Mimpi-mimpi itu datang lagi. Setiap kali aku beranjak tidur segera terputar dalam lelapku mimpi layaknya film dan akulah tokoh utamanya. Mimpi-mimpi itu baru berakhir ketika aku bangun dari tidur. Kata orang mimpi yang menyeramkan lebih diingat daripada mimpi yang menyenangkan. Anehnya mimpiku adalah mimpi yang menyenangkan, namun aku mengingatnya dengan jelas ketika aku terbangun.
Dalam mimpi-mimpiku, aku senantiasa melihat diriku tersenyum bahagia. Tak pernah sekalipun terpancar kesedihan dan kekhawatiran dari air mukaku. Udara sekelilingku begitu segar. Tercium aroma dedaunan semarak dari pepohonan rindang. Yang terdengar adalah kicauan burung-burung menyambut belaian angin semilir. Orang-orang di sekitarku sama dengan mereka yang ada dalam kenyataan. Hanya mereka nampak begitu bersahabat. Tak kudapati tatapan mata kecewa, menuntut dan menghakimi dari mereka. Sering aku menjadi lupa membedakan antara mimpi dan kenyataan setelah aku bangun dari tidurku. Kadang aku berharap kenyataan adalah mimpi dan mimpiku adalah kenyataan.
***
Praba sudah memulai bisnisnya sejak masih kuliah. Itulah yang dia rasa mendukung statusnya sebagai mahasiswa jurusan ekonomi. Praba menjadi semacam distributor sebuah toko busana kecil di Yogyakarta. Konsumen sasarannya tidak lain adalah teman-teman kampusnya sendiri. Praba menawarkan kaos, kemeja, celana panjang, celana pendek, juga baju-baju pesta kepada teman-temannya.
“Yang model lain ada nggak, Prab? Yang warnanya sama tapi,” tanya Galuh sambil melihat pakaian yang dibawa Praba. “Nanti aku ambil barang dulu. Besok aku bawain model yang lain,” jawab Praba.
Praba punya bakat untuk menyenangkan hati konsumennya. Dia cukup sabar menghadapi teman-temannya yang cerewet, meski melelahkan dan menjengkelkan untuk selalu bersikap ramah.
“Aah, kok warnanya pucat gini? Kemarin aku mintanya kan yang warnanya cerah!” seru Sisi yang sangat doyan berbelanja baju baru.
Praba tersenyum kemudian menjawab ramah, “Sisi, lihat dulu dong. Pas nggak kalau kamu pakai? Kalau warnanya lebih cerah, nanti malah kulitmu yang terlihat pucat. Coba kamu pakai dulu. Kalau masih belum pas, besok aku bawain yang lebih cerah.”
Mendengar tanggapan ramah Praba pun Sisi tertarik untuk mencoba blues yang dibawakan Praba. “Oke deh Prab, aku ambil yang ini ya. Bener kamu bilang. Pas dikulitku. Nih uangnya 75 ribu kan?”
“Iya,” jawab Praba sambil menerima uang dari Sisi.
“Prab, kalau ada model yang baru lagi kasih tau ya,” sambung Sisi.
“Sip.” Praba mengacungkan jempol.
Bisnis Praba semasa kuliah cukup lancar. Memang dia masih menerima kiriman uang dari orang tuanya, namun itu digunakannya untuk melunasi uang kuliah. Masalah makan dan tempat tinggal dapat dicukupinya dengan bisnisnya itu. Maka bukan soal ketika dia harus membawa tas yang cukup besar ketika berangkat kuliah. Isinya adalah pakaian pesanan teman-temannya dan pakaian model baru yang ada di toko busana.
Kerja sama Praba dengan toko busana itu bermula ketika suatu kali dia pergi melihat-lihat di toko busana itu. Yang menarik perhatian Praba adalah toko busana itu menjual berbagai macam pakaian dengan beraneka selera. Ada pakaian-pakaian formal, tetapi ada juga kaos-kaos santai. Bahkan kaos-kaos dan celana selera anak-anak penggemar hardcore dan metal pun tersedia di toko busana ini. Akhirnya, Praba membeli beberapa kemeja dan celana panjang.
“Wuih, kemeja baru Prab?” tanya Arta di kampus.
Praba curiga lalu bertanya, “Iya, kenapa, Ar?”
“Keren tuh desainnya. Beli di mana?” Arta tersenyum.
“Ada deh.”
Karena beberapa teman lain pun mengomentari kemeja barunya saat di kampus, maka muncul ide untuk menjadi distributor pakaian toko busana itu dan menjualnya kepada teman-temannya. Kali kedua kembali ke toko busana itu, Praba menghampiri seorang pegawai untuk bertanya siapa pemilik toko busana itu. Nama pemilik toko busana itu adalah Bu Rahma. Lalu Praba meminta nomor telepon Bu Rahma.
“Halo, Selamat sore,” suara Bu Rahma terdengar dari seberang.
“Halo, benar dengan Bu Rahma?” sambut Praba di ujung telepon yang lain.
“Iya, betul. Ada yang bisa saya bantu, Mas?”
“Oh, saya Praba, Bu. Saya sudah dua kali berkunjung ke toko busana Bu Rahma. Saya tertarik dengan pakaian-pakaian yang ada di toko busana ibu. Saya ingin membeli beberapa pakaian untuk saya tawarkan ke teman-teman. Bagaimana, Bu? Apa saya bisa menjadi semacam perantara untuk toko busana Ibu?” Praba mencoba menjelaskan dengan sedikit gugup.
“Mas Praba ini kerjanya di mana to? Kalau saya boleh tahu.”
“Saya belum bekerja Bu. Masih kuliah semester 3.”
“Begini saja. Besok Mas Praba datang ke toko saya jam 5 sore. Besok saya ada di sana. Kita bisa membicarakannya. Bagaimana?”
“Oh, Baik Bu. Baik. Besok saya akan ke toko busana ibu jam 5 sore. Terima kasih banyak,” suara Praba nampak bersemangat.
“Ya, saya tunggu besok. Selamat Sore.”
“Selamat sore, Bu.”
Esoknya, tepat jam 5 sore, Praba sudah berada di toko busana Bu Rahma. Ia mendekati seorang pegawai. “Bisa bertemu dengan Bu Rahma?” tanya Praba. “Bu Rahma di sebelah sana, Mas,” jawab pegawai itu sambil menunjuk ke arah Bu Rahma yang sedang melihat beberapa pakaian di pojok toko.
“Bu Rahma, Selamat Sore. Saya Praba,” sapa Praba sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bu Rahma.
“Selamat Sore, Mas Praba. Jadi Mas Praba mau mengambil berapa buah?”
Praba sangat terkejut dengan pernyataan Bu Rahma ini. Antara senang dan tidak menyangka. “Emm. Tidak banyak, Bu. Bisa saya coba 10 potong pakaian dulu?”
“Bisa saja. Harga tiap potongnya akan saya kurangi 10 persen dari harga jual di sini. Kalau mau lebih banyak lagi nggak papa, Mas. Soal pembayaran bisa di belakang. Tidak harus di depan,” Bu Rahma menawarkan
“Wah, tidak, Bu. Saya coba sepuluh dulu saja dan langsung saya bayar di depan,” jawab Praba. Ia sudah mengambil tabungannya beberapa bulan ini untuk memulai bisnisnya ini.
“Baiklah kalau begitu. Silakan Mas pilih pakaian mana saja yang akan dibawa.” Kemudian Bu Rahma memanggil pegawainya untuk menemani Praba.
Praba tidak mengira akan selancar ini memulai bisnis. Sepuluh potong pakaian yang diambilnya dari toko busana Bu Rahma pun banyak diminati teman-temannya. Kemudian dengan hasil penjualannya ia kembali mengambil pakaian dari toko busana itu dengan jumlah yang semakin hari semakin banyak. Ruang lingkup konsumennya pun makin luas. Mulai dari teman-teman kuliah, teman-teman kos sampai juga beberapa dosen dan karyawan di kampusnya. Praba terus menggeluti bisnisnya ini sampai lulus kuliah.
***
Setelah lulus kuliah, Praba bergabung dengan sebuah pabrik tekstil di Tangerang. Ia mendapat tempat di bagian pemasaran. Ia menjalin relasi dengan banyak pihak dan mencari sasaran konsumen di berbagai daerah. Praba menjadi salah satu pegawai yang bisa diandalkan oleh perusahaannya. Setelah bekerja di bagian pemasaran selama kurang lebih satu tahun, Praba dipindah ke bagian produksi. Ini menjadi pengalaman yang cukup merubah cara pandang Praba.
Di bagian produksi, Praba bekerja untuk mengawasi kinerja buruh-buruh di perusahaan tekstil itu. Pengalaman bersentuhan langsung dengan lapisan paling bawah dalam struktur perusahaan itu membuatnya merasa tergugat. Praba melihat langsung kerja para buruh ini. Yang paling membuatnya tersentak adalah melihat para buruh lepas. Dengan gaji yang sangat kecil mereka harus bekerja dengan jam yang sama seperti para buruh tetap lainnya. Di antara banyak buruh itu, Praba kenal dengan Anto. Anto adalah seorang buruh lepas perantauan dari Surabaya.
“Mas, sudah berkeluarga?” tanya Anto suatu kali kepada Praba.
“Belum, Mas. Kalau Mas Anto?” Praba balik bertanya.
“Sudah, Mas Praba. Anak saya sudah satu dan tahun depan sudah mulai sekolah. Saya bingung tiap kali ingat kalau saya punya keluarga. Ndak tahu gimana harus ngasih kiriman buat mereka, Mas. Jadi buruh lepas kayak saya nggak lebih dari 30 ribu uang yang bisa saya kumpulkan sehari. Ya, mau ndak mau harus ngirit buat hidup sendiri. Makan sehari dua kali, kalau kuat sekali saja ya syukur.” suara Anto terdengar menuntut belas kasih. Praba hanya bisa menelan ludah mendengar cerita Anto.
Selain dari Anto, Praba mendengar cerita-cerita dari para buruh lain dengan nada yang tak jauh beda. Praba tak lagi heran mengapa tatapan mata kecewa, menuntut dan menghakimi lebih sering terpancar dari wajah-wajah para buruh ini. Pernahkah para buruh itu sempat menikmati hidupnya, kalau urusan makan terus menjadi momok dalam hidup mereka? Pernahkah mereka sekali saja tertawa lepas tanpa harus berpikir apa yang akan mereka makan esok dan juga nasib keluarga mereka? Baru kali ini ia merasa hidupnya digugat. Dimensi hidup para buruh ini tak pernah sekalipun tersentuh secara langsung dalam hidupnya.
Namun Praba tidak lama berada di bagian produksi, hanya sekitar 6 bulan. Ia kembali dipindah ke tempat lamanya yaitu di bagian pemasaran. Karier Praba terus menanjak hingga akhirnya dia menjadi kepala divisi pemasaran setelah dua tahun berlalu. Hidupnya sangat berkecukupan, apalagi mengingat dia belum berkeluarga. Praba membeli sebuah rumah cukup mewah dan mempunyai sebuah mobil. Karena tidak mungkin mengurus rumahnya, ia memperkerjakan tiga orang di rumahnya. Mimi memegang urusan dapur dan kebersihan rumah. Ilham mengurus kebun. Lalu Anto—buruh yang pernah dekat dengannya di pabrik—menjadi sopir yang mengantar Praba ke mana ia pergi.
“Mi, tolong siapkan kepiting untuk makan malam saya nanti ya,” pinta Praba.
“Iya, Den. Nanti saya siapkan sebelum Den Praba pulang,” jawab Mimi berhenti dari pekerjaannya mengepel lantai.
“Gimana, To? Mobil sudah siap?” Praba mendekati mobil.
“Sudah Mas,” sahut Anto.
“Ayo berangkat. Antar saya ke bandara pagi ini saya ada pertemuan di Yogyakarta. Siang jam 12 saya sudah kembali. Kamu siap di Bandara ya, To!”
“Baik, Mas.”
Di mobil, Praba melamun sambil berpikir. Pandangannya jauh menerawang melewati kaca jendela mobilnya. Ia nampak gelisah seperti kehilangan atau mengkhawatirkan sesuatu. Hidupnya sudah sangat nyaman. Dia pun sudah punya cukup tabungan jika suatu saat nanti ia ingin menikah. Namun, tak bisa dipungkiri hatinya tak jarang merasa gamang.
“Gimana keluargamu, To?” suara Praba memecah keheningan.
“Wah, baik Mas. Sekarang saya ndak bingung lagi kalau harus ngirim ke rumah. Anak saya sudah sekolah kelas 4 SD, Mas. Terima kasih, Mas Praba sudah sangat banyak membantu saya.”
“Syukurlah kalau begitu,” jawab Praba.
Suasana mobil itu pun kembali membeku. Praba kembali melayangkan pandangannya keluar jendela. Samar-samar ia melihat wajah para buruh yang menatapnya dengan tatapan kecewa, menuntut dan menghakimi. Kemudian ia mengingat mimpi-mimpi yang belakangan ini menghiasi tidurnya. Praba tersenyum karena dalam mimpi itu ia menemukan suatu kebahagiaan dan ketenangan. Ia merindukan mimpi itu adalah yang nyata dan sekarang ini adalah mimpinya. Praba mulai sulit untuk membedakan kapan sebenarnya ia sedang bermimpi.
***
Wajah orang-orang dalam mimpiku tidaklah asing. Mereka adalah para buruh yang menatapku dengan tatapan mata kecewa, menuntut dan menghakimi. Namun dalam mimpiku mereka sangat tenang. Mata mereka senantiasa memancarkan cahaya bersahabat. Dalam mimpiku Mimi, Ilham dan Anto—orang-orang yang bekerja di rumahku—pun ikut ambil bagian. Mereka pun nampak sangat berbeda. Tak ada nada segan dan minder ketika mereka berbicara denganku. Dalam mimpiku mereka tidak bekerja untukku. Kami hidup bertetangga.
Dalam mimpiku, alam mencukupi kebutuhan hidup kami. Makanan dapat kami ambil dari kebun-kebun di sekeliling kami. Aku bisa memasak sendiri dari sayur-sayuran yang ada di kebun. Orang-orang di sekelilingku pun demikian. Bahkan kebutuhan sandang pun tercukupi. Yang pasti, aku tidak perlu membeli. Aku tidak perlu menjual apa-apa untuk mendapat uang yang kemudian kubelanjakan makanan atau pakaian. Aku bisa menenun pakaianku sendiri. Mulai dari mengumpulkan kapas, membuat benang kemudian menenun. Indah.
Anto pun terlihat tidak khawatir dengan sekolah anaknya. Karena tidak ada pembayaran uang sekolah. Dalam mimpiku uang tidak lagi menjadi dewa seperti di hidupku sehari-hari. Ternyata jual-beli bukanlah sesuatu yang mutlak untuk memenuhi kebutuhan hidup, toh manusia bisa membuat sendiri apa yang dibutuhkannya.
Bukankah ini mimpi yang begitu menyenangkan? Aku selalu mengingat setiap detail mimpiku. Inilah yang membuatku tidak setuju dengan pendapat orang bahwa manusia lebih mengingat mimpi yang menyeramkan. Mungkin saja itu hanya akal-akalan orang supaya manusia tidak terlarut dalam mimpi yang membahagiakan seperti mimpiku. Mimpiku membuatku ingin membalik mimpi menjadi nyata dan yang nyata menjadi mimpi.
Aku sering bertanya: jangan-jangan mimpiku ini adalah jawaban atas kegamanganku akhir-akhir ini. Kegamangan yang muncul bersamaan dengan keberhasilanku memenuhi segala kebutuhan hidupku dengan menghasilkan uang. Ah, ini semakin membuatku muak dengan kenyataan yang harus kuhadapi hari demi hari. Mungkin juga aku sudah mulai gila. Aku ingin meyakini bahwa mimpiku itu adalah kenyataanku dan kenyataanku adalah mimpi. Ataukah untuk lebih realistis aku harus berusaha merubah dunia yang sekarang ini menjadi dunia yang ada dalam mimpiku? Ah, memang menjadi rumit dan pelik. Hanya saja, akhir-akhir ini aku selalu menunggu saat-saatku tidur dan bermimpi. Atau terbangun dari mimpi?
Vincentius Gitiyarko
Juara II Kompetisi BPPM Balairung 2013 Kategori Cerpen