Die taz: Sebuah Catatan Harian (7)
Keputusan Sidang Pleno Nasional pada 2 Oktober 1991 menjangkau begitu jauh sehingga konsekuensinya sulit ditebak. “Kita baru akan tahu dalam beberapa minggu, apakah pilihan-pilihan mayoritas ini akan menyisakan seonggokan serpih kaca pecah atau membawa pencerahan bagi masa depan taz.” Itulah keraguan yang dirasakan setelah sidang maraton dua hari di gedung kebudayaan Haus der Kulturen di Berlin. Demi mencari kepastian, enam minggu kemudian diselenggarakan lagi pemungutan suara, seakan-akan hasil sebelumnya tidak bisa dimengerti. taz tidak dijual, begitulah kesimpulan dari sidang pada 2 Oktober itu. Semua akan berjalan seperti sediakala, tidak ada perubahan.
Pemberitahuan bernada ultimatum muncul pada 18 November. “taz akan dijual. Kepada pembacanya.” Bagai lonceng retak, pernyataan itu terdengar seperti tawaran diskon di akhir musim. Kemudian masa “jual murah” akan berakhir dan segalanya selesai. Tapi, ternyata tidak begitu. taz hanya berubah dan menciptakan dirinya yang baru.
Eksistensi taz sudah lebih dari setahun goyah. Bagi surat kabar yang mana krisis adalah kondisi normal, situasinya tetap belum pernah separah ini. Sebuah perusahaan yang tidak punya modal sendiri itu bertentangan dengan asas kapitalisme.
taz memang menolak sistem kapitalisme. Sebagai proyek alternatif, taz tidak mencari laba, melainkan hanya ingin menghasilkan cukup dana agar bisa terus-menerus meningkatkan kualitas produknya. Realitasnya beda. Selama bertahun-tahun, taz terseok-seok menghadapi ancaman bangkrut. Runtuhnya tembok Berlin dan bersatunya Jerman menyebabkan penghematan pemerintah, yang pada 1991 menggiring taz ke pilihan hidup atau mati.
Setelah subsidi Berlin dihapus, setiap bulan taz mengalami kerugian sekitar 100.000 mark. Belum lagi, upah yang telah dinaikkan menjadi 1.550 mark itu tidak mencukupi biaya sewa dan hidup yang melejit tinggi di ibukota.
Koran taz-ost yang diterbitkan untuk penduduk Jerman Timur kemudian gagal mendapat pelanggan baru. Harapan menaikkan oplah kandas. Di Berlin, setiap hari 16 surat kabar berjejer di etalase kios-kios koran. Persaingan begitu keras. Bagaimanakah taz, yang sudah terpojok, bisa terus hidup tanpa adanya investasi?
Bencana Finansial
Direksi Yayaan Sahabat Taz, yang masih memiliki harian alternatif ini, pertengahan 1991 secara internal mempublikasikan gambaran buruk keuangan taz. Perusahaan taz perlu disehatkan kembali.
Secara finansial, hingga akhir tahun taz kekurangan dana senilai 700.000 mark dan untuk tahun 1992 berikutnya dibutuhkan 1,4 juta mark. Sebagai konsekuensi, “taz perlu harus dibuat begitu ekonomis sehingga menghasilkan keuntungan.” Mungkin kesimpulan seperti ini bisa dianggap biasa saja, tapi bagi surat kabar antikapitalisme, ini bagai provokasi pemicu pemberontakan. Orientasi mencari laba bisa mengubah sistem ekonomi alternatif.
Dari sebuah proyek menjadi surat kabar, begitu awal argumentasi Pemimpin Redaksi taz Andreas Rosteck. Struktur alternatif mengancam taz terjorok ke dalam liang kubur. “taz sejak awal hidup di luar batas kemampuan finansialnya. Bukan kemampuan ekonomi yang menentukan pilihannya, melainkan visinya yang menjadi tolok ukur dari kebutuhan finansialnya.” Agar visi dan realitas bisa diselaraskan, tim redaksi menilai keberadaan investor kuat yang mengucurkan dana bisa menyelamatkan taz.
Rasa muak akan tanggung jawab bersama yang dituntut oleh demokrasi akar rumput dan selama ini ditekan, akhirnya meledak: sebal sudah semua orang melihat lorong-lorong dekil, toilet tanpa kertas pembersih, serta menghadapi bencana finansial dan ingin diperbolehkan untuk hanya memikirkan urusan kerja jurnalistik.
Tingginya Pekerja Hengkang
Dalam perusahaan yang memiliki 200 orang pekerja, sudah tidak masuk akal bila semua orang harus turut menentukan segala hal, di mana tak satu pun orang kemudian merasa bertanggung jawab atas keputusan itu. “Mereka yang memutuskan, harus bertanggung jawab,” ungkap Direktur Eksekutif taz Karl-Heniz Ruch. “Dan mereka yang memiliki tanggung jawab, juga harus boleh mengambil keputusan.” Apa yang terdengar sederhana ini bukanlah hal lumrah yang tak tidak bisa disangkal.
Hak untuk mengatur diri sendiri dan upah yang sama untuk setiap orang merupakan simbol penting yang menandakan adanya demokrasi basis. Namun, dalam setiap perombakan, biasanya simbol-simbol utama yang pertama dikorbankan. Kenyataannya, dalam sistem pengaturan diri sendiri itu justru terbangun pertemanan yang tidak berbeda dengan sistem koneksi, selain itu terbentuk beberapa lingkaran kekuasaan yang tidak bisa dikontrol. Tanpa bermain sikut, seseorang tidak punya peluang untuk menerobos gurita hubungan yang tidak transparan ini. Bukannya bekerja sama, orang-orang malah saling intrik.
Upah sama hanya menjadi ungkapan kosong bagi eksploitasi diri yang semakin menjadi-jadi. Artinya, memang seorang pekerja taz bisa ongkang-ongkang kaki dan menerima upah yang sama. Akan tetapi, bagi mereka yang membanting tulang dan bekerja sepenuh hati, upah itu sama sekali tidak setimpal. Padahal, upah sama diberlakukan untuk membangun keadilan, yang tidak ada di perusahaan-perusahaan kapitalis. Keadilan macam ini, menurut Pemimpin Redaksi taz Andreas Rosteck, menyebabkan banyak pekerja bagus meninggalkan taz untuk penghasilan yang lebih baik.
Paling terpukul oleh menurunnya kualitas surat kabar akibat tingginya jumlah pekerja hengkang adalah kelompok yang mendambakan profesionalisasi taz. Karenanya, kenaikan upah merupakan salah satu tuntutan reformasi taz.
Namun, perlu diakui bahwa banyak redaktur dan penulis mengalami masa-masa paling produktif dan kreatif di taz. Kemudian setelah pindah, nama mereka seakan tenggelam. Tampaknya, kebebasan berkreasi inilah yang menjadi kelebihan untuk memilih bekerja di taz dengan upah rendah.
Generasi muda, yang berabung dengan taz seputar tahun 1990-an, memiliki ikatan dan ambisi politik yang lebih rendah. Mereka sejak awal melihat dirinya sebagai jurnalis, yang memiliki peluang di taz untuk menguji diri dan membuat nama.
taz, selain menjadi batu loncatan bagi mereka, berkembang menjadi “lembaga perekrutan” jurnalis bagi media-media Jerman lain.
Tapi itu hanya satu sisi. Jebolan taz berada di mana-mana. Mereka bekerja di media-media besar, menjadi politisi, konsultan, kritikus, guru, sutradara, manajer proyek, pemilik galeri, atau produsen roti. Ada yang menjadi tokoh kiri radikal, ada pula yang menjadi penerbit majalah kanan. Di mana pun, mereka membuat masyarakat lebih dinamis.
Tampaknya, kemampuan dan kealotan yang diperlukan untuk bisa bertahan di taz menjadikan mereka pekerja tangguh yang berkualifikasi tinggi, bajik, tahan banting, dan pantang mundur.
Dari 200 ke 130 Pekerja
Perombakan struktur, perampingan, dan pemecatan—konsep pembugaran kembali taz pada tahun 1991—tidak berbeda dengan perusahaan kapitalis. Meskipun, di perusahaan-perusahaan itu, para pekerja tidak perlu turut memutuskan pemecatan dirinya sendiri.
Kebutuhan untuk mengurangi pekerja dari 200 menjadi 130 orang tidak bisa disangkal oleh siapa pun. Sidang pleno pekerja harus dan memang mengambil keputusan ini.
Setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya, redaktur rubrik dalam negeri Vera Gaserow bertanya, “Siapa di antara kita yang secara prikologis masih punya tenaga untuk berkutat dalam proses penyehatan kembali taz? Siapa yang ingin terus bekerja bila sepertiga dari total pekerja diberhentikan? Hanya bila proses ini juga menjanjikan perspektif pertumbuhan, maka para pekerja taz akan bertahan.”
Dijual kepada Diri Sendiri
Kontradiksi di dalam taz harus diselesaikan dengan cara yang memuaskan semua pihak. Jalan keluarnya, taz dijual, lebih kurang kepada dirinya sendiri. Model usaha baru itu adalah kooperasi. Semua pekerja, pembaca, dan simpatisan diajak membeli saham taz. Bukan satu orang investor kaya, melainkan investor kecil dalam jumlah besar yang diharapkan bisa mengubah nasib taz.
Aneh, taz membutuhkan dua belas tahun untuk menemukan model kooperasi sebagai strukturnya. Padahal, kooperasi merupakan warisan penting dari gerakan buruh yang berprinsip ekonomi alternatif.
Ide kooperasi tidak lantas diterima dengan mudah. Tarik ulur terjadi antara berbagai fraksi yang mendukung atau menolaknya. Banyak anggota redaksi yang keluar dalam bulan-bulan penuh perkutatan yang menyusul. Namun, akhirnya dalam putaran kedua pengambilan suara, bentuk kooperasi diterima dengan 132 lawan 58 suara.
Kooperasi taz dibentuk pada 27 November 1991. Usaha baru ini mulai berjalan pada 1 Juni 1992. Di register kooperasi Berlin tercatat bahwa taz sebagai kooperasi konsumsi dengan nomer 94 GnR 480 Nz. Hingga akhir 1992 tercatat hampir 3.000 saham kooperasi senilai 5 juta mark. Akhir 2006, jumlahnya naik menjadi 7 juta mark yang dimiliki oleh 7.000 anggota kooperasi.
Nilai minimal setiap saham kooperasi 1.000 mark, kemudian menjadi 500 euro, yang pembayarannya dapat dicicil. Semua menyadari bahwa dana yang diinvestasikan tidak akan menghasilkan dividen besar. “Yang bergabung dalam kooperasi ini menganggap bahwa keyakinan politik lebih penting daripada keuntungan finansial, karena berinvestasi dalam taz merupakan dukungan terhadap kebebasan pers,” begitu kampanye taz.
Satu keuntungan lain dari pembentukan kooperasi ini adalah bahwa pekerja taz bisa turut membeli andil, dan harus. Dengan begitu, pekerja memiliki hak untuk berpartisipasi dalam majelis pekerja. Seperti Spiegel, para pekerja merupakan juga pemilik dan berhak untuk turut menentukan. Para pekerja memiliki hak veto dalam penjualan perusahaan dan hak untuk memilih tiga dari lima anggota direksi kooperasi. Dengan begitu, demokrasi basis dari tahun 1980-an ini memiliki bentuk hukum. Untuk pertama kalinya, taz memiliki dewan pengurus perusahaan dan statuta redaksi yang mengatur hak dan kewajiban redaksi dan menjamin independensinya.
Anggota kooperasi yang tidak bekerja pada taz—dan ini mayoritasnya—juga memiliki sejumlah kecil hak. Mereka berkumpul satu kali setahun dalam sidang paripurna, di mana mereka mendapatkan informasi mengenai kondisi perusahaan dan memilih dewan pengawas untuk urusan internal dan dewan untuk urusan eksternal taz.
Berbeda dengan pemilik saham biasa, setiap anggota kooperasi hanya memiliki satu suara, sebanyak apa pun saham kooperasi yang dimilikinya. Hal ini tidak memungkinkan penumpukan saham guna memperkuat pengaruh. Dengan begitu, taz tetap bertahan sebagai perusahaan yang menentukan dirinya sendiri, yang penjualannya tidak mungkin tanpa persetujuan pekerja.
Sejak 1996, taz setiap tahun mendapat antara 500 hingga 1.000 anggota kooperasi baru, dan dengan begitu lolos dari ancaman pailit. Dana yang terkumpul digunakan untuk berinvestasi dalam bentuk sistem komputer baru, layanan distribusi, pendirian kafe “Taz-presso”, ruang umum, dan segala hal yang bersama dianggap penting.
Jörg Magenau [Disadur oleh Edith Koesoemawiria dari buku Die taz]