Tersebutlah seorang pertapa sakti mandraguna yang berkeinginan mengetahui makna cinta sejati. Ia bertanya pada segenap penjuru dunia cara agar ia dapat memahami apa itu cinta. Hingga pada suatu hari ia memutuskan untuk bertapa. Dalam pertapaannya, ia melakukan lompatan-lompatan waktu ke banyak kisah cinta. Kisah perjalanan itu ditampilkan dalam teatrikal puisi Sanggar Lincak Fakultas Ilmu Budaya UGM, Sabtu (25/7) malam di Purna Budaya UGM. Sanggar Lincak memadukan seni teater, puisi, dan tarian dalam penyajian cerita selama dua jam. Mereka mengangkat cerita pencarian cinta sang pertapa dipadu dengan empat kisah dongeng yang telah populer, Putri Salju, Juliet & Romeo, Cinderella, dan Roro Jonggrang. Paduan tata cahaya lampu menghasilkan lantai dan sepenjuru panggung bergantian memendarkan warna merah jambu, biru pastel, dan kuning karamel. Pendaran itu membantu menampilkan kesan magis atas beragam lakon kisah dongeng yang mulai bermunculan di atas panggung. Diceritakan sang pertapa bertualang menelusuri zaman, hingga ia tiba di sebuah ruangan. Di mana seorang wanitaādengan gaun merah marunnya yang agungāberdiri mantap membusungkan dada, bertanya pada cermin di hadapannya, āSiapakah perempuan yang paling cantik di dunia?ā Jawaban cermin membuat sang ratu murka, āAda yang jauh lebih cantik darimu, Yang Mulia Ratuā. Ketika sang ratu murka, setan-setan penghuni kegelapan berusaha membelenggunya. Belenggu gelap tersebut disimbolkan dengan belasan penari yang meliuk-liukkan tubuh di hadapan sang ratu, mereka melompat-lompat, merangkak, dan bersalto. Terus demikian hingga sang ratu berlari-lari kesetanan. Tepat ketika itu, sang pertapa melompati waktu. Ia kemudian melihat seorang pria yang memanggil-manggil nama kekasihnya ke arah loteng, āJuliet, Juliet, Juliet,ā demikian nama itu berulang kali diteriakkan. Hingga saat sang pemuda menyenandungkan lagu cinta untuk kekasihnya, sang kekasih tak muncul jua. Ketika itu, sang pertapa kembali berubah wujud. Tiba giliran seorang pangeran mengeluh-kesahkan kisah cinta yang tak pernah dijalinnya, āMengapa aku belum juga dapat menemukan kekasihku, padahal aku seorang pangeran,ā keluh sang pangeran. Dua penasihat sang pangeran kemudian menghadirkan gadis-gadis dari India dan Jawa untuk menghiburnya. Lalu seorang putri dengan gaun biru muncul di pintu kerajaan pada tengah malam. Pangeran menatap sang putri dari kejauhan. Perlahan mereka berjalan mendekat kepada satu sama lain. Mereka lantas berdansa dan saling membagi cerita melalui pancaran mata. Ketika jam berdentang dua belas kali, sang putri berlari dengan meninggalkan sebelah sepatunya. Sang pertapa kembali berpindah dimensi. Hingga tibalah ia pada kisah cinta seorang pria yang meminang gadis pujaannya dengan menyanggupi syarat, membangun seribu candi dalam semalam. Sang pemuda lantas memanggil ratusan jin untuk membantunya membangun candi. Di sana, ia menyaksikan bagaimana sang wanita melakukan hal licik untuk menolak lamaran pemuda tersebut. Pembabakan pada tiap cerita cukup rapi dan terstruktur. Jelas terlihat sekuen-sekuen ketika sang pertapa terus melompatiĀ masa; menyamar menjadi burung di kisah Putri Salju, ikut di dalam tarian cermin dalam kisah Cinderella, dan berganti bentuk menjadi sosok berbeda pada kisah lainnya. Paduan puisi karya anggota sanggar dengan dua puisi dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul āAku Inginā dan āMetamorfosisā menjadi dialog kedua puluh tujuh pelakon. Sayang, suara mereka kurang terdengar jelas. Pementasan tersebut telah dipersiapkan lebih dari empat bulan. Karenanya, penampilan malam itu dirasa istimewa oleh Maya Mustika K., selaku sutradara pementasan. āPementasan ini sebenarnya sekalian untuk merayakan hari jadi Lincak yang kelima,ā ujarnya. Sebagai sutradara, ia tak sekadar mengangkat kebaruan dalam naskah cerita sang pertapa. Bukan pula sebatas perpaduan seni teater, puisi, dan tari. Suasana magis, romantis, bahkan kocak juga ditampilkan secara maksimal pada pementasan malam itu. Kesan surealis juga terlihat pada gerakan-gerakan yang berani dari segala lekuk tubuh para penari. Permainan bayangan yang terbentuk di balik layar menampilkan kesan filosofis pergolakan batin para tokoh. Kepaduan dansa Waltz dan tarian India dan Jawa, dengan diiringi musik dari gitar, biola, dan alat musik tradisional memunculkan kesan kontemporer yang tradisional. Tabuhan gendang dan pertarungan pedang turut memberi kesan dramatis. Dilatasi waktu pun ditampilkan pada sekuen ketika Juliet meminum racun, bersamaan dengan itu Putri Salju memakan apel beracun. Setelahnya, dua tokoh utama tersebut rebah di lantai. āHidup seumpama ironi yang menjadi parodi, ironi yang menjadi misteri, ironi yang bertaburkan mimpi.ā Itulah kalimat terakhir yang diucapkan sang pertapa setelah melihat beragam kisah cinta yang ditemuinya.Ā [Dewi Kharisma Michellia]