Kebutuhan masyarakat desa sesungguhnya tak muluk-muluk. Tidak berbeda dengan kebutuhan warga negara pada umumnya: tercapainya kesejahteraan dan teraksesnya pelayanan publik yang memadai. Namun, ironi yang terjadi, potret kemiskinan dan minimnya infrastruktur justru melekat pada desa, tempat di mana sumber daya alam sekaligus sumber daya sosial-politik potensial berada.
Jangan buru-buru menuding pemerintah (pusat) tidak memikirkan persoalan ini. Pasca reformasi, desentralisasi telah dirancang sebagi solusi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan publik yang dekat dengan rakyat. Praktiknya pun telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Lantas, apa yang salah?
Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan.Negara dalam hal ini memiliki fungsi menciptakan law and order untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, ketika membicarakan kesejahteraan desa,berarti kita perlumenyimak desain regulasinya dengan saksama.
Selama ini desa diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimasukkannya desa menjadi bagian dalam regulasi tersebut memang menjelaskan kedudukan desa sebagai āsekadarā subsistem pemerintah daerah. Dalam tataran praktis, kewenangan desa pun hanya sebatas kewenangan daerah yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Suatu mandat problematis yang membentuk skema āotonomi dalam otonomiā.
Hal tersebut membawa konsekuensi, gerak-gerik desa menjadi kaku, tak leluasa. Sebab, pola yang terjadi kemudian adalah korporatisasi-birokratisasi. Desa menjelma robot pembangunan yang kerap kali jadi korban salah sasaran. Bagaimana tidak? Desain perencanaan pembangunan desa selama inidititipkan di tangan kabupaten/kota yang bias sektoral dan tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat desa. Aspirasi masyarakat desa yang terbingkai dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) mentah seketika tatkala tak sesuai dengan rancangan yang telah disusun daerah. Bahkan, bukan kasus langka jika sumber daya alam dan sumber daya sosial-politik desa sekadar menjadi objek ābancakanā supradesa semata. Akibatnya jelas, di tengah kekayaan aset dan potensinya, desa merugi. Di samping angka kemiskinan yang tak kunjung berkurang, SDM desa terbiasa pasif dan kurang memiliki inisiatif lantaran praktik pembangunan yang bersifattop-down.
Namun, kabar baiknya, kita bisa anggap itu masa lalu. Kini desa telah memasuki era baru yang digadang-gadang membawa masa depan cerah. Pada18 Desember 2013 lalu,ketok palu sidang paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Desa. Produk hukum yang selanjutnya menyandang nama UU No.6/2014 ini menjadi regulasi yang secara khusus mengatur tentang desa. Dengan undang-undang tersebut, desa diberi kewenangan untuk mengelola aset dan potensi yang dimilikinya secara otonom.
UU No. 6/2014 setidaknya memberi dua modal penting bagi desa: modal politik dan modal finansial. Sebagai modal politik, kewenangan desa kini mencakup empat hal. Di samping pelimpahan wewenang dari atas, desa memiliki kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan asal-usul merupakan ejawantah dari asas rekognisi yang mengakui realitas sejarah desa sebagai sesuatu yang tak bisa dinafikkan. Desa tidak dilepaskan dari adat istiadat, hukum adat maupun prakarsa masyarakat setempat yang masih mengakar kuat sebagai basis pengaturan kehidupan kolektif. Di sisi lain, kewenangan skala lokal yang berasaskan subsidiaritas memberikan kepastian hukum bagi desa untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat desa dengan aset dan potensi yang dimiliki. Kewenangan ini berwujud antara lain, tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi Ā lingkungan, pos pelayanan terpadu, dan sebagainya.Dari segi finansial, mengamini postulat money follow function, regulasi baru ini mengamanatkan negara untuk mengalokasikan Dana Alokasi Desa yang peruntukannya ke desa 10% dari dana transfer daerah. Dana dalam jumlah besar yang akan digelontorkan langsung ke desa ini menjadi isu paling mengemuka yang mewarnai dinamika RUU Desa.
Kendati rumusan operasional dalam wujud Peraturan Pemerintah untuk undang-undang baru ini belum juga rampung disusun dan secara resmi berlaku, euforia dan optimisme akan era baru desa ini telah membuncah. Dengan akumulasi aset dan potensi di satu tangan serta kuasa dan modal finansial di tangan yang lain, desa diprediksi bisa melejit. Tapi di lain pihak, suara sumir tak bisa dielakkan. Kalimat Lord Acton masih terngiang jelas bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Siapa yang menjamin tidak akan ada penyimpangan di sana?
Jauh-jauh hari sudah ada wanti-wanti bahwa dinamika politik lokal bagaikan pisau bermata dua. Menguntungkan apabila elit politik berpihak sepenuhnya kepada kepentingan publik, akan tetapi bisa mencederai rakyat jika justru menciptakan kartel kepentingan kelompok. Semua kembali lagi kepada figur. Dengan kata lain, selain membangun sistem, penguatan kapasitas juga harus mengikuti.
Analisis Syarif Hidayat mengatakan, realitas implementasi desentralisasi dalam kurun dasawarsa terakhir tidak bisa dilepaskan dari ābiasā agenda reformasi yang cenderung lebih menekankan upaya state institutional reform ketimbang membangun state capacity.Upaya memperkuat kapasitas negara selama ini dikesampingkan dibanding upaya membangun institusi.
Maka, agar tujuan esensial kesejahteraan desa benar-benar dapat terwujud, penguatan kapasitas menjadi agenda mendesak yang harus dilakukan.Pendampingan perlu diberikan dalam beberapa ranah, mulai politik, hukum hingga teknis tata kelola keuangan. Meski secara formal hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tapi tak ada salahnya desa berinovasi. Ā Kerjasama perlu dijalin bersama segenap elemen yang dapat turut berpartisipasi memberdayakan desa, salah satunya perguruan tinggi. Dengan demikian, perkara kesejahteraan desa bukan lagi ratapan kawula alit di pelosok-pelosok desa namun menjadi kepentingan bersama. Merdesa!Ā [Khalimatu Nisa, Mahasiswi Jurusan Politik Pemerintahan, Fisipol UGM 2011]
1 komentar
Salam Presma
Salam Perjuangan