“Setelah tahun 1998, hampir tidak ada terbitan yang membahas perkembangan pers mahasiswa,” ujar Wisnu Prasetya Utomo membuka diskusi bedah bukunya yang berjudul “Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan” yang diterbitkan Maret 2013 lalu. Diskusi yang diadakan BPPM Balairung pada Jumat, (10/5) di Ruang Sidang III, Gelanggang Mahasiswa UGM itu juga menghadirkan Pimpinan Redaksi (Pimred) Majalah Kagama, Syaifa Auliya Achidsti dan Pimred BPPM Balairung, Ibnu Hajjar.
Lewat bukunya, Wisnu berusaha menyoroti fenomena tenggelamnya pengaruh pers mahasiswa (persma). Dia menjelaskan, setelah runtuhnya rezim Orde Baru, persma mengalami titik balik. Kemampuannya menjadi substitusi media profesional terkalahkan akibat keterbukaan reformasi. Persma lantas melakukan re-orientasi melalui gagasan kembali ke kampus. Berita yang disajikan persma menjadi tidak semenarik dulu karena lebih banyak membahas mengenai dunia mahasiswa. Masalah seperti penataan infrastruktur atau biaya kuliah yang meninggi menjadi tema favorit. “Ini sebabnya topik mengenai persma seakan menjadi isu pinggiran dan literaturnya kurang sekali,” tandasnya.
Dalam bukunya, Wisnu meneliti tiga persma yang menurutnya memiliki karakter berbeda. Pertama adalah BPPM Balairung UGM, dimana ia sempat menjadi pimred tahun 2009-2010. Kedua adalah Suara USU, persma tertua di Medan. Terakhir adalah Catatan Kaki Unhas, yang terkenal dengan jurnalisme meledak-ledaknya. “Bagi mereka, Sebuah berita harus menunjukkan keberpihakannya. Cover both sides is dead,” ujar Wisnu menjelaskan. “Mereka juga lebih sering turun ke jalan melakukan aksi protes daripada membuat tulisan,” tambahnya.
Di Yogyakarta, pola yang terlihat adalah lebih mengutamakan kekuatan tulisan sebagai penunjang gerakan advokasi. Hal ini terlihat dari penggunaan judul ataupun bentuk tulisan yang menekankan urgensi masalah yang harus dilawan. Sedangkan di Suara USU, yang terjadi adalah munculnya jurnalisme mulut sebagai sikap netral. Seperti pada masalah perubahan status perguruan tinggi ke BHMN. “Akibat kurangnya akses informasi, mereka kebingungan mengambil sikap atas masalah itu. Jurnalisme mulut lantas digunakan sebagai cara untuk membentuk opini masyarakat,” ungkap Wisnu.
Berbeda dengan Wisnu, Syaifa lebih mengkritisi natur persma yang tidak akan bisa independen. “Bagaimana mau independen kalau sumber dana masih berasal dari rektorat. Pemberitaan akan rentan terpengaruh kepentingan-kepentingan,” jelasnya. Banyak persma terpaksa mengubah bentuk beritanya demi menjaga aliran dana rektorat.
Ia juga menyoroti radikalisme persma yang menurun setelah reformasi. Hal itu tidak semata disebabkan perubahan orientasi. Menurutnya, hal itu juga diakibatkan dominasi mahasiswa berkarakter intelektual. “Orang-orang tersebut kemudian mengubah bentuk berita persma menjadi jurnalisme wacana,” tegas Syaifa.
Syaifa juga menuturkan keadaan persma di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan negara lain seperti Amerika, Italia, dan Jerman. “Di sana, persma menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial-politik negaranya,” ujarnya. Persma menjadi corong bagi gerakan-gerakan mahasiswa.
Pembicara terakhir, Ibnu, menyoroti ketidakcocokan logika pers profesional jika diterapkan dalam persma. Kewajiban ganda yang dimiliki pegiat persma adalah penghalang terbesar. Awak-awak persma yang seluruhnya mahasiswa membuat konsentrasi terbagi-bagi. Menurutnya,“Pers profesional dapat berjalan ya karena jual berita. Beda dengan persma yang tidak berorientasi komersil.”
Karena keterbatasan itu, persma menjadi lebih menyoroti masalah seputar kampusnya. Menurut Ibnu, ada tiga wacana utama yang sering disorot. “Yang pertama adalah mengenai centang perenang perkuliahan, kedua adalah masalah politik pergerakan mahasiswa, dan terakhir mengenai infrastruktur kampus,” tutup Ibnu. [Yoga Darmawan]