Merebahkan badan di Masjid Kampus (maskam) UGM seusai melakukan berbagai aktivitas adalah suatu hal yang memberikan kesan tersendiri bagi saya, komunitas kecil yang cukup sibuk di UGM. Maskam yang megah dengan desain yang sungguh luar biasa juga menjadi daya tarik bagi civitas academica UGM dan masyarakat umum untuk beribadah maupun sekedar bersantai.
Sayangnya, hal itu bukan karena pelayanan yang diberikan oleh pengelola Maskam. Kenyamanan berada di Maskam semata-mata karena bangunannya yang megah. Berbeda jika disandingkan dengan masjid-masjid yang relative makmur dari sudut pandang mahasiswa, sebut saja Jogokariyan dan Nurul Ashri .Di masjid tersebut, jama’ah merasa nyaman karena pelayanan yang diberikan.
Komersialisasi
Pada Sabtu siang, saya biasanya sholat di maskam. Namun ada sesuatu yang seringkali membuat saya enggan mampir: resepsi pernikahan. Rasa resah, risih dan sedih sudah sejak lama menganggu pikiran saya. Rasa itu meluap karena saya sangat peduli dengan Maskam UGM, asset berharga milik umat, khususnya civitas academica UGM.
Penyelenggaraan resepsi pernikahan di Maskam sungguh meresahkan. Hal ini menghalangi jama’ah untuk beribadah secara khusyu’ dan menghambat mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatannya. Terlebih, nampaknya terdapat disorientasi pada pengelolaan. Maskam dijadikan sebagai gedung pernikahan dengan tarif bersaing.
Beberapakali saya menyaksikan pihak takmir (pengelola) menegur (dengan nada mengusir) kepada orang-orang yang masih berkumpul-kumpul di sekitar maskam saat adzan berkumandang, padahal iqomat pun belum. Perlakuan ini sangat diskriminatif. Sebab, penulis berkali-kali mendapati pesta pernikahan yang tetap berlangsung saat sholat berjama’ah dilangsungkan. Tentu saja ini sangat mengganggu jama’ah yang sedang melakukan sholat karena tempatnya yang tepat sejajar dengan shoff utama dan tanpa sekat itu. Benarkah ini karena mereka membayar dengan tarif yang ditentukan?? Saya kira jawabannya sudah jelas.
Sabtu-minggu pecan ini saya mengamati maskam tidak lagi layak disebut masjid. Sebab, tak ada kenyamanan bagi mahasiswa untuk beribadah dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti rapat/syuro, diskusi maupun hanya sekedar forum kekeluargaan. Sebaliknya, pengelola Maskam justru mengutamakan fasilitas gedung pernikahan. Alhasil, Maskam tak lagi berbeda dengan mall atau pasar dimana orang tidak lagi berpakaian sopan (banyak yang hanya bermodalkan rok mini dan baju you can see).
Transparansi
Selama ini sudah menjadi rahasia umum setiap masjid wajib memberikan transparansi dana. Uniknya, pihak pengelola Maskam tidak memberikan informasi itu kepada jama’ah sedikit pun. Saya sebagai jama’ah tentu ingin tahu kemana saja infaq yang masuk ke Maskam. Hak jama’ah ini sejak dulu tak dihiraukan takmir.
Prilaku mencari uang juga tampak sekali tanpa diklarifikasi sekalipun. Coba saja amati mulai dari hal yang kecil, seperti parkir. Meski tidak ada tariff khusus, namun keadaannya disetting sedemikian rupa agar jama’ah membayar parkir. Bahkan lebih kejam dari tukang parkir, sebab pecahan 5 ribu, 10 ribu atau bahkan 20 ribu tidak diberikan kembalian. Petugas langsung memasukkan uang yang diberikan jama’ah ke dalam kotak infaq tanpa berucap apapun atau basa-basi menawarkan kembalian. Silahkan buktikan!
Kondisi ini juga dikarenakan adanya kartu parker dengan kotak infaq tepat berada di samping petugas penjaga pintu keluar-masuk. Hal tersebut membuat pengunjung merasa tak enak hati bila tidak membayar. Celakanya lagi bila tidak ada uang kecil, perasaan malu menjadikan mulut kaku untuk meminta kembalian. Sebenarnya kesan ini dapat dihilangkan bila penghelolaan Maskam memang tidak money oriented.
Belum lagi jika kita menguak soal menara yang sempat di wacanakan namun lenyap tanpa kabar. Dana yang terkumpul nampaknya sudah banyak, namun lagi-lagi tak ada transparansi soal itu.
Sebagai mahasiswa dan seorang muslim yang peduli, dan saya yakin ini mewakili suara jama’ah lain, saya hanya berharap semoga masjid kita ini menjadi masjid kembali. Singkirkan tangan-tangan kotor yang mengelola masjid. Ini jeritan saya sebagai jama’ah!
Oleh: M.A, Mahasiswa Teknik UGM 2010