“Perguruan tinggi itu konon menjadi petunjuk bagi masyarakat karena objektivitas keilmuannya diperkuat. Tetapi, bagaimana ketika perguruan tinggi yang seharusnya memberi contoh terkait moral intelektual, moral publik, dan juga keberanian akademik, ternyata di dalamnya banyak sekali bopeng, salah satunya kasus plagiarisme.” Sebuah kutipan dari buku Tahta Berkaki Tiga karangan ST. Sunardi menjadi pembuka Serial Diskusi Kedaulatan Pendidikan, Sabtu (1/3). Acara ini merupakan edisi ketiga dari diskusi rutin yang diselenggarakan Gerakan Literasi Indonesia. Bertempat di Warung Kopi Lidah Ibu, acara bertajuk “Plagiarisme, Eksploitasi, dan Penindasan Akademik” tersebut dihadiri sejumlah kalangan, baik akademisi maupun praktisi.
Dalam diskusi tersebut, ST. Sunardi yang hadir sebagai pembicara mengungkapkan, kasus plagiarisme memang sering terjadi di kalangan akademisi. Tidak hanya kasus Anggito Abimanyu yang belakangan ini menghebohkan publik, di Universitas Sanata Dharma tempatnya mengajar, kasus serupa juga pernah ditemui. Awalnya memang sulit dibuktikan bahwa tulisan tersebut adalah plagiat. Namun, dengan ditemukannya bukti-bukti plagiarisme, hal tersebut akhirnya diakui oleh si pelaku. “Celakanya, media yang memuat tulisan tersebut bahkan tidak sadar bahwa itu adalah tulisan plagiat,” ujar ST. Sunardi dalam paparannya.
Ia menegaskan bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan arogansi intelektual. Masyarakat umum menilai kualitas tulisan seseorang ditentukan oleh penulisnya. “Seperti analogi seniman, kalau yang buat orang hebat, maka apapun yang dibuatnya pasti hebat,” imbuhnya.
Menambahkan pendapat ST. Sunardi, Tia Pamungkas yang juga dosen Sosiologi di Universitas Gadjah Mada mengungkapkan bahwa kasus plagiarisme tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara seperti Jerman pun masih ditemui kasus-kasus plagiarisme. Lagi-lagi, ironisnya hal itu tidak dilakukan orang awam, tetapi dari kalangan terpelajar. “Bahkan, baru tahun kemarin terjadi kasus plagiarisme yang dilakukan oleh oknum di Kementrian Pendidikan Nasional di Jerman,” tambahnya.
Dalam diskusi tersebut dipaparkan pula bahwa plagiarisme adalah suatu tindakan yang tercela dan merendahkan martabat seorang akademisi. Tidak hanya itu, plagiarisme juga merupakan perbuatan pidana karena melanggar hak cipta. Menurut Tia, dosen bukan hanya pekerja akademi, melainkan intelektual. Dia harus bisa mengatasi konflik personalnya terutama untuk prinsip-prinsip moralitas.
Meskipun demikian, Tia tidak menampik bahwa plagiarisme salah satunya dipicu oleh pengingkaran iklim kewajaran dalam sistem. Hal serupa juga dikatakan oleh ST. Sunardi. Ia mencontohkan misalnya kewajiban bagi mahasiswa untuk menulis jurnal. Hal itu perlu ditelaah kembali apakah sistem pendidikan di perguruan tinggi memang diarahkan ke sana. “Jika tidak, maka yang terjadi adalah keterpaksaan dan berujung pada plagiarisme,” tegasnya. [Ervina Lutfikasari]