
©Hansel
Judul Tesis : Dilema pengelolaan pajak parkir wilayah, fenomena negara bayangan dan pasar gelap pajak parkir Bangutapan Bantul
Tahun : 2013
Penulis : Celly Cicellia
“Pergeseran wilayah Banguntapan dari rural menjadi sub urban, berdampak pada peningkatan kebutuhan akan lahan parkir“
Seiring bertambahnya jumlah kendaraan pribadi terutama sepeda motor tentu semakin banyak pula dampak yang ditimbulkan. Ada banyak aspek yang menarik untuk diteliti terkait fenomana pertambahan jumlah kendaraan pribadi. Mulai dari asap kendaraan yang ditimbulkan hingga pengelolaan lahan parkir. Pengelolaan lahan parkir merupakan salah satu aspek yang kurang mendapat perhatian dari kebanyakan orang. Padahal, pembahasan tentang pengelolaan lahan parkir sangat erat hubungannya dengan pendapatan pajak parkir. Penggunaan lahan parkir tentu menghasilkan pajak sebagai bentuk sumbangan pada negara.
Mekanisme dan optimalisasi pengelolaan pajak menjadi topik penelitian tentang pengelolaan pajak pajak parkir di kecamatan Banguntapan kabupaten Bantul. Kecamatan ini terletak di timur kecamatan Kotagede bagian Kota Yogyakarta. Banguntapan merupakan salah satu wilayah yang mengalami perubahan dari pedesaan menjadi sub urban. Pengertian sub urban adalah wilayah pedesaan yang lokasinya berada di pinggiran kota. Selain karena lonjakan jumlah kendaraan bermotor, relokasi terminal Umbularjo ke Giwangan juga menyumbang peningkatan lahan parkir. Ditambah lagi munculnya tempat wisata baru seperti monumen TNI AU, museum Wayang kekayon, situs Kotagede, Rumah Joglo Antik, dan Desa Wisata Jagalan. Terakhir, keberadaan Jogja Expo Center (JEC) yang rutin menyelenggarakan acara.
Berbagai faktor di atas menyebabkan meningkatnya kecenderungan untuk melakukan kegiatan ekonomi, salah satunya penyediaan jasa parkir. Kebutuhan lahan sebagai tempat parkir menjadi pertimbangan penting bagi penyedia jasa parkir. Penggunaan lahan sebagai tempar parkir inilah yang kemudian menyumbang pendapatan pajak parkir.
Pada kenyataannya, pengelolaan pajak parkir di Banguntapan belum optimal. Hal ini terlihat dari pendapatan pajak parkir tidak memberikan sumbangan yang dominan seperti pajak yang lain. Data dari Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) menunjukkan di tahun 2011 pendapatan pajak parkir mengalami peningkatan sekitar 25%. Hal ini berbanding jauh dengan pendapatan pajak resto yang mengalami peningkatan 400% dari tahun 2010. Fenomena inilah yang mendasari Celly Cicellia melakukan penelitian tentang pengelolaan pajak parkir di Banguntapan. Ada tiga rumusan pertanyaan yang diajukan oleh lulusan Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Publik ini. Pertama, tentang keterkaitan pemerintah pengelola pajak parkir dan wajib parkir di kecamatan Banguntapan. Kedua, munculnya fenomena pungutan liar pengelolaan pajak di wilayah . Terakhir, muncul fenomena pungutan liar dalam pengelolaan pajak di wilayah .
Peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif naturalistik. Melalui metode ini peneliti mengumpulkan data melalui observasi langsung di lapangan dan wawancara. Dalam konteks penelitian ini, metode kualitatif naturalistik digunakan penulis untuk menjelaskan alur pemungutan pajak. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan informan yang berhubungan langsung dalam praktik penarikan pajak parkir. Informan dari birokrasi adalah Kepala DPPKAD Bantul dan Kepala Penagihan DPPKAD Bantul. Informan non birokrasi adalah pengelola pajak parkir Banguntapan dan tukang parkir di sekitar Terminal Giwangan. Data pendukung selanjutnya berupa pendapatan pajak parkir dari tahun ke tahun. Data ini diperoleh melalui dokumen resmi dari DPPKAD.
Hasil temuan menunjukkan praktik penarikan wajib pajak ada dua mekanisme yang ditetapkan oleh pemerintah Banguntapan. Mekanisme self assessment dengan memberikan kewenangan tersendiri bagi wajib pajak untuk menghitung pajak parkir yang harus disetor. Pajak yang harus disetorkan sebesar 30% dari penghasilan kotor pajak parkir. Salah satu contoh wajib pajak yang menggunakan mekanisme ini adalah pengelola JEC.
Kedua adalah mekanisme flat, mekanisme ini berlaku pada wajib pajak yang tidak terdaftar. Dalam peraturan daerah bantul No 8 tahun 2010 tidak menyebutkan suatu mekanisme yang jelas tentang pemungutan pajak parkir secara flat. Pemungutan pajak flat hanya berdasarkan pertimbangan dari wajib pajak dan pegawai Koordinator Pajak Kecamatan (KPK). Peran KPK adalah sebagai bagian dari pemerintahan yang berhubungan langsung dengan pengelola parkir.
Pada mekanisme flat inilah yang mendorong terjadinya penyimpangan antara pemerintah dan pengelola jasa parkir. Melalui wawancara yang peneliti lakukan, ia menemukan fakta adanya praktek kejahatan preman. Seringkali preman di Banguntapan membuat kerusuhan dengan memaksa meminta uang pada pengelola parkir. Sebagian besar pembuka jasa penitipan motor enggan mendaftar sebagai wajib pajak . Lantas mereka memanfaatkan preman-preman setempat sebagai pelindung demi menghindari pungutan pajak dari KPK. Dengan demikian wajib pajak cukup memberi uang rokok atau uang makan preman. Untuk pegawai KPK, wajib pajak cukup mengganti dengan uang transport.
Hasil penelitian secara keseluruhan menyimpulkan ada empat faktor yang menyebabkan munculnya pemungutan liar. Pemungutan liar merujuk pada KPK yang meminta uang transport pada pengelola parkir. Faktor pertama, pergeseran kecamatan Banguntapan dari wilayah pedesaan menjadi wilayah sub urban. Hal ini tentu menimbulkan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Mulai dari meningkatnya warung makan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok hingga tempat wisata.
Kedua, adanya pembagian mekanisme pemungutan pajak yang justru saling bertentangan. Mekanisme self assessment mendorong wajib pajak supaya rutin untuk membayar pajak. Mekanisme flat justru memberikan peluang lebih besar terjadinya penyelewengan. Penyimpangan ini dilakukan oleh beberapa pihak diantaranya pengelola jasa parkir, oknum pegawai KPK dan preman setempat.
Ketiga, tidak adanya dana atau fasilitas operasional untuk pegawai KPK Banguntapan, sehingga menimbulkan adanya pungutan liar seperti uang rokok atau uang transport. Terakhir adalah sikap acuh dari Kepala Seksi Penagihan DPPKAD kabupaten Bantul. Tidak ada pengawasan dan kontrol terhadap KPK, bahkan cenderung menganggap remeh.
Pada akhir tesisnya , peneliti memberikan beberapa rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut. Peneliti berharap rekomendasi penelitian ini benar-benar dilakukan sehingga mampu meningkatkan pengelolaan pajak parkir yang lebih baik. Rekomendasi penelitian itu salah satunya adalah fenomena kemunculan pungutan liar. Bahkan kemunculan fenomena ini dianggap memunculkan dampak yang lebih luas bila tidak ada penanganan yang serius. Misalnya, semakin marak tingkat kejahatan preman di bidang pengelolaan pajak.
Tidak hanya rekomendasi untuk penelitian lanjutan, peneliti juga memberikan rekomendasi kebijakan untuk pemerintah setempat. Pertama, tindakan tegas dari DPPKAD dengan memberikan pemahaman terhadap KPK. Sebagai aparat pemerintahan, seharusnya mereka mendukung adanya peningkatan PAD, bukan menyimpang. Selanjutnya menghilangkan sistem pemungutan pajak flat. Seharusnya hanya ada satu mekanisme pasti yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak parkir. Secara konstitusional pajak dapat digolongkan sebagai paksaan pembayaran dari warga negara kepada negara.( Kelsen 1995 : 273).
Tesis ini menunjukkan bahwa pengelolaan pajak di Banguntapan memang belum optimal. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan terkait pengelolaan pajak di tempat lain. Banguntapan sebagai daerah pinggiran kota saja masih belum optimal lantas bagaimanakah pengelolaan di daerah lain. Masih ada banyak hal yang patut diperhatikan, termasuk kinerja pemerintah sebagai pengelola pajak. Penanganan lebih lanjut mengenai pengelolaan pajak ini tentu bisa mengurangi kerugian yang lebih besar. (Wulan Pangestika)