Judul buku : Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini
Penulis : Th. Sumartana
Penerbit : Penerbitan Gading
Cetakan : April 2013
Jumlah halaman : xxvii +132
“Agama harus menjaga kita daripada dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama?” –Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng (R.A.) Kartini adalah pejuang emansipasi wanita yang hidup di jaman Hindia Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Berbicara mengenai emansipasi, tentu tak lepas dari pemikiran perempuan yang lahir di Jepara, 21 April 1899 ini. Pemikirannya mengenai emansipasi tersebut dituangkan melalui surat-surat kepada beberapa sahabatnya di Belanda. Oleh Nyonya Abendanon, surat-surat R.A Kartini kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Lieht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada tahun 1911.
Kini, cerita tentang R.A Kartini tidak hanya menjadi catatan sejarah di buku pelajaran sekolah. Hari lahirnya pun dirayakan setiap tahun. Meski demikian, selama ini R.A Kartini hanya dikenal sebatas perannya terhadap emansipasi. Tak banyak orang yang mendiskusikan pemikiran-pemikiran Kartini lebih lanjut. Catatan sejarah mengenainya seolah-olah sudah mutlak dan tak perlu diperbincangkan kembali. Bahkan, bukunya pun tak menjadi bacaan wajib bagi para pelajar yang mengenangnya sebagai salah satu pahlawan nasional.
Kartini mengirim surat untuk sahabat-sahabatnya selama 4 tahun (25 Mei 1899 – 7 September 1904). Dalam surat-surat itu, ia menuangkan kritik dan keluhan tentang bangsanya. Surat-suratnya kemudian dianggap sebagai pemikiran yang luar biasa pada masa itu, terlebih ia adalah perempuan.
Anak kelima Bupati Jepara ini dengan berani menuliskan berbagai kritik terhadap negerinya sendiri. Kegelisahannya berangkat dari apa yang ia alami sendiri. Ketika Kartini menyadari bahwa ibu kandungnya, Ngasirah, harus memanggil anak-anaknya ndoro. Ibu kandung Kartini hanya rakyat biasa, bukan keturunan bangsawan seperti istri kedua ayahnya. Ia pun mempertanyakan mengapa adik-adiknya harus berjalan jongkok ketika melewatinya padahal mereka adalah saudara sedarah yang seharusnya sangat akrab. Selain itu, ia juga mengeluh mengapa anak perempuan harus dipingit, sementara anak laki-laki boleh keluar sebebasnya.
Label yang diberikan pada Kartini sebagai pahlawan emansipasi membuat masyarakat tak banyak mengetahui bahwa pemikirannya tidak sebatas mengenai perempuan. Selain emansipasi, aspek lain yang dipermasalahkannya adalah keadilan yang menyangkut masalah kemanusiaan. Termasuk di dalamnya pendidikan, kemiskinan, kesehatan, bahkan agama.
Hal itulah yang kemudian menggugah Th. Sumartana seorang intelektual dan teolog Kristen untuk membuat disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Surat pertama Kartini mengenai agama ditulis pada tanggal 6 November 1899 untuk Stella Zeehandelar. Meskipun jumlah suratnya yang membahas agama tidak terlalu banyak, tetapi pemikirannya sangat menarik. Dalam buku ini, Th. Sumartana menempatkan R.A Kartini sebagai salah satu tokoh penting dalam dinamika kehidupan intelektual pada masa itu. Kartini memandang agama melalui sudut pandang yang manusiawi. Ia mengkritik kegiatan atau ajaran agama yang dianggap tidak berlandaskan asas kemanusiaan. Misalnya, poligami yang dianggap membela ego laki-laki. Di dalam buku ini juga dijelaskan, bagaimana tanggapan Kartini mengenai kepercayaan-kepercayaan lokal yang tabu untuk dibicarakan. Diantaranya tentang cenayang, santet, serta pengkultusan terhadap Kartini dan keluarganya oleh masyarakat.
Sebagai perempuan yang lahir dan besar di keluarga Islam yang taat, Kartini ternyata memiliki pemikiran yang cukup jernih mengenai agama. Ia tidak menegakkan ajaran Islam sebagai tuntunan yang paling benar. Hal ini terlihat dari kekecewaannya terhadap sistem poligami yang mengijinkan kaum lelaki Islam menikah dengan empat wanita. Meski dalam ajaran Islam itu dibenarkan, ia tetap menyebutnya sebagai dosa karena tidak adil bagi pihak perempuan.
Sebagai perempuan yang hanya menempuh pendidikan sampai usia 12 tahun di Europese Lagere School (ELS), Kartini memiliki kepekaan yang tinggi. Ia mengkritik hal-hal yang sudah lumrah terjadi di sekitarnya. Ia menyadari bahwa ia memeluk agama Islam sebab nenek moyangnya beragama Islam, bukan karena pilihannya sendiri. Ia juga mengkritik kegiatan membaca Al-Qur’an oleh umat Islam. Berikut surat yang ia tulis untuk Stella mengenai Al-Qur’an :
“ Disini orang diajari membaca Quran, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mengenal dan memahami agama saya maka saya harus pergi ke tanah Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, ‘kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?” (hlm. 40)
Kritik keras yang dilontarkan R.A Kartini mengenai poligami dan Al-Qur’an tentu meninggalkan citra bahwa dirinya adalah pembangkang Islam. Namun, hal itu terbantahkan dengan membaca kritik R.A Kartini terhadap kegiatan zending, yaitu misi Kristen berupa layanan pendidikan dan kesehatan. Ia mengkritik zending yang pada saat itu diadakan hanya untuk menarik jemaat, bukan sepenuhnya untuk membantu sesama. Ia keberatan pada usaha zending yang sibuk dengan panji-panji keagamaan dengan tujuan mengkristenkan umat Islam di Jawa.
“Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa ajarlah ia mengenal Tuhan yang Esa, mengenal Bapa pengasih dan penyayang, Bapa semua mahluk, Bapa seorang Kristen, orang Islam, orang Budha, Yahudi dan lain – lain. Ajarlah dia agama yang sebenarnya, yaitu agama yang melekat di rohani sehingga orang dapat memeluk agama itu, baik sebagai orang Kristen maupun sebagai orang Islam dan lain – lain. (hlm. 46)
Akibat pengetahuannya mengenai dunia barat yang begitu maju, Kartini menjadi sosok yang selalu berorientasi pada Eropa. Tolok ukurnya terutama adalah negeri Belanda dibandingkan Hindia Belanda. Namun, lambat laun Kartini tidak bisa menampik bahwa dirinya pun percaya pada hal-hal tak kasat mata yang seringkali dianggap konyol oleh bangsa Barat. Seperti ajaran-ajaran kejawen yang masih kental pada masa itu. Dalam beberapa suratnya, ia mencoba meyakinkan pada kawan-kawan korespondennya bahwa mitos telah menjadi bagian dari masyarakat Jawa.
Selain itu, kejernihan dalam menilai agama juga ditunjukkan Kartini dengan mengamini keberadaan Bapa bagi umat Katolik. Meski ia menyadari adanya pertentangan antara Islam dan Katolik, tetapi ia tak segan menyebut nama Bapa yang Maha Esa dalam suratnya.
Menerjemahkan pemikiran seseorang hanya melalui surat-surat yang jumlahnya tak terlalu banyak tentu bukan hal yang mudah. Akan tetapi, buku ini mampu memaparkan pemikiran Kartini dengan mengaitkan isi satu surat dengan surat lainnya. Namun, karena buku ini adalah hasil disertasi, pembaca seringkali merasa terganggu oleh catatan kaki yang berlebihan. Buku ini memang sebaiknya digunakan oleh pembaca yang sudah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan kata lain, buku ini dapat dijadikan bacaan lanjutan untuk memahami pemikiran Kartini. [Ayu Diah Cempaka]
1 komentar
Ini tahun lahirnya keliru. Semestinya tahun 1879.