Pemukulan gong oleh Wakil Menteri Kesehatan Indonesia, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., menjadi penanda dimulainya acara. Bertempat di Ballroom The Sahid Rich Hotel Jogja, Asia Pacific Environmental and Occupational Dermatology Symposium (APEODS) ke-12 resmi dimulai pada Rabu (23/10). Simposium yang akan berlangsung hingga (24/10) ini merupakan agenda tahunan para dokter spesialis Dermatologi dan Veneurologi se-Asia Pasifik. Simposium ini nantinya akan dilanjutkan dengan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin ke-13 (PIT PERDOSKI) pada (25-26/10). Berbeda dengan APEODS, simposium PIT PERDOSKI adalah pertemuan bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) yang merupakan organisasi profesi dokter kulit dan kelamin se-Indonesia. “Kebetulan dua agenda yang berlainan ini bertempat di Yogyakarta, jadi sekalian kami gabung jadi satu acara,” ujar Prof. Dr. dr. Sjarief Hidayat M.D., FINSDV, FAADV selaku Ketua PERDOSKI.
Dalam sambutannya, Sjarief berpendapat bahwa acara yang dihadiri oleh kurang lebih sebelas negara kawasan Asia Pasifik ini bermanfaat bagi Indonesia. Tema acara yang dipilih, ‘Role of Dermatology in Environmental and Occupational Health’ pun dinilai sesuai dengan banyaknya penyakit yang ada di Indonesia. “Banyak penyakit kulit dan kelamin yang muncul akibat faktor lingkungan dan pekerjaan,” ungkapnya. Ia menambahkan, fenomena ini terjadi lantaran Indonesia adalah negara berkembang yang industrinya baru tumbuh. Dengan bertumbuhnya industrialisasi, muncul lingkungan kerja baru yang berpotensi menyebabkan penyakit kulit juga baru. Dengan simposium ini, ia berharap wawasan akan penyakit kulit dapat bertambah di kalangan dokter-dokter Indonesia.
Pada hari pertama APEODS, enam simposium berhasil digelar dari pukul 09.30 hingga 15.00. Masing-masing simposium diisi oleh berbagai ahli Dermatologi lokal maupun mancanegara. Salah satunya adalah dr. Muchtaruddin Mansyur, M.S., SP. Ok, Ph.D. Beliau menyoroti permasalahan kesehatan kulit di lingkungan kerja. Dalam salah satu survei, ditemukan bahwa dari 175 perajin batik, 26,7 persen diantaranya terjangkit penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena para perajin tersebut tidak menggunakan alat pengaman seperti sarung tangan. “Jadi, memang dibutuhkan tenaga profesional untuk penanggulangannya,” terangnya.
Hari kedua APEODS dilangsungkan pada Kamis (24/10). Serupa dengan hari sebelumnya, acara ini juga menggelar enam simposium dengan berbagai pembicara terkemuka. Salah satunya adalah dr. Melvin Ee, MB ChB, FRCP, FAMS yang membahas ihwal penanganan kanker kulit. Dokter dari Pusat Kulit Nasional Singapura ini mengatakan, kanker kulit nonmelanoma paling sering ditemui di Asia. “Penanganan kanker kulit ini bisa dilakukan melalui operasi Mohs,” terangnya.
Lancarnya keberlangsungan simposium se-Asia Pasifik ini menjadi kebanggan sendiri bagi Prof. Goh Chee Leok, MD, MBBS, M.Med., MRCP, FCRP, FAMS. Sebagai ketua APEODS, beliau memandang bahwa permasalahan kesehatan kulit di Asia memang berbeda dengan Eropa. Misalnya saja, penyakit kulit semacam infeksi jamur di Asia sudah biasa terjadi, sementara orang Eropa kerap heran melihat penyakit itu. Hal ini disebabkan karena perbedaan iklim di Asia yang kontras dengan Eropa, sehingga penyakit yang beredar pun berbeda. Maka dari itu, Goh menilai penting untuk mempersatukan ahli Dermatologi yang berasal dari daerah yang sama. Untuk itulah ia membentuk APEODS. “Dengan forum ini, kita bisa bersama-sama membahas yang terbaik untuk Asia,” tandas ahli Dermatologi dari Singapura ini. [Hamzah Zhafiri Dicky, Lintang Cahyaningsih]