“Sikap bertoleransi kita saat ini masih pasif,” ujar Tata Khoiriyah dalam diskusi rutin yang diadakan MAP Corner-Klub MKP, Selasa (24/12). Diskusi kali ini bertemakan “Deklarasi Pecinta Sunnah: Campur Tangan Pemerintah dalam Kebebasan Berkeyakinan?”. Acara ini berlangsung mulai pukul 16.00 WIB dan bertempat di Lobi Magister Administrasi Publik (MAP).
“Seharusnya kita berperan lebih aktif dengan cara koeksistensi,” lanjut Tata kembali. Aktivis Jaringan Gusdurian Yogyakarta ini menerangkan, koeksistensi ialah sikap mengenal, memahami, dan mau hidup bersama. Sedangkan toleransi menurutnya hanya sekadar sikap tidak saling mengganggu tanpa mau mengenal.
Koeksistensi perlu di saat masifnya wacana intoleran yang bergulir. “Soalnya gagasan intoleran mendapat perhatian lewat pemberitaan di media,” terang Tata yang menjadi pemateri diskusi kali ini. Contohnya, beberapa minggu lalu ada diskusi yang kontra terhadap aliran Syiah di Masjid Kampus (Maskam) UGM. “Jangan-jangan karena kita tidak ingin memahami Syiah maka muncul sikap seperti itu,” ujarnya. Lebih lanjut, menurutnya sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini selalu menyulut konflik. Hal ini dikarenakan MUI seolah menjadi satu-satunya lembaga yang punya otoritas untuk menafsirkan Islam.
Pemateri lainnya, Iqbal Ahnaf memaparkan bahwa masifnya wacana intoleran tercermin dari tren isu bahaya aliran sesat di masyarakat saat ini. Hal tersebut memunculkan banyak kelompok yang merasa agama tengah berada dalam kondisi darurat dan terancam. Kelompok tersebut sering melakukan kesewenangan dengan dalih Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965. Di salah satu pasalnya melarang penyimpangan pokok-pokok ajaran agama. “Namun, tidak diterangkan definisi dari pokok-pokok ajaran agama tersebut. Akibatnya, banyak interpretasi yang timbul,” terang peneliti Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) ini. Menurutnya, negara berhenti pada tahap pembuatan peraturan dan tidak mampu menjawab persoalan sosialnya.
Untuk itu, perlu kontrol dari pihak masyarakat sendiri untuk meredakan ketakutan akan isu bahaya aliran sesat. Selain juga, agar membantu pemahaman tentangnya. “Salah satunya lewat diskusi di kampus seperti ini merupakan bagian dari kontrol dari civil society,” tukas Iqbal. Pertemuan berbagai perspektif akan memunculkan pemahaman yang tidak tendensius. Seperti yang diharapkan peserta diskusi Ahmad Shalahuddin, “Isu-isu seperti ini memang sensitif. Karena itu diskusi seperti ini harus gencar dilakukan sebagai bentuk kontrol civil society,” tanggapnya. [Agung Hidayat]