Pemilu 2014 akan diselenggarakan sebentar lagi. Berbagai upaya dilakukan oleh partai dan politisi demi mendongkrak elektabilitas mereka menjelang pesta demokrasi. Upaya mendongkrak elektabilitas tersebut diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Misalnya dengan mengiklankan diri melalui tayangan televisi, kampanye online, melakukan gerakan sosial, hingga praktik kotor penerapan politik uang.
Kampanye terselubung dengan menyisipkan kegiatan bagi-bagi duit sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di republik ini. Entah pemilihan kades, bupati, caleg, bahkan presiden, politik uang dianggap sebagai bagian yang wajar. Selain itu, karena dianggap sebagai strategi yang optimal untuk menjaring suara, politik uang pun menjadi rutinitas yang semakin akrab dikalangan politisi dan masyarakat.
Sebagai calon pengawal aspirasi rakyat, aktor politik yang hendak maju pada pemilu seharusnya memiliki idealisme tinggi untuk membawa perubahan menjadi yang lebih baik. Percuma mereka menggembar-gemborkan perubahan bila menghindari politik uang saja belum mampu. Menurut Poerwanto dalam bukunya yang berjudul OMK Alergi Politik? No Way?, politik uang untuk meraih suatu jabatan politik hanya akan membawa seorang pejabat mudah menyelewengkan jabatannya. Tanpa disadari, politik uang adalah pintu menuju kecurangan yang berkelanjutan.
Praktik politik uang di Indonesia memang bisa dibilang sudah sangat akut. Salah satu contoh nyatanya terjadi di sebuah kampung yang terletak di Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang. Menjelang Pemilu 2014 ini, banyak kader partai yang hendak mencalonkan diri pada Pemilu mendekati masyarakat setempat dengan berbagai tawaran yang cukup menarik. Ada yang menawarkan diri dengan membiayai pembangunan infrastruktur kampung seperti irigasi, ada pula yang menawarkan sejumlah uang atau barang-barang sesuai permintaan masyarakat setempat. Tentu saja tawaran para politisi tersebut harus dibayar dengan hak pilih masyarakat untuk mereka.
Di sisi lain, masyarakat yang ditawari berbagai pemberian dari para politisi justru menyambutnya dengan baik. Salah satu warga setempat berasumsi bahwa menjual suara demi meningkatkan fasilitas Rukun Tetangga (RT) mereka adalah hal yang wajar dilakukan. Dia membenarkan perilaku keliru tersebut dengan dalih sebagai momentum peningkatan fasilitas warga. Selain itu masyarakat yang notabene memiliki pengetahuan rendah tentang politik cenderung tidak kritis menanggapi persoalan ini. Mereka cenderung fokus pada uang yang berjumlah tidak seberapa daripada fokus pada perbaikan kondisi pemerintahan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, aksi politik uang menjelang pemilu di kampung tersebut seakan menjadi hal yang lazim dan wajar dilakukan.
Berkaca dari pendapat masyarakat tersebut, maka kita bisa melihat bahwa pendidikan politik di Indonesia saat ini belum menyentuh pada seluruh lapisan masyarakat. Kurangnya kesadaran ini mengakibatkan masyarakat menjadi abai terhadap peningkatan kualitas politik di masa yang akan datang. Selain itu, sikap masyarakat yang membenarkan politik uang demi perbaikan fasilitas merupakan bukti dari keputusasaan mereka. Seakan masyarakat merasa bahwa tidak ada cara lain untuk meningkatkan fasilitas setempat kecuali dengan memanfaatkan momentum pemilu ini.
Erni Kurniawati – Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 2012