Judul Film : Kelas Lima Ribuan
Negara : Indonesia
Durasi : 29 menit 56 detik
Sutradara : Jihad Adjie
Produser : Arifatul Choiri Fauzi
Pemain : Ratih Dewayani dan Kukuh Riyadi
Tahun : 2010
Terkadang harga diri tak lebih berharga dari uang, bahkan sebagian orang menghalalkan segala cara demi meraihnya.
Uang tak ubahnya tali “penjerat leher” yang sewaktu-waktu dapat menjadi masalah setiap orang. Di sisi lain, uang bagai nafas bagi kehidupan. Tidak ada orang yang bisa bertahan hidup tanpa uang. Pemenuhan kebutuhan hidup bagaimanapun akan selalu membutuhkan uang. Bagai kompetisi yang tak kunjung usai, setiap hari semua orang berjuang mencarinya demi bertahan hidup. Himpitan karena tuntutan kehidupan inilah yang seringkali membuat seseorang bersedia melakukan segala hal.
Film yang disutradarai oleh Jihad Adjie ini menceritakan perjuangan seorang wanita muda dalam usahanya mempertahankan hidup. Tantri, sang tokoh utama, adalah seorang penari Tayub, idola di kampungnya. Setiap malam ia menari di antara lelaki demi mendapatkansaweran (uang yang diberikan kepada penari Tayub ketika menari bersama). Setelah sang suami menceraikannya, Tantri yang hidup bersama seorang anaknya, harus membiayai hidup seorang diri. Desakan itulah yang memaksanya menjadi seorang penari terpaksa dekat dengan kehidupan malam.
Film beralur maju ini disajikan dengan latar belakang apik dalam nuansa Jawa dan kehidupan malam di Desa Ngasem, Bojonegoro. Layaknya tontonan yang sayang dilewatkan, warga beramai-ramai menyaksikan pertunjukan Tayub. Antusiasme penonton memperlihatkan minimnya hiburan bagi warga Desa Ngasem. Penggunaan bahasa dan dialek Jawa yang kental menjadikan salah satu unsur yang semakin menghidupkan nuansa Jawa dalam film ini. Melalui gambaran sederhana inilah sutradara menawarkan perspektif lain untuk mengurai problem yang ingin ditampilkan.
Bagian awal film dibuka dengan pertunjukan pentas Tayub. Riuh penonton hanyut di antara gending dan sayup nyanyian para sinden. mSeakan ingin menggoda para lelaki yang menontonya, dengan lemah gemulai penari itu menari sambil tak hentinya tersenyum. Para lelaki itu berhambur ke arena pentas untuk ikut menari, meskipun hanya menyawer tidak lebih dari lima ribu. Para penari mengambil setiap lembar uang yang diberikan sembari tak hentinya tersenyum.
Ketika seorang lelaki tengah menikmati tarian bersama salah sorang penari, tiba-tiba datang laki-laki lain yang memegang botol minuman keras kemudian memukulkan ke kepalanya. Terlihat di sekitar arena pentas meja-meja penuh berserakan kulit kacang dan botol minuman keras. Kondisi tersebut menunjukkan suatu keadaan yang rentan dengan kericuhan. Sontak para pengiring gamelanmenghentikan permainannya. Mereka berhambur ke pementasan untuk menolongnya. Beberapa penonton berusaha ikut melerai agar kondisi tidak semakin kacau. Sesaat kemudian, polisi datang mengamankan keadaan.
Inilah awal dari permasalahan yang terjadi. Belakangan aparat kepolisian menilai bahwa pementasan Tayub telah melanggar Undang-Undang Pornoaksi dan Pornografi. Selain itu, pemantasan Tayub mudah mengundang kericuhan yang meresahkan warga. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, aparat meminta agar pementasan Tayub dihentikan. Secara resmi beberapa kali surat peringatan dialamatkan ke rumah para penari tersebut, tetapi mereka tidak menghiraukannya. Pementasan Tayub tetap berlangsung seperti hari-hari biasa tanpa ada kendala.
Alur selanjutnya, film ini menggambarkan kehidupan Tantri lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari Tantri yang tinggal di sebuah rumah kecil dengan anak dan ibunya. Rumah sederhananya hanya terdiri dari beberapa ruang. Tidak terlihat barang mewah di dalamnya, yang ada hanyalah sebuah sofa lusuh berserta meja kayu dan mesin jahit tua di ruang tamu. Tantri memiliki ibu yang kerap dipanggil Mbah Mangun. Ia menjaga cucunya ketika Tantri sedang bekerja. Hatinya sedih melihat kondisi yang serba terbatas. Mbah Mangun menyarankan agar Tantri mencari pekerjaan lain. Akan tetapi menurut Tantri, gaji pekerjaan lain seperti menjadi penjaga toko tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itulah sebabnya ia lebih memilih bekerja sebagai penari Tayub, meski berada di bawah tekanan aparat.
Tantri harus bekerja sejak malam hingga pagi dan meninggalkan keluarganya, sementara sang mantan suami bersenang-senang dengan wanita lain. Penggambaran cerita dalam film ini semakin kompleks dengan munculnya tokoh-tokoh baru. Ketika alur tengah menceritakan kehidupan tokoh utama, muncullah tokoh Sapto sebagai kekasih Tantri. Sapto adalah seorang pemuda yang berambisi menjadi seorang polisi. Suatu malam, ketika Sapto menjemput Tantri di tempat kerja, ia berbincang dengan Pak Lurah yang tak sengaja ditemuinya. Sapto menanyakan mengenai tes kepolisian yang diikuti. Belakangan diketahui, bahwa Sapto meminta bantuan Pak Lurah agar ia dapat diloloskan dalam penyeleksian polisi. Di sini diceritakan, Pak Lurah sebagai mediator yang bertugas melobi pihak kepolisaian agar meloloskan Sapto. Sebagai gantinya, ia harus membayar sejumlah uang. Terlampau polos, Sapto yang telah rela menjual sawah itu ternyata hanya dipermainkan oleh aparat. Akhirnya, ia hanya menjadi Satuan Polisi Pamong Praja.
Film yang kaya akan pesan moral ini mampu memberikan gambaran bagi penonton mengenai realitas sosial. Realitas tersebut tergambar dalam tokoh Tantri yang rela menjadi penari Tayub dan Sapto yang rela menyogokagar diterima menjadi polisi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan hal penting bagi manusia. Selain itu, kritik terhadap kondisi bangsa ini juga ikut menjadi bagian cerita. Kritik disampaikan melalui adegan Pak Lurah dan aparat kepolisan yang rela melakukan hal tidak etis demi mendapatkan uang.
Film yang berhasil meraih Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) pada 2010 ini layak menjadi media untuk merefleksikan fenomena kehidupan. Kesan sederhana dalam setiap latar dapat menggugah emosi penonton. Setiap adegan dibuat sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak ada dramatisasi secara berlebihan. Sayangnya, Kelas Lima Ribuan tidak dapat ditonton oleh semua usia karena beberapa adegannya yang dinilai kurang tepat jika ditonton anak dibawah umur. Selain itu, film berdurasi sekitar tiga puluh menit ini lebih banyak memasukkan dialek Jawa dalam percakapannya. Orang yang tidak mengerti bahasa Jawa akan kesulitan memahami film ini.
Melalui film ini, Jihad bermaksud menggambarkan kondisi bangsa Indonesia. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sedemikian memprihatinkan, sejatinya menjadi ancaman besar bagi pembangunan karakter generasi penerus bangsa. Selain itu, dari film ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia tidak dapat sepenuhnya terlepas dari uang. [Pangestin Aprilia]