Pendidikan mulai diperdagangkan. Pers mahasiswa berteriak lantang: Lawan!
Judul : Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan
Penulis : Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun Terbit : 2013
Tebal : vii+161 halaman
Lembaga pendidikan semestinya memberikan pengetahuan untuk anak didiknya, bukan mengapitaliskan pendidikan. Hal ini terjadi di lembaga pendidikan perguruan tinggi. Berangkat dari keresahan itulah lahir perlawanan dari pers mahasiwa.
Mahasiswa tampil sebagai salah satu hasil dari proses pendidikan yang sedang berlangsung di dalam universitas. Mereka merasakan secara langsung segala peristiwa yang terjadi di kampus. Selain itu, mereka menyoroti tiap jalannya kebijakan kampus agar selaras dengan pendidikan yang memanusiakan anak didik. Maksudnya, pendidikan tidak sekadar melahirkan anak didik yang siap kerja, apalagi hingga menggerus nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dalam buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan ini, Wisnu menceritakan gerakan pers mahasiswa secara historis. Sejarah tersebut diawali dengan pertemuan antarpers mahasiswa tingkat nasional. Mereka membentuk organisasi Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI), Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI), dan menetapkan pula Kode Jurnalisme Mahasiswa. Pers mahasiswa saat itu diarahkan untuk menjadi agen penggerak revolusi bangsa. Presiden Soekarno sebagai pemimpin kekuasaan saat itu memberi kebebasan penuh kepada mereka untuk menyuarakan segala pemberitaan. Namun, kebebasan yang tak dibatasi tersebut menjadi bumerang bagi rezim yang sedang ia pimpin.
Pada masa peralihan kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, pers mahasiswa mengalami satu gejolak yang besar. Mereka dibenturkan pada kondisi sosial-politik yang kritis. Di satu sisi mereka dikejutkan oleh pecahnya aksi 30 September, yang artinya sisi kemanusiaan mereka turut dipermainkan. Di sisi lain, mereka sebagai mahasiswa wajib membangun kembali stabilitas politik regional.
Era kepemimpinan Soeharto yang dianggap akan membawa pembaruan bagi pers mahasiswa, kenyataannya malah semakin memperketat pemberitaan. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No.146/KEP/MENPEN/1975 tentang pelarangan pers mahasiswa melakukan kegiatan politik praktis. Aturan tersebut memaksa mereka kembali berkutat dengan pemberitaan seputar kampus dan tunduk pada birokrasi universitas. Mereka tunduk karena setiap pers mahasiswa tidak akan diberi surat izin terbit jika menyimpang.
Pada saat yang sama, pers dijadikan alat bagi penguasa negara untuk menanamkan kekuasaannya. Kata-kata yang ingin disuarakan harus tunduk pada rezim yang sedang berkuasa. Pemberitaan diatur sedemikian rupa, wacana yang dilempar sekadar basa-basi. Hal yang dianggap berbahaya bagi penguasa dipinggirkan dan dibungkam.
Apa yang dibungkam merupakan hal yang selalu bersifat antiotoritarian (paham yang menolak segala bentuk keteraturan). Pemegang kuasa menganggapnya sebagai penghalang yang harus dibuang, dibredel, bahkan dibakar secara massal. Hal tersebut sering diistilahkan oleh Pak Harto sebagai ‘pengganggu stabilitas nasional’.
Dalam buku ini dijelaskan pula bagaimana kondisi pers mahasiswa pasca-1998. Pada saat itu, pers mahasiswa di Indonesia mengalami fragentasi orientasi secara besar-besaran. Tiap pers mahasiswa memiliki ideologi yang berbeda dan hal tersebut semakin diperparah dengan pecahnya PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Artinya, tidak ada pemersatu orientasi tiap pers mahasiswa.
Sebagai sampel, Wisnu menggunakan Balairung, Suara USU, dan Catatan Kaki. Ketiga badan pers tersebut berani tampil dengan pewacanaannya sendiri dan membongkar tatanan yang telah mapan. Mereka mengkritisi kebijakan yang diberlakukan oleh universitas. Setiap kebijakan yang dirasa merugikan akan diangkat ke dalam pemberitaan. Selain itu, mereka juga mempertanyakan kebijakan kampus yang belum direalisasikan.
Kebijakan kampus yang mereka kritisi salah satunya ialah komersialisasi pendidikan. Ketiga pers mahasiswa itu sadar akan pendidikan yang semakin diperjualbelikan. Hal ini dapat dilihat dari stratifikasi tarif sebagai syarat masuk universitas. Selain itu, kebijakan privatisasi pendidikan juga menunjukkan adanya komersialisasi pendidikan. Privatisasi pendidikan muncul akibat dimasukkannya universitas tersebut dalam BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Wacana yang sedang berkembang semacam ini, lantas mempengaruhi struktur kesadaran untuk memberitakannya. Apa yang ditulis dikembalikan lagi kepada publik dalam bentuk wacana yang baru (press of discourse).
Perlawanan terhadap jual-beli pendidikan merupakan tema yang sangat penting. Ini dikarenakan komersialisasi pendidikan merupakan bagian dari agenda neoliberalisme. Dalam hal ini, pendidikan dipandang sebagai satu bentuk komoditas yang diperjual-belikan. Padahal, agenda neoliberalisme bertujuan mencetak agen-agen baru untuk melanggengkan tatanan neoliberalisme yang bersifat feodalistik. Artinya, kekuasaan dunia dipegang oleh satu negara adikuasa.
Ki Hajar Dewantara mempunyai cita-cita bahwa pendidikan harus mampu menjaga nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dengan begitu, negara ini dapat berkembang tanpa meninggalkan nilai-nilai yang adiluhung tersebut. Pendidikan yang diperjual-belikan sangat bertentangan dengan tujuan beliau tersebut. Ketika pendidikan yang diselenggarakan telah berorientasi pada komersialisasi, maka mahasiswa tidak akan mau memikirkan kearifan lokal bangsanya.
Menyoroti penulisan buku tersebut, ada tiga komposisi dasar yang ingin penulis sampaikan. Pertama, Wisnu menceritakan gerakan pers mahasiswa secara historis, khususnya peran pers mahasiswa dalam ruang politik. Kedua, memberikan penghubung dari cerita yang bersifat historis ke dalam persoalan yang ingin diteliti olehnya. Penghubung tersebut berupa Balairung, Suara USU dan Catatan Kaki. Ketiga, analisis terhadap hubungan antara komposisi pertama dan kedua yang dibalut dengan tematik komersialisasi pendidikan.
Sayangnya, buku ini lebih menitikberatkan pada sejarah pers mahasiswa. Hal tersebut menyimpang dari tujuan, yaitu melihat relasi pers mahasiswa dalam melawan jual-beli pendidikan. Artinya, komposisi ketiga dari buku tersebut menduduki persentase yang paling kecil.
Selain itu, hampir di setiap halaman ditemukan pernyataan dari tokoh-tokoh tertentu. Namun, penyampaiannya setengah-setengah dan kemudian diputus dengan perkataan tokoh lain. Terdapat pula satu paragraf yang memuat pernyataan dari dua tokoh (halaman 25). Ketika pembaca sedang memahami pernyataan A, tiba-tiba pembaca disodorkan pernyataan tokoh B. Hal tersebut kurang baik dalam upaya membangun struktur wacana. Terlepas dari beberapa kekurangan, buku tersebut cukup baik dalam memaparkan sejarah pergerakan pers mahasiswa dalam politik Indonesia. [Ghembrang]