Tak kurang dari satu bulan lagi rakyat Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi, namun semarak menyambut Pemilihan Umum (Pemilu )seperti lima tahun sebelumnya belum terasa. Ini dikatakan Sindung Tjahyadi, moderator seminar bertajuk “Filsafat Politik Indonesia Untuk Pemilu yang Berkeadilan,” Selasa pagi (11/03). Menurut Sindung, keadaan yang adem ayem menjelang Pemilu mengindikasikan dua hal. “Mungkin masyarakat sudah mencapai kedewasaan dalam berpolitik atau sebaliknya, memilih sikap apatis,” bebernya.
Dilatarbelakangi hal tersebut, Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus) menghelat seminar yang menghadirkan Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Prof. Dr. Kaelan dan Drs. Achmad Charris Zubair sebagai pembicara di University Club UGM. “Seminar ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang filsafat politik kepada masyarakat yang akan menghadapi Pemilu. Karena proses ini akan menentukan nasib Indonesia, setidaknya lima tahun kedepan, maka kami ingin masyarakat mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang filsafat politik,” terang Reno Wikandaru, koordinator acara.
Mengawali seminar, Prof. Franz Magnis Suseno, pakar filsafat politik dan etika yang akrab disapa Romo Magnis mengatakan bahwa Indonesia sedang menghadapi lima tantangan. Tantangan-tantangan itu adalah ambruknya toleransi, budaya konsumtif/hedonistik, merosotnya solidaritas, kekerasan atas nama agama dan korupsi yang merajalela.
Di tengah himpitan masalah-masalah yang tak ringan, Romo Magnis masih melihat harapan untuk menuntaskan tantangan-tantangan itu dengan baik, yaitu dengan kembali mengamalkan Pancasila. “Kita diwarisi Pancasila oleh pendiri-pendiri bangsa yang luar biasa sebagai paradigma, tapi Pancasila tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak diamalkan dan menjadikannya pedoman,” tutur Romo berapi-api.
Prof. Kaelan, pakar filsafat Pancasila sebagai pembicara kedua menyoroti proses demokrasi Indonesia yang dianggapnya melenceng dari Pancasila. Menurut Prof. Kaelan musyawarah adalah mekanisme pengambilan keputusan yang diinginkan Pancasila, namun tidak dijalankan. “Jika sistem voting digunakan untuk menentukan bahasa nasional, maka kita tidak akan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi bahasa Jawa karena paling banyak penuturnya,” jelasnya. Profesor yang menjadi pakar filsafat di Lafinus ini pun menganggap demokrasi tidak dapat diartikan bahwa setiap orang memiliki satu suara. “Seharusnya kita tidak perlu mengadakan Pemilu untuk setiap strata kepemimpinan. Lha kita, dari pemilihan RT sampai lurah perlu memilih. Betapa banyak uang yang dihamburkan untuk pemilu?! Ini namanya korupsi atas nama demokrasi!” ujar Prof. Kaelan.
Tidak seperti dua pembicara pertama yang membahas Pancasila, Drs. Achmad Charris Zubair, dosen fakultas Filsafat UGM yang biasa disapa Charris, mengangkat logika politik sebagai topik pembicaraan. Menurutnya, logika atau paradigma politik yang buruk adalah awal dari rangkaian kekacauan yang terjadi di negara ini. Maka dari itu masyarakat perlu memahami logika politik para calon pemimpin. “Cara mengetahui logika politik mereka adalah dengan melihat rekam jejaknya selama berkiprah di dunia politik,” jelas Charris. Ia mencontohkan banyaknya partai yang mencalonkan public figure yang belum memiliki rekam jejak hanya karena dianggap dapat mendongkrak perolehan suara partai tersebut. “Logika politik mereka tidak jalan!” simpulnya.
Meski dibenturkan pada realitas tidak menguntungkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Romo Magnis menghimbau masyarakat untuk tetap ikut serta dalam pemilu. “Sistem mungkin saja buruk, tapi bukan berarti menjadi alasan untuk golput. Mari kita tetap memilih, setidaknya yang lebih baik dari calon-calon yang tidak baik,” gugahnya. [Erni Maria Angreini]