Upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini ternyata tidak selalu di terima oleh masyarakat. Contohnya adalah pembangunan bandara di Kulon Progo yang mendapat penolakan dari warga. Hal inilah yang didiskusikan dalam Forum Sekolah Bersama (Sekber) Yogyakarta yang diselenggarakan pada Kamis (4/4) di Selasar Barat Fisipol UGM. Forum ini dihadiri oleh beberapa LSM dan Kelompok Pergerakan se-Yogyakarta. Diantaranya adalah Organisasi Perempuan Mahardika selaku penyelenggara, Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Wahana Tri Tunggal (WTT) dan Gerakan Cakrawala Mahasiswa Jogja Perbincangan itu membahas tema “Kapitalisasi Pertambangan, Proyek MP3EI dan Peran Intelektual”.
Diskusi ini diawali dengan penjelasan mengenai oleh salah seorang perwakilan dari Perempuan Mahardika film dokumenter yang berisi dampak negatif pertambangan dan kapitalisasi . Film yang berlatar di minahasa tersebut berisi gambaran penderitaan warga yang terdampak dari limbah di sekitar pabrik Newmont. Dahulu pernah ada mahasiswa yang melakukan penelitian tentang Newmont tetapi hasilnya menyatakan bahwa perusahaan tersebut tidak mencemari masyarakat Minahasa. Perempuan Mahardika mempertanyakan kredibilitas mahasiswa tersebut sebagai kaum intelektual yang membela rakyat. “Dimana letak peran intelektual muda kini? Dengan ilmu, intelektual muda kini menjadi kancing-kancing kapitalis,” pungkas perwakilan Perempuan Mahardika.
Beberapa perwakilan LSM dan organisasi pergerakan rakyat ikut dalam forum ini. “Upaya pemerintah ini hanyalah pesanan dari perusahaan asing,” ujar Akbar Naser, dari Gerakan Mahasiswa Cakawala Jogja. Karena pemerintah membangun infrastruktur besar-besaran di daerah, di sisi lain keran investasi terbuka lebar. Selain itu muncul dampak negatif pembangunan yang dilakukan oleh MP3EI dan pertambangan, dimana warga masyarakat kehilangan mata pencaharian. “Cakrawala Jogja menolak segala pembangunan dan pertambangan yang ada. Karena itu hanyalah proyek yang hanya menguntungkan para kapitalis asing,” ujar Akbar.
Forum diskusi ini pun membahas penolakanya terkait Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI adalah lembaga non pemerintah yang dikordinir oleh Menteri Perekonomian sebagai pelaksana dan perencana pembangunan ekonomi Indonesia. Moderator diskusi memaparkan beberapa konsep mengenai MP3EI. Diantaranya MP3EI membagi Indonesia menjadi enam koridor pembangunan. Koridor pembangunan tersebut diantaranya adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku. Namun faktanya masterplan tersebut hanya digunakan sebagai alat mengundang investor asing. Sehingga masyarakat tidak mendapat keuntungan atas dana pajak yang telah dibayarkan. “Presiden SBY dalam forum APEC menyatakan Indonesia terbuka kepada investor asing dan siap memberikan infrastruktur penunjang,” jelas sang moderator.
Contoh permasalahan MP3EI yang nyata adalah rencana pembangunan bandara internasional di Kulon Progo. Mbah Jo, perwakilan Wahana Tri Tunggal (WTT) menjelaskan permasalahan bandara yang akan dibangun di pesisir selatan Yogyakarta ini. Mbah Jo menyatakan bahwa pemerintah melakukan kesewenang-wenangan dalam rencana pembangunan tersebut. Dalam dialek jawa yang khas, dia menjelaskan pada peserta diskusi tentang permasalahan di daerahnya. Mbah Jo menambahkan bahwa pemerintah telah mengintimidasi warga agar mendukung proyek ini. Bila jadi dibangun, proyek ini akan menggusur lebih dari 600 hektare lahan pertanian yang di gunakan sekitar 10.000 warga. “Seharusnya pemerintah sebagai penguasa mengerti soal proyek bandara ini dan sosialisasi pada warga dulu sebelum pembebasan lahan. Kasihan warga akan kehilangan pekerjaan,” jelas Mbah Jo.
Selain membahas permasalahan MP3EI, diskusi ini membahas bentuk kapitalisasi di sektor pertambangan. Salah satu peserta diskusi adalah Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) yang berasal dari Kulon Progo. Mereka turut aktif dalam pembelaan para petani yang tanahnya dirampas oleh perusahaan tambang. Terutama dalam permasalahan yang beberapa waktu lalu terjadi di daerah Wates. Permasalahan itu muncul pendirian perusahaan pengelolan pasir besi PT Jogja Magasa Iron. “Usaha tambang ini mengakibatkan kerugian bagi para petani. Hanya menguntungkan perusahaan. Sedangkan usaha tambang tidak banyak menyerap tenaga kerja,” ujar salah seorang anggota PPLP
Pada akhir diskusi, para pembicara menyimpulkan bahwa perlu penekanan kembali peran intelektual muda dalam menghentikan kapitalisme dan eksploitasi tambang. Karena kaum intelektual mengerti dan paham terhadap permasalahan yang ada di pemerintahan. Kesimpulan lain pun menyatakan bahwa pemerintah pun menumbuhkan kapitalisme di Indonesia dengan perlakuan khusus kepada investor baik lokal dan asing. Apapun yang dilakukan pemerintah bila ada kaitanya dengan perusahaan asing yang bergerak di tambang ialah bentuk nyata kapitalisme. Di sisi lain warga masyarakat yang terkena dampak pembangunan terpaksa kehilangan pekerjaan dan termarjinalkan. “Intelektual muda itu mengerti dan paham. Kita perlu bergerak untuk bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah agar tidak pro kapitalis melainkan pro rakyat,” pungkas sang moderator. [Syauqy Uzhma Haris]