Oleh: Ahmad Syarifudin
SEMBURAT kemerahan mewarnai ufuk barat. Hampir sama seperti senja sebelumnya, dan sebelumnya lagi. Hampir sama, tapi tak pernah benar-benar sama. Semburat kemerahan tersebut, jika diamati, semakin lama semakin redup, dan akhirnya digantikan kegelapan malam. Sayangnya jarang manusia yang mau memperhatikannya. Jika saja mereka mempunyai kesadaran lebih sedikit saja…
Mereka lebih suka memacu kendaraan mereka dengan cepat, agar segera sampai di tempat persinggahan mereka. Beberapa yang lain menyumpali kuping mereka dengan suatu benda kecil yang terhubung ke saku mereka untuk mengusir kesepian.
Namun, tidak semua manusia seperti itu. Aku mengenal seseorang. Ia mampu menerima sebuah kesepian, sehingga ia kini mampu memahami banyak hal.
“HAI, siapa namamu?” tanya seorang bocah kecil. Ia memiliki mata yang indah. Mata yang mampu melihat banyak hal, bahkan sesuatu yang tidak bisa dilihat banyak orang. Ia juga mempunyai telinga yang indah. Telinga yang mampu mendengar banyak hal, bahkan sesuatu yang tidak bisa didengar banyak orang.
“Namaku Kersen, Nak. Bolehkah aku tahu siapa anak kecil berparas cantik ini?” kataku sambil tersenyum.
“Tentu saja. Namaku Jelita,” katanya bersemangat. “Apa kau orang asing?” tanyanya cemas.
“Memangnya kenapa, Jelita?”
“Kata Mama, aku tidak boleh berbicara dengan orang asing.”
“Aku bukan orang asing, Jelita. Aku sangat mengenali kalian, dan kalian sesungguhnya sangat mengenalku.”
“Tapi kenapa Mama tidak pernah berbicara denganmu?”
“Mamamu sibuk, bukan?” jawabku sambil tersenyum.
“Iya, sih. Apa kau mau berteman denganku?”
“Mau. Sangat mau.”
Seseorang menghampiri Jelita. Sepertinya wanita itu yang ia sebut ‘Mama’.
Wanita itu menggendong Jelita. Ia membawa Jelita menjauh. Jelita yang menghadap ke belakang melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun tersenyum dan melambaikan tangan dengan caraku sendiri. Dan Jelita mengerti.
ESOKNYA, Jelita kembali menemuiku. Ia membelai bagian tubuhku yang sering disebut ‘batang’ oleh manusia’. Setelah itu, ia duduk di atas bagian tubuhku yang lain, yang sering disebut ‘akar’ oleh manusia.
“Kersen, hari ini aku belajar berbicara dengan Ibu Tatik. Aku disuruh menempelkan tanganku, seperti ini,” katanya sambil memperagakannya di ‘batang’-ku.
“Benarkah? Menempelkan ke mana?” tanyaku bersemangat.
“Menempelkan ke sesuatu yang bergetar. Lucu. Menyenangkan. Jelita suka,” jawabnya riang.
“Itu namanya leher, Jelita. Nanti Jelita bisa tahu apa yang Ibu Tatik katakan dengan tangan Jelita.”
“Benarkah?” tanyanya dengan mata berbinar-binar. Matanya terlihat makin indah. “Apa aku bisa mendengar seperti anak lain?”
“Bisa. Bahkan hanya dengan tangan saja. Anak lain memerlukan telinga. Tapi Jelita tidak. Jelita memiliki tangan yang indah. Itulah mukjizat, Jelita.”
“Wah…” Matanya makin berbinar-binar sambil menatap telapak tangannya.
“Tapi, aku juga punya telinga. Apa telingaku tidak berguna?” tanyanya penasaran.
“Tidak… Tidak… Justru telinga Jelita memiliki kegunaan lain. Jelita mampu mendengar bahasa kami.”
Jelita tampak cemberut.
“Jelita kenapa?” tanyaku.
“Jelita ingin mengenalkan teman-teman pada Kersen,” katanya setengah tersedu-sedu.
“Jangan khawatir, Jelita. Mereka bisa mengenaliku. Hanya saja tidak seperti Jelita. Mereka mempunyai cara tersendiri.”
Jelita kembali tersenyum. “Baiklah. Kersen pasti suka sama teman-teman. Mereka semua baik-baik.”
“Aku jadi tidak sabar,” kataku sambil tersenyum.
Jelita dijemput wanita itu seperti biasa. Kami berpamitan dengan melambaikan tangan dan melemparkan senyum, seperti biasa pula. Biasa, tapi tak pernah benar-benar sama.
“KERSEN,” panggil Jelita.
“Ya, Jelita?”
“Apa teman-teman sudah menemuimu?”
Aku menggeleng sambil tersenyum.
“Kini Jelita sudah mampu membedakan getaran-getaran pada leher Bu Tatik. Teman-teman juga. Aku khawatir.”
“Khawatir kenapa, Jelita?”
“Jika nanti Jelita sudah mengerti apa yang dikatakan teman-teman dan mereka bertanya tentang Kersen, bagaimana Jelita akan menjawabnya?”
“Kami berbahasa dengan kicauan-kicauan burung. Membelai dengan daun-daun yang berguguran ditiup angin. Memberikan kesegaran dengan buah-buah kami yang ranum.”
Jelita mengangguk-angguk. “Baiklah. Jelita janji akan menyampaikannya,” katanya bersemangat.
“Tengadahkan tanganmu, Jelita.”
Ia menengadahkan tangannya. “Untuk apa?”
Angin berhembus menjatuhkan sesuatu yang kecil berwarna merah dari bagian tubuhku yang sering disebut oleh manusia ‘ranting’. Sesuatu yang sering disebut oleh manusia ‘buah’ itu jatuh ke tangan Jelita.
“Apa ini?”
“Makanlah,” kataku sambil tersenyum.
“Ehmmm… Manis. Jelita suka.”
Wanita itu datang. Saatnya pulang. Kini Jelita tak lagi digendong. Ia dituntun oleh wanita yang dipanggilnya ‘Mama’ itu.
“Jelita,” panggilku.
Ia menoleh ke belakang. “Ya?”
“Jelita sudah besar sekarang.”
Ia pun tersenyum.
“AKU merasakan sesuatu yang aneh, Kersen.”
“Aneh, atau hanya tidak biasa?”
“Entahlah. Aku sudah mengenali semua jenis getaran. Tapi yang ini beda. Getarannya dari dalam sini,” ia menunjuk bagian dadanya. “Dan rasanya juga berbeda. Apalagi saat bertemu dengan lelaki itu,” tambahnya.
“Itu namanya cinta, Jelita.”
“Apa aku layak jatuh cinta padanya? Ia berbeda denganku. Aku ragu ia mampu menerima perbedaan antara aku dengannya. Aku tak mau banyak berharap.”
“Jelita, jangan pernah takut berharap. Kau sudah mengerti akan banyak hal sekarang. Dengan berharap, kau akan mengerti lebih banyak lagi. Rasa sakit dan kecewa akan membantumu.”
“Apa aku tak boleh menghindari rasa sakit dan kecewa?”
“Tak ada yang mau merasakan kedua rasa itu, Jelita. Tapi terkadang banyak hal yang tak kamu sukai, padahal itu baik bagimu.”
Ia terdiam. Ia termenung menatap semburat kemerahan senja itu beberapa lama.
“Aku pamit dulu, Kersen. TerimaTerima kasihkasih sudah menemaniku,” katanya sambil meraih tongkat kayunya. Ia beranjak pergi. Aku menatapnya. Ia benar-benar telah tumbuh dewasa.
TAK kusangka itu pertemuan terakhirku dengannya. Aku mengerti apa yang manusia ucapkan. Aku mengerti bagaimana manusia seharusnya menjalani takdirnya. Namun, aku tak mampu mengerti bagaimana manusia menanggapi petunjuk yang mengarahkannya memenuhi takdirnya.
Layaknya aku tahu kapan angin akan menggugurkan daun-daunku. Akan tetapi, aku tak tahu daun-daun itu akan terbang ke mana.
Bedanya, daun-daun itu pasrah ke mana pun angin membawanya. Sedangkan manusia tak selalu mengerti lambaian daun-daun itu. Atau, yang lebih tepatnya, sesuatu yang dulunya menjadi bagian dari tubuhku, yang sering disebut manusia sebagai‘daun’.
Ahmad Syarifudin, mahasiswa Sastra Indonesia 2011, seseorang yang masih terseok-seok mengeja hujan.