Permasalahan perkotaan memang memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi. Berbagai kelompok masyarakat mendiami wilayah ini dengan heterogenitas etnis, agama, maupun jenis pekerjaan. Banyak pula masyarakat pedesaan (rural society) yang berbondong-bondong ‘menyerbu’ perkotaan, tentunya dengan tujuan yang bermacam-macam. Sebab, perkotaan (urban) dipandang mempunyai segala alat pemenuhan kebutuhan manusia. Ya, seperti kata pepatah, di mana ada gula, di situ ada semut.
Fenomena Sosial Perkotaan
Daya tampung perkotaan sebetulnya memang terbatas. Pembangunan pun sepertinya kurang memperhatikan kondisi sosiologis dan ekologis, sehingga kota semakin terkooptasi dan segregasi sosial semakin meningkat. Akibatnya, lahan banyak yang ditumbuhi bangunan, sungai tercemar, polusi udara tinggi, dan ruang terbuka semakin menyusut.
Salah satu permasalahan di perkotaan yang banyak merenggut nyawa adalah kecelakaan lalu lintas. Padahal, aktivitas tinggi memaksa warga masyarakat menggunakan infrastruktur jalan yang kurang layak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas meningkat. Pertama, pembangunan infrastruktur jalan selama ini seakan tidak pernah tuntas. Selalu terjadi bongkar pasang, entah untuk pembangunan jaringan pipa air bersih, jaringan kabel, jaringan fiber optic, jaringan pipa limbah, gorong-gorong, dan sebagainya. Perencanaan holistis terkesan diabaikan, akibatnya banyak dampak pascapengerjaan yang menyisakan kerusakan jalan. Belum lagi sempitnya jalan, ditambah maraknya badan jalan yang digunakan untuk parker. Hal ini tentu memicu kepadatan lalu lintas sehingga porsi jalan makin berkurang.
Kedua, sarana transportasi massal yang kurang layak. Kelakuan beberapa sopir bak raja jalanan, mereka berbuat tindakan arogan ugal-ugalan. Tak jarang nyawa penumpang menjadi taruhan demi mengejar target setoran. Pengusaha (bus, angkot, metromini, dan lain-lain) seolah hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Padahal, sebagai konsumen, penumpang/pengguna moda angkutan massal dilindungi secara hukum oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Ketiga, Pengawasan terhadap pengguna jalan belum tertata baik. Masih banyak dijumpai di jalan, warga yang belum cukup umur mengemudikan kendaraan, tidak menggunakan helm, bahkan tidak dilengkapi SIM. Padahal UU Nomor 22 Tahun 2009, pasal 77 menyebutkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Budaya tidak tertib semacam ini yang tak jarang menimbulkan kecelakaan lalu-lintas.
Harapan Masih Terbuka
Meskipun kondisi jalan dan transportasi bak mesin pembunuh yang menyeramkan, masih ada harapan terbuka untuk mengantisipasi dan meminimalisir tingkat kecelakaan lalu lintas. Pembangunan jalan harus menjadi perhatian serius Kementerian Pekerjaan Umum (jalan nasional) dan Dinas Pekerjaan Umum (jalan provinsi/kabupaten/kota). Perencanaan dalam pembangunan jalan seharusnya dilakukan dengan matang. Misalnya, melakukan penataan jadwal pembangunan fasilitas jaringan pipa air bersih, jaringan kabel, jaringan fiber optic, jaringan pipa limbah, gorong-gorong, dan sebagainya agar mengurangi tambal sulam jalan.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang lebih ketat terkait kelayakan kendaraan umum, termasuk emisi gas buang yang menimbulkan polusi berlebih. Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan sebagai regulator harus obyektif, tidak tebang pilih melakukan penataan dan pengawasan serta menindak tegas siapa saja yang melanggar aturan, termasuk pengusaha angkutan.
Peran aktif masyarakat pun sangat dibutuhkan. Budaya tertib lalu lintas senantiasa harus ditingkatkan. Organisasi masyarakat sipil (civil society organizations) dalam era keterbukaan dan demokrasi bisa berperan menciptakan budaya taat. Kesadaran akan hal ini dapat dibangun melalui berbagai saluran seperti komunitas sepeda motor, komunitas mobil, konsumen transportasi massal. Jangan sampai, jalan yang seharusnya menopang kebutuhan masyarakat perkotaan malah menjadi momok menakutkan bagi warga perkotaan.
R. Arif Widiharto, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2009