Nita menggelendot manja. Sembari memegang tangan, dia melompat ke dalam pangkuan Mamanya. Dipegang erat-erat tangan Mamanya seolah-olah akan pergi jauh meninggalkannya.
“Malam ini aku mau mendengar cerita Mama,” pinta Nita dengan tangan memainkan jemari Mamanya.
“Cerita apa? Cinderella? Snow White? Si Kancil? atau Jaka Tarub?” Mama mencoba membuat sebuah penawaran. Nita menggelengkan kepala.
“Cerita asli bikinan Mama. Nita maunya cerita asli karangan Mama,” pinta Nita setengah merengek. Mama terdiam sejenak. Berpikir nampaknya. Nita masih memainkan jemari Mamanya. Kali ini sambil memonyongkan bibir sambil mendesiskan keinginannya.
“Baiklah, kamu pengen cerita tentang apa?”
“Mama, ceritakan tentang sebuah kebenaran,ya,” pinta Nita. Mama ikut berbaring di kasur bersama Nita. Dirangkulnya Nita, hangat.
“Ini bukan sebuah cerita, Sayang. Ini sebuah hikayat. Judulnya Hikayat Si Lidah Benar.”
Alkisah dulu di sebuah desa yang makmur terdapat seorang anak laki-laki yang sangat jujur.Semua yang dia katakan selalu benar.Tak pernah sekali pun dia mungkir. Jika ada orang yang mencuri domba dan dia tahu, dia akan menunjuk siapa yang melakukan. Jika ada yang tidak salah dan dipersalahkan, dia pun mengatakan yang sebenarnya. Tak peduli siapa dan apa jabatan orang itu. Dia mengatakan yang sebenar-benarnya, selalu. Semuanya dikatakan sesuai dengan apa yang terjadi, terlihat, dan ada di hadapannya.
Semua orang menyukai anak laki-laki itu. Kedua orang tuanya amat bangga. Ajaran mereka agar selalu bersikap jujur merasuk ke dalam sukma anaknya. Tidak ada kebohongan dan perkataan palsu. Kebenaran dijunjung sebenar-benarnya. Dia pemuda kebanggaan desa. Kebenaran ucapannya selalu dipegang teguh oleh kesemuanya. Tak ayal dia dijuluki Si Lidah Benar.
Suatu hari Si Lidah Benar sedang keliling malam di desanya. Dia mendapat amanat dari Kepala Adat untuk menjaga keamanan desa tiap malamnya. Ditemani dua orang kawannya, Si Lidah Benar menyusuri daerah persawahan desa. Dengan cermat dipandanginya tanaman pangan yang sudah menguning. Namun yang terdengar hanya bunyi jangkrik berderik.
Dia pun melanjutkan langkahnya menuju lumbung desa. Posisinya tak jauh dari sawah. Dengan langkah tegap dia memimpin di depan. Kedua kawannya melemparkan pandang ke kiri dan kanan. Mata mereka masih siap waspada menerawang jauh menembus kegelapan malam.
Beberapa meter mendekati pintu gudang, Si Lidah Benar melihat bayang-bayang orang menelusup ke belakang gudang. Bayang-bayang itu berduyun-duyun melangkah memasuki gudang. Lidah Benar segera memberikan kode kepada kedua kawannya untuk mendekat. Mereka berkumpul di balik pohon dan semak-semak yang ada di depan gudang.
“Ada pencuri rupanya,” ujar Sunar, dia mengambil golok yang sedari tadi disembunyikannya di balik sarung.
“Lantas bagaimana? Kita serbu sekarang?” timpal Man.
“Tentu. Pasti kita akan serbu mereka. Tapi harus hati-hati. Jangan berisik. Perlahan tapi menghanyutkan,” jawab Lidah Benar.Kedua kawannya itu mengangguk pasti.
Mereka pun berpisah. Sendiri-sendiri mereka mengendap-endap memasuki gudang lewat samping kanan dan samping kiri gudang. Gerimis turun dari atas langit. Lidah Benar menyeka matanya yang buram terkena air hujan. Dia memilih jalur samping kanan gudang. Di sana Lidah Benar melihat empat ekor kuda yang tengah dijaga oleh dua orang. Dia mengendap, mendekati dua orang penjaga itu.
Sementara itu, Sunar dan Man sudah melakukan penyerangan di dalam gudang. Mereka menemukan empat orang dengan muka tertutup kain tengah membopong karung-karung beras keluar gudang. Tanpa pikir panjang, mereka pun langsung menyerang orang-orang berkain itu.
Lidah Benar pun sudah tuntas menghajar kedua penjaga kuda itu.Tak butuh waktu lama untuk melumpuhkan keduanya. Dia melepaskan ikatan-ikatan kuda. Tali-tali tambang itu dipotongnya dengan golok yang dia bawa. Dilepaskannya kuda-kuda itu dari belenggu. Tanpa berpikir, kuda-kuda itu segera lari meninggalkan gudang. Gerimis menjelmakan dirinya menjadi hujan. Bulir-bulir bening membengkak ukurannya. Jatuh keras mengenai tubuh bumi. Juga tubuh Si Lidah Benar.
Dia segera berlari menuju gudang bagian belakang. Tempat di mana kedua kawannya tengah baku hantam melawan orang-orang berkain itu. Sunar terhuyung-huyung menegapkan diri. Dia jatuh telak terkena tendangan lawan. Tubuhnya menghantam tumpukan karung padi yang begitu mampat padatnya. Man sendiri masih sibuk mengurusi dua orang pengepung yang dengan lihainya memainkan golok untuk menyerangnya. Untungnya, keahlian Man cukup di atas rata-rata. Jika tidak, sudah dari tadi lehernya putus terkena sambitan golok.
Lidah Benar segera membantu Man bebas dari kepungan dua orang pengguna golok itu. Dia datang dengan mengejutkan. Ditendangnya kedua orang itu dari belakang tepat di bagian tengkuk kepala. Kedua orang tersebut langsung jatuh seketika mencium tanah kering. Dua orang lain yang tengah mengerubungi Sunar segera berlari mendekati dua orang temannya itu. Mereka membantu berdiri kedua temannya. Terburu-buru mereka berlari keluar gudang. Lidah Benar ingin mengejarnya. Namun melihat kondisi Sunar dan Man yang terluka parah, Lidah Benar memutuskan untuk membiarkan mereka pergi. Yang jelas, Lidah Benar sudah menaklukkan dua orang penjaga kuda yang bisa ditanya-tanyai olehnya.
Keesokan harinya, Lidah Benar dan kedua temannya membawa kedua penjaga kuda itu ke rumah Kepala Adat. Mereka berdua diinterogasi siapa yang mengajak mereka berkomplot mencuri beras di gudang penyimpanan. Agak sulit memang, tapi akhirnya mereka mengaku bahwa yang mengajak mereka adalah putra sulung Kepala Adat. Semua orang yang ada di sana kaget bukan main. Kepala Adat pun merah padam mukanya.
“Tidak mungkin putra sulungku yang mencuri! Laknat sekali tuduhanmu!” gertak Kepala Adat penuh amarah.
“Tidak, kami tidak bohong. Cobalah bawa kemari putra sulung Kepala Adat. Mari kita buktikan kebenarannya bersama-sama,” tantang salah satu di antara mereka. Putra sulung Kepala Adat pun dibawa ke rumah Kepala Adat. Dia datang dengan leher dibebat kain. Lidah Benar pun ingat bahwa dia sempat menendang leher dua orang pencuri hingga mereka jatuh terguling.
“Ya! Aku yakin kalau salah satu pencurinya adalah putra anda Kepala Adat,” ujar Lidah Benar membenarkan ucapan kedua penjaga kuda itu.
“Ucapanmu omong kosong belaka, Lidah Benar! Kamu menuduh orang tanpa bukti yang jelas,” sahut Kepala Adat dengan murka.
“Saya mengatakannya dengan bukti. Kemarin saya menendang tengkuk leher pencuri itu dan sekarang bisa dilihat sendiri bagaimana kondisi tengkuk leher putra sulung Kepala Adat,” jelas Lidah Benar. Kepala Adat terdiam. Begitu juga yang lainnya. Semua pandangan tertuju ke arah leher putra sulung Kepala Adat.
“Anakku, jelaskan bagaimana bisa lehermu terbalut kain seperti itu? Benarkah apa yang dikatakan Si Lidah Benar?” tanya Kepala Adat kepada putranya.
“Ti…tidak, Ayah, tentu tidak. Mana mungkin aku bisa berbuat sekeji itu!” sahutnya dengan pandangan mata tertunduk. Tak seorang pun diperbolehkan menatap matanya langsung.
“Lantas kenapa lehermu seperti itu? Terbalut kain dan tak bisa menggeleng,” kejar Lidah Benar menginginkan kepastian.
“I.. ini…ini…karena…karena….”
“Karena apa?” tegas Lidah Benar.
“Karena terjatuh dari pohon kelapa. Suamiku jatuh dari pohon kelapa kemarin sore,” sahut istrinya yang mendampingi di samping. Matanya nyalang membutuhkan dukungan. Tetapi, sama seperti suaminya, tak diizinkannya orang lain bertatap langsung dengan matanya.
“Lantas bagaimana dengan kesaksian kalian berdua? Hai Sunar? Man?” tanya Kepala Adat setengah mendesak.
“Mohon ampun, Kepala Adat. Kami tidak bisa memberikan kepastian karena semua muka pencuri ditutup kain. Kami hanya mencoba melakukan sebaik mungkin yang kami bisa untuk menjaga padi di lumbung,” jawab Sunar sekaligus mewakili Man.
“Tak ada bukti yang mencukupi. Semua tuduhan kalian dianggap dusta. Kalian aku kenai hukuman penjara adat karena telah berani menuduh putra sulungku mencuri,” putus Kepala Adat. Para penjaga segera menangkap Lidah Benar dan kedua penjaga kuda. Mereka pun dimasukkan ke dalam penjara adat tanpa adanya pembelaan.
Keluarga Lidah Benar kaget bukan main mendengar hukuman yang diterima Lidah Benar dari Kepala Adat. Cepat-cepat ibu dan ayahnya datang menyambangi Lidah Benar. Mereka pun menemukan Lidah Benar tepekur di dalam penjara yang tak seberapa luasnya.
“Anakku, anakku…. Malang sekali nasibmu, Nak,” rintih ibunya. Dibelai-belainya rambut hitam anaknya dari balik jeruji penjara.
“Kenapa bisa kamu tuduh anak Kepala Adat?Kamu ‘kan tahu bagaimana resikonya, Nak? Besok kamu bisa dihukum cambuk hingga mati, Nak,” ujar ayahnya.
“Tapi semua yang aku katakan adalah kebenaran. Bukankah kalian sendiri yang mengajarkan kepadaku untuk selalu berujar benar?” sanggah Lidah Benar.
“Iya, anakku. Tapi sekarang keadaannya lain. Kamu bisa mati. Berbohong sajalah, Nak. Sekali saja. Supaya nyawamu itu selamat,” nasihat ibunya.
“Iya Nak. Takkan rugi nyawamu jika kamu berbohong sekali,” tambah ayahnya.
“Tidak! Aku tak akan pernah berbohong. Aku percaya kebenaran akan selalu menang,” tegas Lidah Benar tetap pada pendapatnya. Tak ayal ibu Lidah Benar pun pingsan seketika. Ayahnya panik. Begitu juga para penjaga. Mereka segera membopong ibu Lidah Benar keluar dari penjara. Lidah Benar hanya bisa memandangi ibunya dengan muka tertekuk. Sedih dan perih mengiris-iris nuraninya.
“Sudahlah, berbohong sajalah Lidah Benar,” bujuk sebuah suara dari luar jeruji. Lidah Benar memicingkan matanya ke arah datangnya suara itu. Ternyata pemilik suara itu adalah putra sulung Kepala Adat.
“Jika kamu berbohong, besok tak akan ada hukuman cambuk seribu kali hinggap di tubuhmu. Kamu terbebas, keluarga bahagia. Hukuman hanya dialihkan pada kedua penjaga kuda itu. Menyenangkan bukan?” ujar putra sulung Kepala Adat.
“Tak sudi aku memihakmu,” bantah Lidah Benar.
“Bodohnya kamu, wahai Lidah Benar. Kedua penjaga kuda itu sudah setuju pula untuk mendukungku. Kenapa kamu bersikeras seperti ini? Kebenaranmu hanya membawa petaka bagi hidupmu,”
“Bagi orang mungkin ini petaka, tapi bagiku ini adalah perjuangan,” tandas Lidah Benar.
“Baiklah, selamat menikmati pahitnya perjuanganmu esok hari,” ujar putra sulung Kepala Adat setengah mengejek sebelum akhirnya meninggalkan Lidah Benar sendirian. Lidah Benar hanya bisa mendesah di dalam hati.
Keesokan harinya, Kepala Adat mengumpulkan seluruh warga di tengah tanah lapang. Pagi ini Lidah Benar akan dieksekusi karena telah menuduh putra sulung Kepala Adat mencuri beras di lumbung padi. Lidah Benar dikenai hukuman cambuk seribu kali.
Dengan langkah tegap, Lidah Benar mendatangi tempat eksekusi. Dia berjalan didampingi dua orang penjaga. Semua baju ditanggalkan dari tubuhnya. Yang tersisa hanya cawat saja.
“Kamu yakin tidak mau mengaku bahwa ucapanmu salah, Lidah Benar?” tanya Kepala Adat sekali lagi. Lidah Benar tetap diam tak bergeming.
“Laksanakan hukuman!” perintah Kepala Adat.Kedua belah tangan Lidah Benar diikat di tiang gantungan. Seorang penjaga sudah membawa cambuk rotan yang begitu tebal. Dia pun mulai mencambuki tubuh Lidah Benar.
“Satuuuuuu!”
“Arrrrrghhhhhhh!”
“Duuuuuuaaaaa!”
“Arrrrrggghhhhhh!!!!!”
“Tiiiigaaaaaa!!!”
“Arrrrrgggggggghhhhh!!!!!” begitulah terdengar suara hitungan diiringi suara lengkingan kesakitan Lidah Benar. Balur-balur merah terlukis jelas di tubuhnya. Merah dengan hiasan tetes darah segar. Kulit Lidah Benar terkelupas sudah. Dagingnya merah merekah bertahta darah.
“Seriiiibuuuuuu!”
Cetaaaaaaaaaaaaaaaar! Hanya suara cambukan yang terdengar. Tak ada suara jeritan Lidah Benar. Tukang cambuk mendekati Lidah Benar. Diperiksanya denyut nadi. Dia pun menggelengkan kepala.
“Haruskah kita berbohong,Ma? Agar tidak sengsara seperti Lidah Benar?” tanya Nita polos. Mama menggelengkan kepala seraya berkata, “Masih ada kelanjutannya, Nak. Kebenaran selalu menang.”
Semua penduduk kembali ke rumah masing-masing. Tubuh Lidah Benar dibiarkan saja di tiang gantungan sebagai peringatan kepada seluruh warga. Semua terdiam, semua pasrah. Keluarga Lidah Benar hanya bisa menangis meratapi nasib anaknya di rumah. Tak ada seorang pun yang berani mendekati tubuh Lidah Benar.
Tes… tes… tes… darah segar menetes. Diikuti oleh tetesan air hujan. Mendadak langit menjadi gelap gulita. Sangat gelap dengan petir dan kilat menyambar-nyambar begitu meriahnya. Taaar!!! Sebuah pohon beringin tumbang! Taaaar!!!! Pohon kelapa tumbang! Petir menyambar-nyambar merobohkan semua pepohonan tinggi yang ada di desa. Taaaar!!! Rumah Kepala Adat dan putra sulungnya tersambar petir sebanyak lima kali! Gosong melompong seketika seluruh rumah dan penghuninya! Hujan lebat turun sederas-derasnya. Banjir pun menggenangi seluruh desa. Tubuh Lidah Benar ikut menggenang, begitu juga dengan tubuh Kepala Adat dan putra sulungnya.
“Begitulah akhir ceritanya, Nita. Kepala Adat dan putra sulungnya mati terkena sambaran petir,” ujar Mama kepada Nita. Sayangnya, Nita sudah menutup matanya. Mama pun menyelimuti tubuh Nita. Ditutupnya jendela kamar yang masih terbuka.
“Sayang! Sayang! Kamu di mana?” panggil Ayah.
“Aku di kamar Nita, Mas. Ada apa?” buru-buru Mama mematikan lampu kamar lalu keluar. Di depan pintu Ayah sudah menunggu.
“Uang di rekening tadi pagi sudah dipindah ke rekening lain ‘kan, Sayang? Jangan sampai ketahuan, ya? Nanti Ayah bisa kena sidak kayak Pak Bakri,” ujar Ayah kepada Mama.
“Sudah, kok. Tenang saja. Semuanya aman,” Mama tersenyum sembari menutup pintu kamar Nita. Di atas tempat tidur, Nita masih berpikir haruskah seseorang berbohong untuk selamat dari hukuman?
Mira Tri Rahayu, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UGM yang rupanya menginginkan hidup damai tapi hidup selalu ramai.