Die taz: Sebuah Catatan Harian (6)
Situasinya serius, meski sentilan-sentilan yang berseliweran tetap terdengar segar. Salah satu sentilan paling populer berbunyi begini: “kontradiksi antara teori dan praktik dalam proyek ini berhasil diselesaikan, yaitu dengan kemenangan kontradiksi”.
“Pornotaz”
“Kami mogok,” begitu jelas kaum perempuan taz pada 7 November 1980. Dua hari sebelumnya, dalam koran taz, pada halaman diskusi terpampang karikatur kasar tentang dunia sado masokis: beberapa Domina garang tampak menguasai beberapa lelaki yang menyeringai tersiksa.
Seorang pekerja yang bertugas mengumpulkan abonemen sengaja memasukkannya untuk memprovokasi para perempuan taz. Ternyata, tindakannya membakar kehebohan yang bermula dari sebuah artikel pornografi berjudul “Seorang Perempuan Impian Buka Baju”. Artikel yang membuat marah kelompok perempuan itu terbit pada 12 September, ditulis oleh Gernot Gailer, seseorang dengan nama samaran.
Kasus itu menjadi skandal besar pertama bagi taz. Dan, tanpa disangka terkait masalah moral dan seksualitas. Persisnya: hubungan antara kaum kiri, antiotoriter, imaji diri yang individualistis, dan nilai-nilai normatif yang berlaku. Emansipasi bukan sekadar masalah pembebasan kaum perempuan, melainkan terkait dengan pendidikan dan disiplin kaum lelaki.
Karikatur itu menjadi sengketa internal di taz, jauh sebelum karikatur Muhammad di sebuah koran Denmark memicu amarah kaum fundamentalis Islam dan kaum Kristen yang terjangkit xenofobia atau takut pada hal-hal asing. Kericuhan di taz juga merupakan masalah moralisme fundamentalis.
Aksi mogok kaum perempuan, yang mengejutkan itu, menjadi berita utama. Tercantum besar sebagai judul: “Kami mogok bukan karena menentang jajaran pemimpin perusahaan atau para bos. Bukan juga karena menentang kaum lelaki.” Diterangkan, “Kami mogok agar chaos dalam taz, yang telah membuat kami semua dan para pembaca menderita, ditangani dalam kelompok kecil di luar kegaduhan proses produksi. Karenanya, penjelasan kami tidak lengkap dan belum mengandung tuntutan tegas.”
Aksi mogok yang menentang keserabutan dan rasa kesal. Ini memang bermasalah. Terhadap siapa aksi mogok itu dilancarkan apabila majikan dan pekerja adalah sosok yang sama? Tuntutannya bukan untuk menegosiasi standar 38,5 jam kerja dalam sepekan atau kenaikan upah. Yang ingin dibongkar adalah atmosfer buruk di tempat kerja, sikap rekan-rekan yang besar kepala dan egoistis, tidak adanya rasa tanggung jawab dan aturan, serta menipisnya solidaritas.
Kecurigaan tidak kecil. Ejekan pun melayang: kaum perempuan mogok agar bisa menjadi bos dan mengatur segalanya.
Sementara itu, kaum perempuan taz merasa satu suara dengan banyak pekerja lelaki. Di pihak lain, mereka juga mengaku kesal atas lelucon-lelucon usang dan bebal yang dilontarkan para lelaki di antara suitan iseng yang kerap terdengar setiap kali memasuki lorong kantor. Penuh emosi, kaum perempuan menuding pihak lelaki kerap memprovokasi, menyensor artikel, membatalkan penerbitan artikel mereka, atau menggantinya dengan tulisan yang belum dibicarakan.
Keluhan para perempuan taz mendapat sokongan dari aktivis dan jurnalis perempuan lain. Turun tangan, mereka menyemproti tembok taz dengan tulisan “Pornotaz”, hal yang sebaliknya, membuat kaum perempuan taz uring-uringan membela surat kabarnya.
Rasa Tertekan
Situasinya memang paradoks. Kenyataannya hanya ada enam redaktur perempuan di taz, sementara ada 26 redaktur lelaki. Rubrik dalam dan luar negeri dikelola secara eksklusif oleh lelaki. Sementara itu, rubrik sosial dikelola tiga orang perempuan dan “seorang lelaki lembut”, begitu deskripsi mereka. Kondisi di taz merefleksikan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Sama sekali tak berbeda dan tak sedikit pun menunjukkan alternatif.
Padahal, di masa awal pembentukan taz, jauh lebih banyak perempuan yang aktif. Kebanyakan di antara mereka mengundurkan diri karena tidak mau pindah bersama taz dan meninggalkan ikatan sosial yang sudah mereka miliki.
Sejak awal kaum perempuan di taz sudah membentuk kelompok yang bertemu seminggu sekali. Dari kelima perempuan yang bekerja di taz, hanya satu orang yang menerima upah 800 mark. Yang lainnya, terpaksa mencari nafkah dengan pekerjaan sambilan dan karenanya bekerja paruh waktu di taz. Ini pun salah satu alasan kesulitannya mengajukan tema dan mendorong agar artikel usulannya diterima. Saat perlu berargumentasi, mereka tidak ada.
Tapi, masalah para perempuan ini sebenarnya tidak berbeda dengan tantangan yang dialami kelompok-kelompok lain. Bayangan bahwa sebagai perempuan “bisa belajar kenal suatu tema dan redaktur pengelola rubrik itu dalam seminggu”, lalu menuntut ikut menentukan isi rubrik, sama sekali tidak realistis dan tidak memenuhi kebutuhan kerja jurnalistik yang aktual. Apalagi setiap tema bisa diulas dari sudut pandang perempuan.
Selain kericuhan soal struktur internal taz, para perempuan ini merasa dituntut untuk meningkatkan keahliannya dalam semua tema. Tak mengherankan bahwa muncul rasa tertekan akibat tuntutan yang kelewat besar.
Perubahan
Aksi mogok kaum perempuan itu berlangsung satu minggu. Dengan rasa percaya diri yang kian menguat, kedelapan belas perempuan anggota redaksi dan tim teknis menyisihkan waktu setengah jam untuk membahas masalah kerja yang mereka hadapi.
Hasil pertama dari aksi mogok itu tidak bisa dianggap enteng. Dampak aksi mogok itu pada taz adalah sejumlah perubahan internal seperti pemberlakuan sistem kuota perempuan dan keputusan untuk menerbitkan rubrik khusus perempuan. Halaman rubrik ini pertama kali terbit pada 3 Februari 1981.
Jörg Magenau [Disadur oleh Edith Koesoemawiria dari buku Die taz]