Selasa malam (21/5), Dewan Mahasiswa (DEMA) FISIPOL mengadakan aksi Renungan Reformasi di Bunderan UGM. Puluhan mahasiswa nampak duduk mengelilingi puluhan lilin yang ditata melingkar. Di tengah-tengah lingkaran lilin terhampar kain putih bertuliskan “Reformasi belum selesai”. Aksi ini diselenggarakan sebagai peringatan lima belas tahun berlangsungnya era Reformasi. “Malam renungan ini mengingatkan bahwa mahasiswa pernah menjatuhkan rezim Orde Baru tepat lima belas tahun lalu,” jelas Satria Triputra Wisnu Murti, Ketua Advokasi DEMA FISIPOL.
Pukul 19.30 WIB acara dimulai. Lagu Darah Juang dinyanyikan sebagai pembuka acara. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan orasi aktivis mahasiswa. Orasi ini mengulas kembali enam tuntutan mahasiswa di tahun 1998.
Orator pertama, Zaki Arrobi, Sekjen DEMA FISIPOL mengatakan bahwa masih ada beberapa tuntutan yang belum terpenuhi. Tuntutan untuk membubarkan dwifungsi ABRI, menerapkan desentralisasi, dan membubarkan Orde Baru memang telah terpenuhi. Sementara tuntutan lain, yaitu membersihkan pemerintah dari kroni-kroni Soeharto, menghapus praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta menegakkan supremasi hukum belum terpenuhi seutuhnya. “Reformasi belum usai,” tegas Zaki.
Heroik Mutaqin selaku Menteri Aksi dan Propaganda BEM KM UGM hadir sebagai orator kedua. Koruptor-koruptor di era Orde Baru, menurutnya, belum tuntas diadili. Banyak penanganan kasus korupsi Orde Baru yang berhenti di tengah jalan. Hukum justru menjadi barang dagangan. Hanya kaum tertentu yang dibela, sedang keadilan tidak membela rakyat. “Hukuman bagi rakyat yang mencuri ayam justru disamakan dengan koruptor yang makan uang milyaran,” sindir Heroik.
Heroik lalu mengkritisi demokrasi di era reformasi yang mengutamakan kepentingan partai tertentu. Demokrasi yang ada sekarang adalah demokrasi persaingan, dimana partai sibuk berebut perhatian. ”Partai akhirnya gagal menjalankan fungsi representatifnya,” imbuh Heroik.
Berbeda dengan Zaki dan Heroik, Diyamsah, mantan Ketua Korps Mahasiswa Sosiatri (KOMATRI) 2004, membicarakan tentang peran mahasiswa. Demokrasi yang diperjuangkan oleh tokoh reformasi dulu, kini menjadi tidak berarti. Ruang aspirasi yang telah terbuka justru tidak dimanfaatkan oleh mahasiswa. Beberapa mahasiswa cenderung fokus pada IPK dan mengikuti gaya hidup hedonisme. “Kepekaan mahasiswa masih kurang,” simpul Diyamsah. Namun, Diyamsah mengapresiasi peran mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. “Patut disyukuri masih ada segelintir mahasiswa yang peduli masalah sosial seperti malam ini,” tambahnya.
Masih dalam orasinya, Diyamsah menyangsikan peran mahasiswa sekarang. Idealnya, mahasiswa harus dekat dengan rakyat. Rakyat dan mahasiswa adalah satu. Namun, sekarang ada jarak antara rakyat dengan mahasiswa. Mahasiswa yang menggelar demonstrasi belum tentu mengenal rakyatnya. Alhasil, demonstrasi mahasiswa bergerak sendiri tanpa dukungan rakyat. “Sekarang kalau mahasiswa demo, rakyat menyalahkan mahasiswa yang bikin jalanan macet,” tukas Diyamsah.
Situasi tersebut berbeda dengan perjuangan mahasiswa dulu. Cerminan situasi mahasiswa di era itu digambarkan lewat puisi Taufik Ismail berjudul “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”. Puisi ini dibawakan dua mahasiswa secara teatrikal dalam rangkaian aksi malam itu. Dalam puisi ini, seorang tukang rambutan digambarkan begitu bersimpati pada mahasiswa yang berjuang membela rakyat. Rasa simpatinya diwujudkan dengan memberikan sepuluh ikat rambutan untuk mahasiswa yang berdemo. Kisah ini memberi gambaran bahwa perjuangan mahasiswa akan selalu didukung oleh rakyat, sebagaimana mahasiswa mendukung kepentingan rakyat.
Menurut Satria, mahasiswa yang membela rakyat di era sekarang jauh lebih mudah. Tidak ada lagi desingan peluru tiap demonstrasi dilakukan. Namun terkadang, hal ini yang membuat mahasiswa cenderung diam. “Meski mahasiswa tidak mempunyai musuh bersama seperti tahun 1998, tetapi kita harus mempunyai rasa persatuan untuk terus berkarya,” harap Satria.[Ganesh Cintika Putri]