AKU masih termanggu, tak peduli dengan hatiku yang berteriak merasakan kebekuan yang teramat sangat. Jujur, aku ingin semua seperti dulu saat anganku belum membentur tembok kenistaan seperti sekarang. Aku muak dengan keadaan, dengan semua kehinaan yang entah akan aku lalui sampai waktu yang tak mampu aku perkirakan. Aku marah dan sangat tertusuk begitu dalam, ingin rasanya aku menyalahkan keadaan ini. Namun, kuurungkan niatku untuk memaki keadaan yang tak kunjung berpihak pada kehidupanku yang papa.
Ingatanku kembali menerawang jauh pada waktu enambelas tahun lalu. Semakin waktu kutapaki, semakin banyak garam yang tertabur dalam lukaku. Masih adakah oase itu,tetapidi manakah dia; kenapa sepanjang berlari bermil-mil di gurun gersang, aku hanya menemukan fatamorgana, sungguh aku sangat lelah dan kehausan. Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin terlahir tanpa takdir yang begitu mengesankan. Lahir dengan nama Sri Wulansih, dari rahim perempuan desa bernama Paini dan suami bejatnya yang bernama Kurdi.
“PRANGGGG,”
Aku meyakini bahwa tidak lama lagi barang pecah belah di rumahku akan segera habis tersapu oleh tangan biru ibuku.Aku tidak menyalahkannya.Bahkan kalau aku berada di posisinya,aku juga akan melakukan hal yang sama. Suara tangis dan cacimaki masih terngiang jelas, tamparan dan pukulan entah mencari tempat dimana lagi karena semua bagian tubuh Ibu sudah penuh akan luka. Aku hanyalah anak usia delapan tahun yang hanya bisa menangis pilu menghadapi takdir yang sama sekali tidak bisa kupilih.
Bagiku hidup adalah menjalani apa yang telah digoreskan Tuhan, tanpa sebuah pilihan. Saat seperti ini aku hanya bisa bergumam lirih dalam hati, semoga Tuhan sedikit mengasihani keluargaku dan segera menyelesaikan cerita ini dengan akhir yang bahagia.
“Wong lanang kurang ajar, wes semene wae bebrayan karo kowe, pisah wae nek kaya ngene.”
Jujur kukatakan, ayahku memang seorang bajingan busuk yang hanya bisa merobek hati ibuku. Aku sangat membencinyauntuk saat ini, dimasa lalu, dan seterusnya. Kesempatan yang telah diberikan Ibu baginya terlalu mulia untuk diacuhkan demi memuaskan nafsu berpetualang menjajaki tubuh janda liar di ujung desa.Aku tidak peduli kalaupun Tuhan mengutukku menjadi anak durhaka karena memaki ayah kandungku sendiri, tetapi sungguh hatiku teramat membatu untuk makhluk yang bernama lelaki. Aku pernah bersumpah, akan kumusnahkan rasaku terhadap laki-laki.
DINGIN semakin mencengkeram tubuhku, mereka para lelaki pemuja nafsu dunia merangkak di bawah kolong kakiku untuk sekadar bisa menyentuhku. Aku mungkin memang seorang perempuan lacur,tetapi entah mengapa aku menolak dikatakan menjual tubuh demi segepok uang.
Bukan uang yang aku cari,melainkan kepuasan melihat para lelaki bajingan itu merengek dihadapaku.Hanya untuk sekadar memohon kutemani satu malam saja. Sejenak, aku merindukan Ibu yang mungkin telah bertambah tua.
Otakku mulai membentur angan yang tak kunjung berbatas, kosong dan jauh menerawang menembus batas-batas angin yang telah lelah untuk membawa harapanku kembali, tapi untuk saat ini kekuatan yang kuhimpun belumlah cukup untuk sekadar berani memandang wajah ibuku.
Pamanku, Kasno, mengirimiku pesan singkat:“Ibumu loro, mlebu rumah sakit meneh, bapakmu kedanan Sulastri, digrebek sak deso, digebuki karo warga.”
Aku sungguh ingin berteriak menumpahkan sesak di dadaku. Keluargaku telah hancur dan aku hanyalah anak yang terkutuk, lahir dari istri seorang bajingan yang kini menghuni bui karena tangannya membawa kain jarik yang terbukti digunakan untuk mencekik selingkuhannya.Aku tahu ibuku terluka dan aku hanyalah seorang anak jalang yang tidak berguna, tidak bisa melindunginya lagi.
Suara adzan berkumandang.Sejujurnya, aku sangat ingin memeluk Tuhan karena aku sangat merindukannya.Namun,aku selalu hanya mampumenggigil lesu, menanyakanenggankah Tuhan didekati oleh manusia kotor dan hina sepertiku?
Aku ingin kembali untuk menemui ibuku, dan memohon maaf atas dosa yang telah aku lakukan.Sungguh aku sangat munafik karena selalu berkata aku mencintainya.
“Maaf, Mbak, kami sudah berusaha.Namun, penyakit TBC yang ibu Paini derita sudah sangat parah.Seharusnya beliau dibawa ke rumah sakit di kota supaya mendapat perawatan intensif.”
Saat itu, terasa semua sudah berakhir. Otakku penat—tentang masa depan yang bagiku teramat gelap, sungguh hatiku telah berada di tepi jurang yang mungkin tak pernah akan ditemui batas akhirnya.
Sampai kemudian aku bertemu seseorang yang mampu menundukkan hatiku, membuatku kembali percaya bahwa Tuhan tidak pernah ragu mengampuni dosa umat. Aku selalu berpikir bahwa kedatangannya adalah anugerah yang mungkin datang terlampau akhir dalam drama yang aku lakoni, tetapi segera kutepis.Mungkin Tuhan sengaja mengirimkannya untuk menjemputku yang tersesat dalam jalan yang begitu gelap tanpa lentera.
SEMUA yang telah terenda sebagai angan demi menjemput impian telah pupus, semua telah menyadari bahwa tiada berbenteng kuasa yang dimiliki oleh pemilik jagat raya ini. Semua yang telah dicurahkannya seakan raib tanpa meninggalkan kesan berarti bagi yang dicintainya—membutuhkan waktu untuk meyakinkan yang dicintainya bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini seperti ayahnya. Ternyata, bukan seperti itu yang semua orang inginkan, tetapi Sri Wulansih telah memilih apa yang telah ada di hadapannya, menjalani hidup tanpa seorang ibu membuatnya lebih membakar dendam dibanding saat kehilangan ayah karena ulah janda di ujung desa.
“Kalau kamu masih memilih perempuan lacur itu, maka semua kekayaan yang ayahmu wariskan akan aku bekukan, aku tidak pernah sudi berurusan dengan wanita kotor seperti itu.”
“Kalau Ibu mau lakukan saja sesuai kemauan Ibu, semua orang punya masa lalu.Tidak ada manusia sempurna—dan karena ketidaksempurnaanyalah manusia mencari pasangan agar bisa saling melengkapi dengan sempurna.”
“Kamu—berani melawan ibumu hanya karena wanita jalang itu, kamu akan menyesal Radho.”
“Ibu, semua yang terjadi adalah atas restu ibu, tapi jika ibu telah berkata demikian—mungkin memang benar hidupku akan penuh penyesalan.Biarkanlah aku menjalani penyesalan itu bersama orang yang aku cintai,Bu.”
Gerimis seakan masih enggan berhenti.Seorang pemuda bagai pungguk, menunggu dengan lesu di samping gundukan tanah yang masih beraroma siraman air kelapa. Entah apa yang akan dia katakankepada ibunya kelak, dia mungkin sangat malu atas peristiwa ini, bunuh dirinya seorang pelacur yang coba dia sadarkan dari gelimang maksiat.Sungguh waktu tiga tahun bukanlah pendek bagi perjuangan yang dilakukan seorang anak bupati yang memilih takdir mencintai seorang mantan pelacur yang dendam kepada ayahnya sendiri. Cinta telah menentukan takdirnya dan mungkin semua sudah sampai pada batas yang tidak mampu ditembus oleh tangan-tangan kecil manusia.
Dia mencoba mengingat apa saja yang telah dia lakukan untuk perempuan lacur yang selamanya berada di bawah gundukan tanah kuburan itu. Dia mencoba memberi pengertian—bahwa segala yang terjadi adalah hal yang harus terjadi, dan adalah konyol untuk mencoba membalas dendam. Satu hal yang membuat pemuda itu selalu mengingat kekasihnya yang lacur; yakni dia tidak pernah menentang ibunya, hal yang justru dilakukan oleh pemuda itu saat mengutarakan niat untuk meminang Sri Wulansih dari Desa Sendang Galuh.
Ananti Primadi, lahir di Bantul, 29 Desember 1993. Saat ini berkuliah di Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM. Ia dapat dihubungi melalui ananti.primadi@mail.ugm.ac.id