“Kekerasan massa adalah bagian penting dari sejarah revolusi,” kata Dr. Abdul Wahid, Kamis (13/2). Ia menyampaikan hal tersebut dalam seminar bertema ‘Kekerasan Massa pada Masa Revolusi di Indonesia, 1945-1950’ di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ia kemudian menerangkan bahwa kekerasan massa berupa pemakaian kekuatan untuk membahayakan publik itu berkembang pesat pada masa revolusi.
Wahid menjelaskan bahwa maraknya kekerasan massa pada masa revolusi disebabkan oleh banyaknya konflik seperti peperangan. “Pada masa itu terjadi banyak peperangan, salah satunya perang antara Jepang dan Sekutu,” terangnya. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dan pemberontakan para komunis juga turut membuat situasi politik Indonesia tidak stabil. Ia menyimpulkan, “Ketiga kejadian tersebut membuat kekerasan massa tidak terhindarkan.”
Pembicara dari KITLV Leiden, Dr. Harry Poeze, memaparkan bahwa secara umum kekerasan massa terdiri dari beberapa bentuk. Salah satunya adalah kekerasan internal. Ia menjelaskan bahwa kekerasan internal dilakukan rakyat untuk menggulingkan pemerintahannya sendiri. “Contoh pelaku kekerasan internal adalah Partai Komunis Indonesia (PKI),” rujuknya pada peristiwa G30S yang menelan banyak korban jiwa.
Selain kekerasan internal, menurut Wahid, bentuk lain dari kekerasan massa adalah kekerasan ‘bersiap’ di Pulau Jawa. Ia menerangkan bahwa kegiatan berupa teror dan pembunuhan yang dilakukan kelompok paramiliter Indonesia terhadap penduduk Eropa itu telah menelan ribuan korban jiwa. “Selain itu, terdapat puluhan ribu korban menghilang,” tambahnya.
Wahid melanjutkan bahwa kekerasan bersiap mirip dengan genosida. “Namun, genosida membutuhkan peran negara, sedangkan kekerasan bersiap tidak,” tambahnya. Ia menjelaskan bahwa genosida adalah pembantaian suatu suku bangsa atau kelompok. “Berdasarkan banyaknya jumlah korban, genosida dapat dikategorikan sebagai kekerasan massa,” pungkasnya.
Pembahasan mengenai kekerasan massa memancing komentar dari peserta seminar. “Kekerasan massa merupakan topik yang unik dan segar,” kata Iqbal Rizaldin, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah 2009. Ia berharap agar wawasan dari seminar tersebut tak hanya diserap oleh kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat umum. [Ratu Pandan Wangi, Budi Triwibowo Yuli Widhiyato]