“Pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah karena belum dapat menekan angka peningkatan penderita HIV-AIDS secara optimal”
Kasus HIV-AIDS saat ini telah menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang mengakibatkan tubuh tidak mampu melindungi diri dari berbagai penyakit, sedangkan HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus penyebab AIDS. Sejak kemunculannya pada tahun 1987, penyakit HIV-AIDS telah menjadi penyakit menular yang berujung pada kematian. Peringatan hari HIV-AIDS sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2013 lalu merupakan titik balik untuk menumbuhkan kepedulian terhadap ODHA (Orang Dengan HIV dan/atau AIDS).
Berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV tahun 2005 hingga bulan Juni 2013 telah mencapai angka 108.600 orang, sedangkan jumlah kumulatif AIDS mencapai angka 43.667 orang. Sejak tahun 2005 jumlah HIV mengalami peningkatan tiap tahunnya, sedangkan jumlah AIDS cenderung fluktuatif. Hal ini menunjukkan bahwa program jangka panjang mengenai pencegahan dan penanggulangan yang dilaksanakan pemerintah terhadap kesehatan belum terlaksana dengan baik.Begitu pula program-program perlindungan dan bantuan sosial masih kurang sensitif terhadap masalah HIV-AIDS yang memerlukan penanganan khusus.
Sedangkan berdasarkan faktor risiko (cara penularan) penyebaran HIV-AIDS dapat terjadi melalui hubungan heteroseksual,homoseksual, penasun, transmisi, perinatal dan lain-lain. Penyebaran AIDS tahun ini marak disebabkan oleh hubungan heteroseksual. Hal tersebut dipengaruhi oleh pergaulan remaja Indonesia yang semakin bebas, minimnya penanaman nilai-nilai keagamaan, ditambah kurangnya sosialisasi dari pemerintah terhadap bahaya seks bebas. Selain itu terjadi efek domino, dimana para lelaki pengguna jasa seks yang terinfeksi ternyata menularkannya kembali kepada pasangan. Dampaknya terjadi peningkatan kasus AIDS pada ibu rumah tangga dan dapat ditularkan pada janin mereka (perinatal). Sementara itu cara penularan HIV-AIDS melalui pengguna jarum suntik pada orang yang menggunakan NAPZA (penasun) menempati peringkat kedua setelah faktor risiko heteroseksual.
Dari tahun 2010 hingga data terakhir bulan Juni 2013, jumlah penderita HIV mengalami penurunan yang relatif kecil untuk setiap tahunnya dan jumlah penderita AIDS cenderung mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penderita HIV-AIDS adalah penduduk usia produktif. Persentase penderita HIVusia produktif (15 – 49tahun) telah mencapai lebih dari setengah jumlah populasi penderita,yaitu 90,3%. Sedangkan persentase penderita AIDS usia produktif telah mencapai yaitu 87,9% dari total penderita.
Untuk menekan jumlah penderita HIV-AIDS, terutama pada usia produktif pemerintah telah melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Komisi tersebut telah merilis kebijakan dan laporan pelaksanaan upaya penanggulangan HIV-AIDS. Salah satunya pencegahan HIV melalui transmisi seksual (PMTS). Pada tahun 2006, pemerintah mulai mencanangkan program pencegahan HIV-AIDS yang dikenal sebagai “Program Kondom 100%” atau biasa disebut dengan istilah PPK 100%. Program ini didorong oleh WHO dan didukung secara teknis oleh berbagai mitra. Pendekatan ini juga berusaha dikembangan secara serius di Indonesia untuk meminimalisir penularan HIV melalui transmisi seksual pada usia produktif.
Secara umum, pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS yang dilakukan pemerintah masih belum optimal. Program kebijakan penanggulan HIV-AIDS belum dapat menekan angka peningkatan penderita HIV-AIDS dari tahun ke tahun. Meskipun demikian,pemerintah telah berupaya menekan jumlah penderita HIV-AIDS usia produktif dan faktor risiko terbesar (transmisi heteroseksual) dengan Program PPK 100%. Namun, realitanya laporan data kumulatif dari Tahun 1987-2013 menunjukkan bahwa faktor risiko melalui transmisi seksual masih mendominasi. Program PPK 100% di Indonesia tidak mengubah faktor risiko penularan melalui hubungan seks secara signifikan. Penularan HIV-AIDS melalui transmisi seksual tetap tinggi. Program PPK 100% yang berusaha diterapkan pada subjek HIV-AIDS kelompok usia produktif sekilas mampu merepresentasikan hasil positif. Jumlah angka penderita HIV cenderung menurun sehingga virus penyebab AIDS tersebut cukup berhasil ditekan penyebarannya.Disisi lain, relevansi Program PPK 100% yang ditujukan pada penderita AIDS belum maksimal, sebab data dari tahun ke tahun masih menunjukkan fluktuasi angka. Meskipun begitu, Kementerian Kesehatan tetap mengadakan program Pekan Kondom Nasional yang berlangsung pada tanggal 1-4 Desember 2013 lalu. Tujuannya tetap sama, yaitu untuk membagikan kondom gratis di lingkungan lokalisasi atau tempat berisiko lain untuk mencegah penularan HIV-AIDS di usia muda. Implementasi program tersebut belum sepenuhnya memberikan dampak positif secara nyata dan cenderung kontroversial dari sisi etika.
Perlu adanya program tambahan yang memberikan hasil lebih baik dari program PPK 100%.Hal tersebut dapat dilakukan dengan program pendidikan seksual tentang bahaya HIV-AIDS sejak usia dini dan mengoptimalisasikan akses pelayanan kesehatan bagi ODHA. Pelaksanaan program akan lebih tepat sasaran dengan mensosialisasikan secara langsung ke masyarakat.Secara keseluruhan program penanganan HIV-AIDS dari pemerintah dapat dinilai belum memuaskan. Terlepas dari kurang optimalnya program-program pemerintah tersebut, upaya untuk menekan penyebaran HIV-AIDS adalah sebuah tantangan yang harus segera diselesaikan. Apabila program terimplementasikan dengan baik, kasus HIV-AIDS dapat ditekan seminimal mungkin agar tidak mengalami peningkatan pada beberapa tahun mendatang. [Gabriel Cahya A, Rizqi Prasetiawan, M.Musta’in]