maju tersebut. “Mau tidak mau, saat ini perekonomian mereka bergantung pada negara berkembang,” tambah Afif.
Dua aspek tersebut telah menyebabkan pergeseran kekuasaan di WTO. Afif menuturkan, sebelumnya kuasa penentu kebijakan ekonomi WTO didominasi oleh negara-negara maju. Namun dengan munculnya dua aspek tersebut, negara berkembang mempunyai sedikit kuasa. “Buktinya terlihat jelas pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) kesembilan WTO di Bali,” tambah Afif. Ia menjelaskan, Indonesia dan Cina mendominasi dalam konferensi tersebut. Kedua negara itu sangat berperan menekan ancaman veto India.
Selain itu, KTM kesembilan WTO menghasilkan tiga keputusan ekonomi yang menguntungkan bagi negara berkembang. “Tiga keputusan itu mencakup aspek pertanian, fasilitas perdagangan dan negara kurang berkembang,” terang Afif. Ia menambahkan, diplomasi ekonomi Indonesia merupakan upaya yang bagus untuk meningkatkan ekonomi negara-negara berkembang di WTO. “Indonesia memiliki potensi kepemimpinan negara berkembang, oleh karena itu diplomasi ekonominya patut diapresiasi,” pungkas Afif di akhir diskusi.
Kusman, peserta diskusi, turut berkomentar bahwa upaya Indonesia untuk memajukan perekonomian negara berkembang melalui WTO adalah pencapaian yang sangat positif dan luar biasa. Menurutnya, tema yang diangkat dalam diskusi ini bagus karena membuat mahasiswa tahu isu-isu ekonomi yang berkembang di dunia. “Sebaiknya tema yang dipilih lebih dalam menguak permasalahan-permasalahan ekonomi, tidak di permukaannya saja,” saran mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Hubungan Internasional itu. [Catur Dwi Janati, Ratu Pandan Wangi]