Panggung biru berdiri tegak di halaman parkir kandang Fakultas Hukum Sabtu (4/5). Di seberang Pusat Jajanan Lembah itu, sarasehan budaya bertajuk “Prahara Si Kaki Lima di Kampus Kerakyatan” diselenggarakan. Acara ini digagas oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) Justicia Fakultas Hukum. Diskusi diadakan sebagai respon terkait permasalahan PKL di UGM yang tak kunjung usai.
Sarasehan budaya yang dimulai pukul 09.00 WIB ini memperbincangkan permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) di UGM yang belakangan kembali mengemuka. Pihak PKL, Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) UGM, mahasiswa serta budayawan dihadirkan di sana. Dipandu oleh Kepala Departemen Advokasi DEMA Justicia, Ahkam Ronny Faridhotullah, diskusi dimulai dengan pemaparan dari masing-masing pembicara.
“Seharusnya UGM nggak perlu malu ada PKL di kampus, malah seharusnya memfasilitasi PKL untuk berjualan,” ujar Azizah Amalia, mantan Kepala Departemen Advokasi DEMA Justicia Fakultas Hukum. Ia menjelaskan, keberadaan PKL di lingkup UGM justru merupakan hal unik yang tak dimiliki kampus-kampus lain. UGM tak seharusnya menggusur PKL demi cita-citanya menjadi kampus berstandar internasional. Ia juga mengingatkan, UGM terbentuk atas dasar swadaya rakyat. “Apa salahnya kalau kini PKL sebagai rakyat ingin sama-sama merasakan?” tegasnya. Meskipun demikian, ia mengapresiasi langkah UGM yang kini lebih komunikatif.
UGM sadar PKL sebagai sektor informal menyerap banyak tenaga kerja. Hal itu disampaikan Supriyanto yang hadir mewakili DPPA. Meskipun demikian, menurutnya penataan PKL harus tetap dilakukan. Hal itu dilakukan untuk mensinergikan dengan fungsi UGM sebagai institusi pendidikan. Bahkan, penataan PKL merupakan bagian dari Tri Dharma pendidikan berupa pengabdian masyarakat. “Penataan yang dilakukan tidak bertujuan untuk menyengsarakan,” sanggah Drs. Supriyanto, M.P.A terkait pendapat yang berkembang akhir-akhir ini.
Langkah-langkah dukungan terhadap PKL pun terus dilakukan UGM. Diantaranya adalah mencarikan sponsor untuk pembangunan dan mengadakan pelatihan. “Contohnya adalah pelatihan memasak dengan higeinis, meskipun memang belum optimal,” ungkapnya. Selain itu, kepastian hukum para PKL juga diperhatikan dengan adanya kontrak.
Setelah relokasi dilakukan, UGM juga diharapkan terus melakukan pengawalan. Menurut Suprihono, Ketua Aliansi PKL UGM, bentuk pengawalan dapat berupa regulasi, intervensi dan subsidi. Dengan demikian, PKL dapat tetap sejahtera dan mandiri walaupun direlokasi.
Subroto, seorang PKL UIN Sunan Kalijaga yang juga hadir melihat PKL selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Sementara itu, permasalahan-permasalahan yang sering dibahas hanya terkait isu tidak riil dan tidak menyentuh PKL. “Apa hukum hanya dimiliki orang yang berduit?” tandasnya.
Masing-masing pihak telah mengutarakan keinginannya. Setelah mendengarkan pemaparan tersebut Nano Asmorodono, seorang budayawan, tidak melihat adanya permasalahan lagi. Menurutnya, keinginan diantara pihak-pihak tersebut tidak saling bertentangan. “Tapi, apa penerapannya di lapangan sudah sesuai pemaparan tadi atau belum?” ujar Nano. [Agung Hidayat, Arifanny Faizal]