Ketika paman telah dimasukkan ke dalam liang lahat, aku melihat ulat-ulat keluar dari tubuhnya.
Ulat-ulat itu seperti yang pernah kulihat di dalam tas ketika sedang berpesta menggerogoti tubuh apel busuk yang lupa kumakan berhari-hari. Aku bertanya pada kakek yang sedang menggendongku, tapi kakek hanya diam. Malamnya, ketika tamu-tamu yang datang untuk mendoakan paman telah pulang, kakek menjawab pertanyaan siang tadi. Kakek menceritakannya sambil sesekali kulihat air matanya menggenang.
Dan sekarang, tepat ketika aku dinyatakan meninggal dunia oleh orang-orang yang mengerumuniku, aku teringat cerita kakek pada suatu malam yang dingin di bulan November bertahun-tahun yang lalu ketika kakek belum sakit-sakitan dan aku seharusnya duduk di bangku TK seperti teman-teman yang lain.
Kakek bercerita bahwa orang yang telah meninggal dunia bisa mendengar dengan jelas perkataan seseorang sekalipun ia mengucapkannya di dalam hati. Dan benar, kali ini aku merasakannya. Sekarang aku mengerti apa yang sebenarnya dirasakan oleh Pak Darsam, pengemis yang setiap hari duduk di halaman parkir Toko Swalayan tempat aku bekerja. Tapi cerita tentang bagaimana aku meninggal dunia akan kujelaskan nanti.
Sebelum meninggal dunia, aku adalah seorang perempuan yang nyaris tanpa masalah di SMA. Aku pernah juara olimpiade matematika tingkat kabupaten, sering ditunjuk sebagai pengganti Pak Dar, guru fisika yang harus rutin cuci darah, dan juga aktif di organisasi sekolah. Satu-satunya masalah bagiku adalah biaya untuk melanjutkan studi ke jenjang Universitas.
“Kamu harus kuliah, Ratih,” Bu Sri, guru bimbingan konseling, mulai sering mengatakan hal itu setelah Ujian Nasional, “Bukankah kamu ingin sekali menjadi guru matematika?”
Seperti biasa, aku hanya diam. Menunduk. Dan mungkin Bu Sri juga sudah hafal dengan sikapku itu.
“Carilah beasiswa, Ibu juga akan membantumu.”
Diantara guru-guru yang dekat denganku, hanya Bu Sri yang benar-benar mengerti dengan kondisi ekonomi keluargaku. Beliau memang dikenal rajin mendata murid-murid yang kurang mampu, lalu merekomendasikannya kepada kepala sekolah untuk memberi keringanan atau bahkan membebaskan biaya sekolah. Bu Sri tak pernah bosan memanggilku ke ruang BK untuk membahas kelanjutan studiku. Namun sayang, sampai aku dinyatakan lulus, Bu Sri belum juga mendapat bantuan beasiswa untukku.
Masa-masa itu adalah masa yang paling berat bagiku, juga keluarga. Rumahku hampir hancur diterjang angin puting beliung. Bapakku gagal panen karena sawahnya tergenang aliran sungai Bengawan Solo, ibuku yang pada mulanya bekerja sebagai buruh pencuci baju, mulai berkurang pendapatannya lantaran semakin banyak binatu yang bermunculan di sekitar rumah, belum lagi untuk membayar biaya berobat kakek. Tentu saja ini membuat keluarga kami terpaksa berhutang di sana-sini, hingga semakin hari hutang itu menumpuk sedikit demi sedikit. Dan dalam kondisi seperti ini, bapak menjual sawahnya untuk membayar hutang. Setelah itu, bapak mulai sakit-sakitan seperti kakek. Kata ibu, bapak masih memikirkan sawah warisan kakek yang dijual. Bapak seperti tidak ikhlas menjual sawahnya, sebab sejak dulu sawah itulah yang menghidupi keluarga kami.
Perlahan-lahan aku mulai melupakan rencana untuk melanjutkan studi. Bukan hanya karena aku tak mau merepotkan keluarga, tapi juga karena aku yakin bahwa bapak dan ibu tak akan mengijinkanku melanjutkan studi, seperti dulu ketika aku ingin masuk TK. Aku masih ingat perkataan bapak waktu itu, “Lebih baik kamu mendengarkan cerita-cerita kakekmu dari pada masuk TK.”
Sebenarnya, aku dan beberapa temanku sempat dijanjikan bantuan dana untuk kuliah oleh seorang calon bupati. Namun sayang, calon bupati itu kalah dalam pemilihan kepala daerah. Dan ketika aku dan beberapa temanku ingin menanyakan kelanjutan bantuan dana itu, ia malah memarahi kami. Katanya, ia sedang sibuk mengurus kecurangan yang terjadi di Pilkada. Seketika itu juga kami meninggalkan rumahnya dan melupakan dana bantuan untuk selamanya.
Aku bertanya pada kakak tingkat yang kini telah menjadi mahasiswa. Tapi jawaban-jawaban mereka merujuk pada satu kalimat, beasiswa akan didapat jika aku telah memasuki semester dua. Ketika aku menanyakan bagaimana caranya agar aku mendapat beasiswa sejak semester satu, mereka menggeleng. Beberapa diantara mereka bahkan marah pada kepala sekolahku karena sampai sekarang kepala sekolah belum mendaftarkan sekolahnya dalam program bidik misi.
Sejak saat itu aku berpikir untuk mencari pekerjaan. Tidak mungkin aku membiarkan ibu menjadi satu-satunya penyangga keuangan keluarga, sebab bapak tak tahu lagi harus bekerja apa.
Beberapa minggu yang lalu bapak masih mengerjakan sawahnya yang dibeli oleh Pak Kades. Tapi ternyata hal itu semakin membuat bapak sakit lebih parah. Hampir setiap malam bapak mengigau tentang sawahnya yang telah dijual. Bapak ingin membeli sawah itu lagi. Akhir-akhir ini bapak juga sering melamun. Hari demi hari, sakit bapak semakin parah. Bapak sering berteriak-teriak histeris. Karena keadaannya telalu mengkhawatirkan, bapak dibawa ke rumah sakit.
Tiga minggu kemudian dokter mengatakan bahwa bapak harus dipindahkan ke rumah sakit khusus. Bapak tidak mengenali aku dan ibu. Tubuhnya semakin kurus dan rambutnya kusut. Hampir tiap malam aku menemani ibu menangis.
Ketika kutanya, “Bapak sakit apa?” Ibu tidak menjawab, selain dengan kesedihannya.
Dan ketika semua masalah berkumpul menjadi satu, kakek meninggal dunia. Aku sedih, seolah tak ada lagi yang lebih menyedihkan dari semua ini. Dunia sepertinya sedang tidak ingin membagi kesedihan ini pada yang lain.
Aku begitu kehilangan pencerita terbaik dalam hidupku. Beberapa cerita yang pernah kakek ceritakan masih bisa kuingat dengan jelas, meskipun kebanyakan cerita kakek terasa aneh dan tidak masuk akal ketika aku memikirkannya lagi. Misalnya cerita tentang seorang yang bisa berada di dalam dua kota yang berbeda dalam satu waktu, atau cerita tentang seorang yang kepalanya berubah menjadi kepala seekor kambing karena dia begitu keras kepala, atau bahkan cerita tentang orang yang telah meninggal dunia namun masih bisa mendengar dengan jelas perkataan seseorang sekalipun ia mengucapkannya di dalam hati.
“Kalau kau sedang berada di pemakaman dan melihat kejadian yang aneh terjadi pada tubuh jenazah,” kata kakek waktu itu, “berdoalah, atau setidaknya jangan berkata apa pun.”
“Memangnya kenapa, Kek?”
“Dengan berdoa, kau akan membantunya keluar dari kejadian aneh itu, tapi jika kau berbisik-bisik pada orang lain tentang kejadian aneh itu, kau sama saja menyakiti hatinya. Sebelum dikubur, orang yang meninggal dunia masih bisa mendengar dengan jelas perkataan seseorang sekalipun kau mengucapkannya di dalam hati. Lebih baik kau berdoa saja.”
Tidak semua cerita kakek kupercayai, tapi untuk cerita tentang seorang yang meninggal namun masih bisa mendengar perkataan seseorang, aku sangat mempercayainya. Aku bahkan membuktikannya.
Tepat ketika aku dinyatakan meninggal dunia oleh orang-orang yang mengerumuniku, aku bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Pak Darsam, pengemis yang setiap hari duduk di halaman parkir Toko Swalayan tempat aku bekerja.
***
Setelah kuputuskan untuk menunda kuliah, aku bekerja sebagai pegawai di salah satu Toko Swalayan. Ini semata-mata kulakukan karena aku tak tega melihat ibu yang susah payah mencari uang, dan tentu saja agar aku bisa menabung untuk persiapan kuliah nantinya.
Tujuh bulan setelah aku menjadi pegawai, seorang pengemis berbadan kurus dan rambut yang begitu kusut datang ke toko tempat aku bekerja. Bajunya yang semula berwarna putih, berubah menjadi coklat kusam. Kepalanya tertutup topi yang sama kusam dengan bajunya. Dia hanya duduk di tempat parkir sepanjang hari. Karena sudah hampir sepuluh hari dia mengemis di toko ini, aku mulai memberikan sedikit uang untuknya. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajahnya.
“Bapak!”
Bagaimana mungkin bapak bisa berada di sini? Bukankah seharusnya bapak berada di rumah sakit jiwa? Aku menangis. Ingin rasanya memeluk bapak. Tapi bapak mengelak. Bapak benar-benar lupa denganku. Bahkan bapak justru memarahiku ketika kuajak pulang. Aku ingin menceritakan semua ini pada ibu. Tapi keinginanku itu selalu kutunda karena aku belum siap menambah kesedihan ibu.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk memberikan uang kepada bapak setiap sore sebelum aku pulang ke rumah. Namun aku selalu memberikan uang itu kepada salah seorang teman untuk memberikannya kepada bapak. Kalau aku memberikannya langsung, berarti aku juga menganggap bapak sebagai pengemis.
“Sepuluh ribu?” Temanku terheran-heran dengan jumlah uang yang ingin kuberikan kepada bapak, “Ini terlalu banyak bagi seorang pengemis!”
“Mendingan buat beli bakso daripada pengemis!” Beberapa temanku yang lain bertanya dengan pertanyaan sama. Tapi, aku tidak pernah menjawabnya. “Dan, ngapain juga kamu nyuruh orang lain buat ngasih ke pengmisnya?” Sambil mengernyit sinis.
Aku tak pernah mempermasalahkan pertanyaan mereka. Bagiku pertanyaan mereka sangat wajar. Aku diam-diam sedang merasakan kebahagiaan, walaupun kebahagiaan itu masih berbalut kesediahan. Aku bahagia bapak sudah tidak terganggu lagi kejiwaannya, dan sekarang aku bisa melihat bapak hampir setiap hari.
“Kamu kenal pengemis itu?”
“Ya,” jawabku seolah jujur, “dulu dia tetanggaku. Namanya… Darsam. Pak Darsam.”
Tapi, kalian tahu, aku sedang berbohong. Pengemis itu sebenarnya adalah bapakku.
***
Jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit ketika aku akan pulang ke rumah. Jalan begitu ramai karena hampir semua orang pulang pada jam-jam seperti ini.
Di seberang jalan, angkot yang akan kunaiki sudah tak sabar menunggu. Setelah memberikan uang kepada temanku agar memberikannya kepada bapak, aku keluar dari toko. Aku berjalan sambil sesekali melirik bapak yang masih duduk. Aku menyeberang jalan, setengah berlari setelah beberapa mobil berhenti untuk memberikan jalan pada pengemis itu. Tapi seorang pengendara motor yang datang dari samping mobil menabrakku. Tubuhku terpental.
Beberapa orang lalu mengerumuniku. Aku tahu, saat itu aku telah mati. Dan seketika itu, aku teringat cerita kakek, sekaligus membuktikannya.
Aku mendengar orang-orang itu berkata bahwa aku telah mati. Beberapa diantara mereka mencoba mencarikan mobil untuk membawaku ke rumah sakit. Namun diantara perkataan orang-orang itu, ada satu orang yang juga membicarakan tentang kematianku, dialah bapak. Aku yakin bapak melihatku tertabrak, sebab aku mendengar bapak berkata seperti ini:
“Mampus kau! Teman-temanmu sering memberiku uang, tapi kau tidak pernah memberiku sepeser pun.”
Aku tersenyum bahagia, karena aku tahu itu menandakan bapak sudah sembuh dari penyakit jiwanya. Dan untuk pertama kalinya kebahagiaanku tidak berbalut dengan kesedihan.
Kun Andyan Anindito, lahir di Klaten 5 November 1990. Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta