“Worldview ibarat sebuah peta,” terang Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, Ketua Program Studi Pascasarjana Centre for Advances Studies on Islam, Science and Civilization (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia saat mengisi sesi pertama, “Seminar Kepemimpinan Muslim Muda,” Senin (4/11) di Gedung Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh CASIS bekerjasama dengan Universitas Ibnu Khaldun dan Sekretariat Transformasi Serantau (STS). Selain peserta dari Indonesia, perwakilan mahasiswa dari Malaysia juga hadir dalam acara tersebut.
Prof.Wan melanjutkan, layaknya sebuah peta, worldview akan membantu setiap orang menemukan jalan. Kalau pun tersesat, akan mudah menemukan jalan pulang. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan jika wordview yang menjadi pegangannya jelas. Berbeda jika worldview yang dimiliki seseorang tidak jelas, ia akan kebingungan menentukan jalan. “Seperti buih di lautan,” ungkapnya. Dia menambahkan, dalam islam, worldview tidak semata-mata diartikan sebagai pandangan dunia. Sebab, islam tidak hanya mengenal alam dunia, melainkan juga metafisik, yang saling terkait satu dengan yang lain. “Berbeda dengan barat yang cenderung membuat fragmentasi-fragmentasi dalam berpikir,” jelasnya.
Akan tetapi, ia menjelaskan mengenai pentingnya menempatkan barat dan islam sebagaimana mestinya. “Barat memiliki kelemahan, sekaligus kekuatan. Begitu juga islam,” tambahnya. Sebab, islam merupakan agama yang dinamic stabilism. Seperti halnya para da’i terdaulu yang menyebarkan dakwah di tanah melayu dengan menerima budaya yang sudah hidup di masyarakat. “Islamisasi bukan arab-isasi,” tegasnya. Kalau pun beberapa kosa kata arab digunakan, hal itu karena ada keperluan.
Sayangnya, Dr. Nirwan Syafrin menerangkan, kini umat islam mempunyai watak ekstrem dalam berbagai aspek, di antaranya aqidah, ibadah, dan akhlaq. “Ada yang terlalu kiri, ada juga yang terlalu kanan,” terang peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini. Misalnya, kelompok yang menamai diri mereka salafi yang terlampau berlebihan memandang syariat. Contoh lain, kaum liberalis yang terlalu mengesampingkan hal-hal fundamental dan menganggapnya sebagai budaya semata. Padahal menurutnya, islam sesungguhnya cukup moderat. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu,” terangnya mengutip Al-Baqarah ayat 185.
Hal ini, menurutnya, dikarenakan krisis epistemologis yang melanda umat muslim. Krisis ini mengakibatkan hilangnya daya nalar untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Selain itu, kini otoritas juga semakin kabur. Ditambah lagi, sikap dalam mengatasi perbedaan pun tidak sebagaimana mestinya. “Harusnya perbedaan itu dipertegas, bukan dihilangkan,” jelas Adnin Armas, pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Maka dari itu, Dr. Nirwan menekankan pentingnya mengkaji khazanah keilmuan ulama klasik sebagai upaya menyelesaikan permasalahan ini. “Salah satu keberhasilan ulama klasik adalah membangun kerangka epistemologi yang cukup kuat,” terangnya. Dr. Wan Suhaini Wan Abdullah, Dosen Aqidah dan Pemikiran Islam, Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, Malaysia juga mengatakan hal senada. “Walaupun demikian, jangan sampai silap. Tetap perlu kritis dan analitis,” tambahnya. [Ahmad Syarifudin]