Perjuangan pekerja PT Jogja Tugu Trans (JTT) kembali berlanjut. Kamis (5/9) siang, para sopir dan pramugara perusahaan operator Bus Trans Jogja tersebut menggelar aksi demonstrasi. Bersama aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan beberapa elemen mahasiswa, mereka mendatangi kantor PT JTT, Jl. Raya Yogya-Wonosari Km 4,5, Banguntapan, Bantul. Para pekerja tersebut mempersoalkan penyunatan gaji karyawan dan PHK sepihak yang telah dilakukan PT JTT. Selain itu, mereka juga mempersoalkan status sebagai pekerja kontrak.
Selama ini, gaji yang dibayarkan kepada karyawan tidak sesuai dengan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang tercantum dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda DIY dengan PT JTT. Berdasarkan BOK, gaji pengemudi bus sebesar Rp2.339.247, namun selama ini mereka hanya menerima gaji sebesar Rp1.554.000. Sementara gaji pokok pramugara yang seharusnya sebesar Rp1.939.247 selama ini hanya dibayarkan Rp1.154.000,-.
Kasus ini telah menyeret mantan Direktur PT JTT, Purwanto Johan Riyadi, dan mantan Kepala Dinas Perhubungan dan Kominfo, Mulyadi Hadikusumo, ke meja hijau. Namun, tak ada upaya pembayaran gaji karyawan sesuai dengan BOK. Menurut Adhitya Johan R., S. H. selaku Kepala Divisi Perburuhan LBH Yogyakarta, seharusnya Pemda DIY yang proaktif menyelesaikan hal ini. “Kan Pemda DIY yang punya MoU dengan PT JTT, namun MoU itu tidak dijalankan. Seharusnya Pemda dong yang menegur PT JTT,” ujarnya. Ia menambahkan, pembayaran gaji sesuai MoU juga harus dikawal oleh pihak kejaksaan. Pasalnya, kasus ini sudah menyeret pihak manajemen PT JTT dan Dinas Perhubungan ke meja hijau. Vonis dari kejaksaan pun sudah dijatuhkan. “Kalau pembayaran gaji yang tak sesuai MoU ini berlanjut, berarti korupsinya dilanjutkan pihak direksi yang baru dong,” cetusnya.
Selain soal penggelapan gaji karyawan, demonstran juga mempersoalkan pengelolaan tanaga kerja oleh PT JTT. Sebab pekerja inti dalam kegiatan operasional Trans Jogja seperti Pramudi dan Pramugara/i masih berstatus pekerja kontrak. “Saya dan teman-teman sudah kerja di sini sejak awal Trans Jogja beroperasi, sebagian besar sudah tiga tahun lebih. Tapi status kami masih pekerja kontrak,” ujar salah seorang pramudi Trans Jogja.
Tindakan ini melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, perjanjian kerja dalam kontrak hanya bisa dikenakan kepada pekerja di luar kegiatan produksi inti. Status pekerja kontrak pun tak boleh lebih dari tiga tahun,”ujar Johan.
Para demonstran juga mempersoalkan PHK sepihak yang kerap dilakukan oleh manajemen PT. JTT. Tindakan PHK sepihak yang terakhir dialami dua orang pekerja pada Juli lalu. Rima, salah seorang Pramugara, mendapat surat pemberhentian sepihak pada 1 Juli lalu. Lalu pada 15 juli, pihak PT JTT memberhentikan secara sepihak Arsiko, Pramudi Trans Jogja. “Waktu itu saya mau naik Bus, tapi sama sekuriti di suruh turun. Saya disuruh menghadap manajemen, lalu diberitahu kalau saya dipecat,” kenang Arsiko. “Enggak ada pemberitahuan apa-apa sebelumnya, langsung dipecat,” tambah Rima.
Pemecatan secara sepihak ini, menurut Johan, jelas melanggar UU Ketenagakerjaan. “Seharusnya tindakan PHK baru bisa dilakukan setelah perusahaan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) sebanyak dua kali,” ujar anggota LBH Yogyakarta itu. Para demonstran pun menuntut perusahaan untuk mempekerjakan kembali karyawan yang telah di PHK secara sepihak tersebut.
Setelah lebih dari tiga jam berdemonstrasi, pihak manajemen bersikeras tak mau bertemu dengan para demonstran maupun wartawan. Para demonstran akhirnya mendirikan tenda dan berkumpul di depan kantor PT JTT. “Kita enggak akan mundur kalau tuntutan belum terpenuhi,” ujar Arsiko. [Ibnu Hajjar]