(Sebuah Catatan Penelitian di dusun Lubuk Piling, Sanggau, Kalimantan Barat)[i]
Auviar Rizky Wicaksanti[ii]
Tanah dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dua hal tersebut merupakan komponen yang saling mempengaruhi dan bergantung satu sama lain. Tanah menjadi “papan” bagi eksistensi kebudayaan. Kebudayaan mempengaruhi bagaimana pelaku budaya memperlakukan tanah yang didiaminya. Subjek atau pelaku budaya di sini adalah Suku Dayak Kancing,k selaku komunitas adat yang hidup di tanah Lubuk Piling.
Suku Dayak Kancing,k merupakan komunitas lokal yang memiliki identitas kebudayaan tersendiri yang dibentuk atas dasar persetujuan tiap anggota komunitas. Seseorang yang terlahir dari komunitas tersebut, maupun pendatang yang ingin menikahi anak “dalam” harus bersedia menjalankan apa saja yang telah menjadi persetujuan. Namun, ketika si anak dalam ingin keluar dan menikah dengan orang di luar komunitasnya, ia harus melepas semua identitas kebudayaan yang telah melekat sejak ia kecil.
Secara garis besar, suku Dayak Kancing,k mengalami tiga fase pertumbuhan. Pertama, adalah fase di mana ia menjalankan perekonomian ladang berpindah. Kedua, fase ketika dikenalkan dengan perekonomian karet. Ketiga, fase di mana ia mengenal penetrasi modal lewat perkebunan sawit. Ketiga fase tersebut tidak serta merta hadir melainkan ada sebab yang melatarbelakangi tiap-tiap tahap pertumbuhan.
Pada fase pertama, Suku Dayak Kancing,k menggunakan sistem perekonomian ladang berpindah. Saat itu warga mengandalkan perekonomian dari hasil mengolah ladang. Seluruh hasil ladang nantinya dipertukarkan dengan hasil ladang dari orang lain. Pada fase tersebut tidak didapati penjual dan pembeli. Posisi keduanya sama datang ke pasar untuk menukarkan barang.
Masih pada fase yang sama, Suku Dayak Kancing,k mengolah tanahnya dengan peremajaan tanah tiap tahun dengan jumlah yang besar. Akan tetapi ladang hanya bisa dipergunakan satu kali masa panen sehingga tanah harus diperbarui setiap tahunnya. Hutan yang pada saat itu masih banyak ditemui membuat komunitas lokal tersebut dengan mudah membuka ladang yang baru.
Kemudian pada fase kedua, warga mengubah tanahnya menjadi perkebunan karet. Tiap-tiap pohon karet bisa menghasilkan laba yang berbeda-beda. Tergantung kemampuan produksi pohon karet dalam mengeluarkan getah karet. Terkadang ada pula pohon karet yang “sakit” dan tidak bisa menghasilkan getah. Hal itu biasanya disebabkan oleh kesalahan dalam menyayat batang karet.
Pada fase ini komunitas lokal mulai keluar dari sekat tempat mereka tumbuh. Mereka menjual karet ke Meliau lalu mempertemukan mereka dengan orang-orang baru. Selain itu, juga memperkenalkan mereka dengan perusahaan tempat menjual dan mengolah karet. Bahwa karet adalah barang yang berharga mahal dan mendatangkan banyak uang. Meliau menjadi salah satu pusat jual-beli barang menyebabkan warga “wajib” untuk membeli barang-barang sebelum mereka pulang ke pelosok.
Munculnya perkebunan karet mengakibatkan berkurangnya jumlah tanah yang diperbarui setiap tahun. Hal tersebut juga berimbas pada karet yang kini menjadi prioritas utama dibandingkan dengan membuat ladang. Alasannya, hasil ladang tidak begitu besar dalam mendatangkan pendapatan. Berlakunya mata uang sebagai syarat utama jual-beli barang mengakibatkan ekonomi barter tidak lagi berfungsi. Ada harga yang harus dibayar untuk membeli satu barang, berbeda dengan barter yang menganggap barang yang dipertukarkan berkedudukan sama. Misalkan beras diganti dengan gula. Keduanya bisa dipertukarkan asalkan dengan besaran yang sama.
Selain itu, masih pada fase yang sama, komunitas lokal mulai mengenal sistem bagi hasil antara pemilik kebun karet dengan si penoreh karet. Sistem bagi hasil tersebut ditetapkan oleh hukum adat yang berlaku. Penoreh mendapat bagian 70% dari hasi jual karet. Sedangkan pemilik kebun mendapatkan bagian 30%. Pembagian tersebut dianggap setara dengan beban kerja penoreh.
Seseorang yang memiliki relasi historis atas sesuatu (tanah, rumah, kebun, pekarangan), mendatangkan satu “kekuatan politik” (kekuasaan) dan mempertahannya dengan ritual-ritual tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh James C. Scott (2013 : 13) dalam hasil penelitiannya bahwa petani (ladang) adalah satu komunitas yang dapat dikenali keberadaannya dari nenek moyang serta ritual-ritual yang dilakukannya. Yang kemudian, kepercayaan serta ritual tersebut dibentuk secara resmi dengan adanya hukum adat yang mengaturnya. Pada kasus Lubuk Piling, biasanya seseorang mewariskan tanah yang dimilikinya kepada anak dan cucunya. Hal tersebut menjadi satu ritual yang wajib untuk dilakukan. Anak dan cucu merupakan satu-satunya orang yang bisa dipercayai untuk menjaga harta peninggalan.
Selain itu, kekuasaan atas tanah juga dipertahankan dengan adanya hukum adat. Hukum inilah yang akan mengatur kehidupan mereka, bahwa yang mengambil tanah bukan haknya haruslah dikenai denda adat dan diusir dari dusun Lubuk Piling. Namun pengusiran tersebut tidak pernah dilakukan. Komunitas adat lebih memilih untuk menyelesaikan segala permasalahan dengan jalan kekeluargaan. Biasanya pelanggaran hak atas kuasa tanah terjadi pada saat Suku Dayak Kancing,k mengenal kebun karet. Keseragaman jenis pohon yang ditanam membuat batas-batas kebun sulit untuk dibedakan.
Pada fase ketiga, Suku Dayak Kancing,k mulai diperkenalkan dengan masuknya penetrasi modal melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Penetrasi modal berasal dari perusahaan kelapa sawit yang ingin membuka lahan di tanah milik Suku Dayak Kancing,k. Dalam hal ini, KUD berperan sebagai perantara si pemilik modal dengan Suku Dayak Kancing,k.
Awalnya perusahaan bekerja sama dengan pihak KUD untuk mensosialisasikan pembukaan lahan perkebunan sawit. Sosialisasi tersebut diberikan kepada komunitas lokal (Suku Dayak Kancing,k) dengan tujuan dapat meningkatkan taraf perekonomian warga. Saat itu, Suku Dayak Kancing,k diharuskan menyerahkan 7,5 hektar tanahnya kepada pihak perusahaan dengan jaminan akan dibuatkan jalan poros lintas desa. Tanah yang diserahkan kemudian ditanami bibit kelapa sawit dan seluruh biaya perawatan ditanggung oleh perusahaan.
Penyerahan tanah kepada perusahaan menyebabkan tanah milik Suku Dayak Kancing,k tidak bisa lagi dibedakan dari tanah milik orang lain. Sebab, 5 Ha dari 7,5 Ha tanah yang diserahkan oleh Suku Dayak Kancing,k telah beralih status kepemilikan. Tanah itu menjadi milik perusahaan kepala sawit sedangkan sisanya dikembalikan kepada Suku Dayak Kancing,k dengan syarat telah melunasi biaya perawatan sawit yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan.
Meskipun tiap orang mendapatkan 2, 5 Ha namun ada 5 Ha yang terpisah olehnya. Dulu, tanah milik Suku Dayak Kancing,k bisa dipastikan berada di daerah Lubuk Piling. Kini, tanah yang ada di Lubuk Piling belum tentu milik Suku Dayak Kancing,k tetapi bisa jadi milik perusahaan.
Kompleksitas pada fase ketiga menjadikan komunitas lokal tersebut menyerah terhadap sistem yang telah berjalan. Mereka dipaksa untuk tunduk dan masuk ke dalam sistem. Seperti yang dikatakan oleh Pak Matius bahwa sertifikat tanah miliknya masih dipegang oleh perusahaan. Sertifikat tanah bisa diambil apabila petani telah melunasi utangnya kepada pihak perusahaan. Di sela-sela ke-pesimisan untuk melawan perusahaan, mereka kini menjalankan apa yang diajarkan oleh perusahaan, yaitu komersialisasi lahan. Artinya, setiap lahan bisa dijual dan menghasilkan uang.
Tanah dalam arti ekonomi
Menurut P.M Laksono (2009 : 23), “Penetrasi langsung modal bersama kuasa politik (globalisasi) mendorong terputusnya relasi (historis) manusia dengan tanah. Komunitas yang memiliki sejarah panjang dengan tanah setempat, cenderung tergusur dan hadir komunitas baru tanpa tempat yang tidak memiliki klaim sejarah atas tanah di mana mereka berada” Seperti halnya yang terjadi di Lubuk Piling, Komunitas Suku Dayak Kancing,k telah terpisah dari relasi historisnya. Perusahaan Duta Surya Pratama (DSP) yang masuk dengan menawarkan perkebunan kelapa sawit menjadikan komunitas tersebut tergusur dari sejarah atas tanah yang mereka punya.
Komunitas baru yang pada awalnya tidak memiliki relasi historis atas tanah yang ia miliki, kini ia mulai menciptakan sejarah atas tanah yang “baru”. Hal itu bisa dilihat lewat kepemilikan sertifikat tanah yang resmi. Kedatangan perusahaan DSP yang turut disokong oleh pemerintah mendapatkan jaminan kuasa politik yang legal. Sehingga, komunitas lokal mengalami penggerusan melalui dua jalur. Pertama, mereka dibiaskan oleh politik lokal pemerintah dan politik modal.
Politik lokal berasal dari pemerintah ditandai dengan berdirinya KUD. Perusahaan mewajibkan bagi siapapun yang ingin menjual kelapa sawit harus melalui KUD. Pemerintah berdalih hal itu dilakukan untuk mempermudah kontroling harga dan distribusi uang pembayaran. Dalam hal ini, KUD tak lain adalah satu badan atau lembaga yang menjadi perantara antara masyarakat lokal dan pemilik modal. Organisasi tersebut berdiri atas nama program negara, dan negara ada karena memiliki kuasa politik.
Clifford Geetrz (1992) memaparkan bahwa Indonesia merupakan satu negara yang terbentuk karena otak-atik politis dari nafsu ideologis yang tak punya tujuan maupun arah. Ia lahir di atas kontradiksi dan perbedaan antar pulau. Setiap pulau memiliki watak dan karakteristik tersendiri dan kini harus disatukan atas nama baru, yaitu Indonesia :
“Negara itu tidak dapat mengelak dari totalitarianime maupun konstitusionalisme. Lebih-lebih lagi, hampir setiap institusi dalam masyarakat itu, seperti : angkatan bersenjata, birokrasi, pengadilan, perguruan tinggi, pers, partai, agama, desa, telah tersapu oleh getaran besar atau nafsu ideologis yang tampaknya tak punya tujuan ataupun arah. Kalau Indonesia member kesan menyeluruh tertentu, hal itu karena sebuah state manqué, sebuah Negara yang, karena tak dapat menemukan suatu bentuk politik yang cocok bagi watak rakyatnya, khawatir tersandung dari penemuan institusional yang satu ke yang berikutnya. (1992 : 33)
Indonesia yang sekarang dan apa yang terjadi di Lubuk Piling merupakan bentuk nyata bahwa Indonesia telah “tersandung” oleh penetrasi modal. Institusi yang tidak sesuai dengan watak warga Lubuk Piling menyebabkan komunitas lokal terputus atas relasi historis tanah yang mereka miliki. Tanah yang mereka dapatkan dari hasil membuka rimba, menunggu selama satu tahun sebelum pada akhirnya menjadi lahan baru dan siap tanam. Namun, tanah yang mereka miliki kini telah menjadi ladang kapital baru bagi pemilik modal.
KUD yang hadir atas nama program negara memperkenalkan komunitas lokal dengan upaya untuk mengomersialisasikan tanah yang mereka miliki. Kapling sawit bisa dipindahtangankan dengan proses jual-beli sertifikat kepemilikan lahan. Artinya, komunitas tersebut mulai mengenal cara untuk menjadikan “tanah” sebagai modal yang baru. Sebelumnya, warga tidak mengenal bahwa tanah bisa diperjual-belikan. Warga biasanya menyerahkan tanah tersebut kepada orang lain yang ingin mengolahnya. Jika B ingin mengolah tanah milik A menjadi ladang, maka seluruh penghasilan yang didapatkan dari hasil lahan akan dimiliki olehnya. Kekerabatan antar komunitas mendorong mereka untuk saling mempercayai.
Pada prosesnya, KUD kini sarat dengan muatan politis. Karyawan KUD yang seharusnya menjadi perantara warga dan perusahaan kini telah berubah menjadi kaki tangan perusahaan. Mereka selalu mengabarkan berita terbaru dari perusahaan, bukan memfasilitasi apa yang menjadi permintaan warga lokal. KUD bisa diibaratkan seperti gurita kapitalisme di tingkat desa. Fenomena di dusun Lubuk Piling menunjukkan bahwa KUD telah menghisap sebagian besar penghidupan warga. Menggusur mereka dari tanahnya yang merupakan sumber satu-satunya untuk mereka bertahan hidup hidup. Namun, di sisi lain mengeluarkan “tinta” berupa sistem pengetahuan untuk menjadikan tanah sebagai ladang capital, yakni dengan cara jual-beli lahan.
Untuk selanjutnya, komunitas lokal turut mengalami penggerusan oleh upaya politisasi modal. Peremajaan kembali lahan sawit yang membutuhkan banyak uang mendorong warga untuk bergantung kembali kepada pemilik modal. Mereka berdua (pemilik modal dan masyarakat lokal) menjadi satu hubungan kausalitas yang tidak bisa terpisahkan. Minimnya pendapatan warga, rendahnya pendidikan, dan buruknya transportasi menjadikan warga pesimis untuk keluar dari cengkraman perusahaan.
Tanah dalam arti sosial
Dalam buku adat Pongkamat Moyanak Daih Dayak Kancing, k (Pengikat Keluarga Besar Dayak Kancing, k.) pengurus adat mengartikan wilayah adat sebagai satuan budaya tempat adat istiadat tumbuh hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan adat istiadat dan hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan hak adat adalah hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga adat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu.
Pendefinisian wilayah adat oleh pengurus adat menandai bahwa mereka telah mengerti apa yang baik sebagai pengikat di antara mereka. Pengurus adat yang dipilih atas dasar musyawarah bersama dianggap bisa menjadi wakil atas apa yang mereka inginkan. Dengan adanya buku itu menjadi bukti bahwa tanah milik Suku Dayak Kancing,k merupakan tanah yang dikelola secara adat dan berdasarkan hukum adat.
Tanah dalam arti sosial hanya ditemukan pada saat pengolahan ladang. Secara historis telah disebutkan bahwa Suku Dayak Kancing,k menjalankan sistem perekonomian ladang berpindah. Identitas kultural yang telah terbentuk membuat sistem tersebut sulit untuk dihilangkan secara total. Adanya “kitab” mengenai hukum adat, semakin menyadarkan Suku Dayak Kancing,k akan hal-hal yang harus dilakukan. Jika tidak dilakukan, mereka akan dikenai denda adat dan sanksi sosial.
Tahap-tahap dalam memperbarui ladang selalu diawali dengan ritual adat. Dalam ritual tersebut melibatkan semua keluarga Suku Dayak Kancing,k tanpa terkecuali. Kebersamaan dalam menjalankan ritual adat itulah yang menyebabkan adanya semangat “bersatu” bagi Suku Dayak Kancing,k. Rasa yang menyatu menyebabkan tiap anggota merasa memiliki satu sama lain. Dalam prosesnya, menjelma menjadi satu identitas kebersamaan sebagai satu “Suku Dayak Kancing,k”.
Persamaan yang timbul dalam mengelola tanah lewat ritual adat merupakan bukti bahwa tanah adat dimaknai sebagai satu bentuk identitas kebudayaan. Dalam hal ini dalam satu tahun, tanah harus diperbarui secara serempak dengan tata cara yang diatur oleh adat. Pertama, ditebas (membersihkan rumput); Kedua, ditebang (membersihkan pohon); ketiga, dibakar (bulan agustus); keempat, Nugal (menanam padi); kelima, buang rumput liar yang mengganggu padi (oktober); keenam, Tanam buah/panen (april); ketujuh, Gawai (mei-juli)
Kesimpulan
Tanah merupakan “papan” di mana manusia berpijak dan menjalankan segala aktifitas sosio-kulturalnya. Tanah bukan sekadar benda mati yang ditempati, melainkan juga mengandung nilai sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, manusia selaku subjek kehidupan berperan penuh dalam mengatur dan mengolah tanah.
Secara garis besar, Suku Dayak Kancing,k pada awalnya mengkonseptualisasikan tanah sebagai “harta” sakral yang diwariskan kepada anak dan cucuknya. Mereka menjaga tanah dengan cara menjalankan ritual memperbarui tanah setiap tahunnya. Kebersamaan dalam menjalankan ritual adat itulah melahirkan satu identitas kebudayaan yang mereka pegang. Seiring dengan berjalannya waktu, identitas kebudayaan tersebut dipelajari oleh keturunan Suku Dayak Kancing,k. Proses itu berjalan layaknya siklus dan bertahan hingga sekarang. Sebagai bukti pengikat atas identitas tersebut, pengurus adat membuat buku Pongkamat Moyanak Daih Dayak Kancing, k (PMDDK)
Konsepsi masyarakat lokal terhadap tanah yang dimiliki mulai pudar seiring dengan masuknya penetrasi modal. Komunitas baru yang masuk melalui lobi kuasa politik telah berhasil mengubah sebagian konsepsi mereka atas tanah. Mengomersialisasikan tanah menjadi salah satu sarana untuk menciptakan laba. Namun, hal tersebut hanya terjadi pada perkebunan sawit tidak pada ladang maupun kebun karet. Masyarakat lokal menyadari bahwa mereka telah terpisahkan dari “apa yang mereka punyai”. Lima hektar tanah yang dulu diserahkan kepada perusahaan kini menjadi tanah sah milik perusahaan.
Kesahihan atas kepemilikan tersebut dibuktikan dengan adanya bentuk tatanan baru bernama pendaftaran tanah. Sertifikat tanah dianggap sebagai bukti sahih dibandingkan dengan “ingatan” yang selama ini menjadi bukti kepemilikan tanah bagi masyarakat lokal. Suku Dayak Kancing,k yang telah bertempat tinggal di dusun Lubuk Piling selama berabad-abad kini telah terpisah dari relasi (historis) atas tanah yang mereka miliki. Permasalahan tanah di daerah tersebut seolah-olah menjadi kumpulan benang yang sulit untuk diurai. Sebab, pada prosesnya masyarakat dibuat pesimis dan menyerah terhadap tatanan hidup yang baru. Negara yang menjanjikan kesejahteraan warganya pada prakteknya (dalam hal ini permasalahan tanah di Lubuk Piling) tidak dapat ditepati. Justru negara lah yang cepat atau lambat menggusur komunitas lokal dengan mendatangakan komunitas baru bernama pemilik modal.
Daftar Pustaka
Handbook :
Scott, James.C. 2013. Decoding Subaltern Politics : Ideology, disguise, and resistance in agrarian politics. Oxon : Routledge.
Geertz, Clifford. 1994. Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : UI-PRESS.
Laksono, P.M. 2009. Spektrum Budaya (kita). Yogyakarta : KEPEL PRESS.
Rosseau, J.J. 1983. Kontrak Sosial. Jakarta : Erlangga.
Vidawati, Tias. 2009. Tesis S2 : Peranan Kepala Adat dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Sanggau. Semarang : Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.
E-book :
Appadurai, Arjun. 1986. The Social life of things : Commodities in Cultural Perspective. New York : Cambrigde University Press
Hilyard, Sam. 2007. Sociology of Rural Life. New York : BERG
E-Journal :
Paul R.Greenough and Anna Lowenhaupt Tsing. 2003. The Social of Nature. London : Duke University Press.
Michael R.Dove. 1993. Smallholder Rubber and Swidden Agriculture in Borneo : a Sustainable Adaptation to the Ecology of the Tropical Forest. New York : New York Botanical Garden.
Roberg, Robert I. 2002. The New Nature of Nation- State Failure. Washington : The MIT Press.
[i] Artikel ini merupakan bentuk lain dari tugas praktek penelitian lapangan yang diadakan oleh jurusan Antropologi UGM. Penelitian tersebut dilakukan pada tanggal 8 Juli hingga 30 Juli di dusun Lubuk Piling, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
[ii] Mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya yang sering disapa dengan nama Ghembrang RebelLuna. Wanita kelahiran Blora ini berniat untuk mendalami bidang Antropologi Seni dan Kajian Sastra pada era Beat Generation.