“Jumlah perempuan pada posisi pengambilan keputusan publik sangat sedikit dibandingkan laki-laki,” ungkap Silvia Fanggidae, Direktur Lingkar Belajar Komunitas Bervisi Perkumpulan Pikul, Rabu (22/01). Menurutnya, hal itu adalah indikasi bahwa ketidaksetaraan gender termasuk masalah utama dalam pembangunan. Pernyataan Silvia tersebut merupakan gambaran singkat hasil penelitiannya dalam policy paper berjudul ‘Kepemimpinan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender: Pembelajaran Perempuan Pemimpin Desa di Belu, NTT’. Ia mempresentasikan penelitian itu dalam lokakarya nasional, ‘Mengembangkan Kepemimpinan dan Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Responsif Gender’ di Hotel Santika, Yogyakarta.
Dalam presentasi itu, Silvia mengemukakan anggapannya bahwa keberadaan perempuan dalam bidang pemerintahan sering dipandang sebelah mata. “Persentase jumlah perempuan di kursi pemerintahan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tidak sampai setengahnya,” jelasnya. Namun, hal tersebut bisa diatasi dengan pembentukan kepemimpinan perempuan. Ia kemudian memaparkan keadaan Kabupaten Belu, NTT, yang cukup unik sebagai contoh.
Kabupaten Belu memiliki empat kepala desa perempuan. Jumlah tersebut mencapai 25 persen dari keseluruhan kepala desa. Persentase itu cukup tinggi bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain. Menurut Silvia, hal tersebut dikarenakan kualitas kepemimpinan perempuan di Kabupaten Belu yang lebih baik. “Itu karena tantangan yang mereka hadapi lebih banyak,” jelas Silvia. Contoh tantangan terhadap para perempuan itu adalah mengenai peran ganda dalam pembagian kerja, meliputi pencari nafkah dan ibu rumah tangga. Ia menganggap tantangan tersebut pada akhirnya mendorong para perempuan di wilayah itu untuk memiliki jiwa kepemimpinan.
Selain Silvia, Torry Kuswardono, Direktur Pengelolaan Pengetahuan Perkumpulan Pikul, turut mempresentasikan hasil penelitiannya. Policy paper berjudul ‘Pengarusutamaan Gender Pada Birokrasi: Pembelajaran dari Kabupaten Belu’ itu membicarakan kebijakan pemerintah berupa Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam tatanan pemerintahan. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk mengatasi banyaknya permasalahan terkait kesetaraan gender di Indonesia. Bentuk permasalahan itu meliputi rendahnya kualitas hidup dan kurang optimalnya layanan perlindungan perempuan. Meski kebijakan PUG telah ditegaskan sebagai agenda lintas sektor sejak 2010, hingga kini implementasinya masih dipertanyakan. “Tidak ada pengurangan beban perempuan secara nyata,” pungkas Torry. [Lintang Cahyaningsih]