PAGI itu tak seperti pagi yang biasa ia jumpai. Teh hangat yang ia sesap, tak senikmat hari-hari sebelumnya.
Tubuhnya tertahan pada kursi dengan bantalan yang cukup nyaman, kakinya tergantung sambil terkadang menyentuh permukaan lantai kayu yang halus dan memberikan kesan dingin bagi jemari kakinya. Namun, hati dan pikirannya entah sedang berada dimana.
Ia termenung, pandangannya lurus seolah-olah menembus gumpalan-gumpalan awan di langit yang bentuknya menyerupai wajah seorang wanita sedang menangis.
Ah! Erangnya dalam hati, yang ia lihat itu adalah refleksi dari dirinya sendiri. Cerminan akan perasaannya yang tidak keruan saat itu.
Ia pun kembali menyesap teh. Masih tidak senikmat biasa. Pikirannya kembali berkelana sambil matanya tetap menatap tajam langit. Langit berwarna cerah, tapi kali ini di matanya berwarna abu-abu seperti akan turun hujan.
“LANAA!” teriak seorang anak laki-laki. Laki-laki itu berteriak memanggil perempuan yang berjalan di depannya, kira-kira berjarak 100 meter dari tempat ia memarkirkan motor sport-nya.
“Lana, tunggu! Kamu ini kenapa jalan terburu-buru? Jadwal kuliahmu pagi ini baru mulai jam 8 kan?” tanya laki-laki itu padanya.
Lana pun menolehkan wajah.
“Benar kan pasti suara motor tadi, suara motor Ale.Dan pasti yang berteriak memanggil namaku juga Ale,” ucap Lana dalam hati.
“Apa, sih, Le, pagi-pagi sudah teriak-teriak. Aku ini nggaktuli,” jawab Lana sambil terus berjalan.
“Ya kamu, sih, Aku panggil enggak merespons. Malah jalannya tambah cepat.”
“Maaf deh, memang ada apa kamu panggil aku?” sahutnya sambil tersenyum kecil.
“Nggg, enggak apa-apa, sih. Cuma mau manggil saja” jawab Ale sambil cengar-cengir.
“Ih, kamu, tuh,enggak jelas ya, Le! Aku tinggal masuk kelas saja, deh!” Lana berjalan semakin cepat meninggalkan Ale yang hanya berdiri.Pria itu masih ketawa-ketawa melihat Lana pergi.
DI KELAS, Lana menaruh tas di kursi dekat jendela. Itu tempat favoritnya. Dari dekat jendela ia bisa melihat gedung di seberang tempat kuliahnya. Entahlah ia suka sekali memandanginya. Ada aura tersendiri yang menjalar ke tubuh Lana, yang memberikan efek bahagia padanya. Padahal gedung itu hanyalah salah satu gedung fakultas lain yang ada di kampus.
“Kumpulkan tugas makalah minggu lalu. Sekarang!” Begitu suara Pak Arsyad membuyarkan tatapan Lana ke arah gedung tadi.
Ia segera membuka tas, mengambil tugas makalah yang dimaksudkan Pak Dosen dan segera mengumpulkannya ke depan kelas.
“Alana, penelitian untuk beasiswamu bagaimana? Sudah seberapa jauh perkembangannya?” tanya Pak Arsyad.
“Tinggal menemui beberapa responden lagi Pak, setelah itu segera saya selesaikan pembahasan, hasil, dan kesimpulannya. Surat-surat dari kedutaan juga sudah selesai saya urus, Pak,”
“Bagus, saya harap kamu segera menyelesaikan penelitian itu, Alana.Kamu tahu kan, penelitian itu menjadi syarat utama kamu supaya bisa dapat beasiswa itu. Saya ingin kamu bisa benar-benar berangkat.”
“Baik, Pak, saya pasti akan selesaikan secepatnya. Toh, jadwal keberangkatan saya baru dua bulan lagi.”
“Baiklah, saya percaya kamu. Silakan kembali duduk, Alana.”
SIANG ITU Lana memilih menghabiskan waktu di kedai langganannya. Ia biasa memesan teh rasa stroberi di tempat itu. Ia memang bukan penggemar kopi seperti kebanyakan orang, stimulan bagi Lana adalah secangkir teh hangat rasa buah.
Sambil menyesap teh, ia membuka kotak masuk di ponselnya. Disitu tertera pesan masuk dari Ale.
Lana, ntar malem ke tempat biasa, yuk.
Temenin aku. Mau ya?
Lana masih memandangi pesan itu dan belum juga membalasnya. Entah kenapa, hati dan otak Lana mendadak tidak sinkron.Ya, memang selama ini ia merasa Ale begitu baik kepadanya, perhatiannya juga tidak pernah absen. Menurutnya Ale anak yang baik dan seru. Ia pun merasa nyaman saat berada didekat laki-laki itu. Namun, Ale selalu mengingatkannya akan seseorang. Laki-laki yang berada jauh sekali. Namun, Lana selalu berusaha berpikir, disana orang itu pasti masih menunggu dirinya. Ataukah, itu hanya sugesti dirinya saja untuk mengusir rasa rindunya terhadap laki-laki itu? Ya, ia sedang sangat merindukan Bara saat ini.
“LANA, kenapa kamu suka menatap langit?” tanya Ale dengan polosnya.
Ini dua hari sejak Ale mengirim pesan kepada Lana waktu itu.
“Hahahaha, pertanyaan kamu enggak penting banget, sih”
“Loh, aku penasaran. Ada apa sih di langit? Kok, kamu betah banget mandangin terus? Lebih enak juga mandangin aku. Dari tadi aku disebelahmu, tapi kamu malah lihatnya keatas terus.”
“Kamu ngambek, Le? Maaf, deh. Tapi kamu tau nggak? Aku suka melihat langit. Karena dengan melihat langit, aku seolah-olah bisa merasakan kehadiran orang yang aku rindukan, walaupun orang itu jauh di sana.”
“Memang kamu lagi kangen siapa?” tanya Ale penasaran.
“Hmmm, ada deh!” jawab Lana sambil tertawa . “Aku sedang rinduuuu…. ah sudahlah.”tambahLana dalam hati.
“Yah, yasudahlah, kalau kamu enggak mau beri tahu aku.”
“Apa, sih, Le. Kamu kok jadi sensitif gitu?”
“Aku cemburu.”
“Hah? Kamu bilang apa barusan?”
“Aku cemburu! Aku iri, pada orang yang lagi kamu kangenin. Padahal, aku ajak kamu kesini bukan untuk lihat kamu diam memandangi langit. Aku kesini mau lihat kamu ketawa. Aku mau bisa buat kamu senang. Karena aku tahu, sebulan ini kamu terlalu sibuk sama penelitian kamu itu. Niatku mau ajak kamu refreshing” ungkap Ale panjang lebar.
Lana justru semakin terdiam mendengar kata-kata Ale barusan. Dalam hati, ia kaget, baik sekali anak ini. Dan, yang lebih mengejutkan, Ale bahkan tahu bahwa Lana selama ini terlalu sibuk sehingga Lana butuh penyegaran bagi otaknya yang kurang istirahat sebulan ini. Tanpa Lana memberi tahu itu semua, Ale sangat mengerti kondisi Lana.
“Tuh, kan, kamu diam lagi. Ah, sudah, aku antar kamu pulang saja. Semoga besok kamu bisa kembali jadi Lana yang enggak pendiam seperti ini.”
Lana hanya bisa menuruti kata-kata Ale. Ia mengikuti Ale ke tempat motor sport Ale diparkirkan. Dadanya sesak malam itu. Ia merasa ingin menangis ditempat. Ah, terlalu rumit apa yang kurasakan.
DUABULAN telah berlalu, beasiswa sudah ditangan. Persiapan keberangkatannya ke Jerman pun sudah semakin lengkap. Pagi itu, Lana pergi ke kampus untuk menjalankan kuliah di minggu terakhir sebelum hari keberangkatannya ke Jerman.
Di mobil, ibunya bertanya,“Oh ya, temanmu itu sudah kamu beri tahu?”
“Teman yang mana, Bu?”
“Yang mana lagi kalau bukan laki-laki yang suka datang ke rumah bawa motor sport itu? Pacar baru kamu, ya?”
“Oh, Ale. Bukan. Dia bukan pacar Lana, Bu. Ibu, kan, tahu… Lana masih…”
“Iya, Ibu tahu kamu masih…dengan Bara… maka dari itu, Ibu tanya apa kamu sudah cerita semuanya ke temanmu itu? Kasihan, kan, dia nantinya.”
“Masih Lana pikirkan kapan waktu yang tepat, Bu.”
DI DALAM kelas, Lana kembali melamun memandang gedung di seberang tempat kuliahnya, Fakultas Ekonomi. Gedung itu adalah bangunan Fakultas Teknik,tempat mantan kekasih Lana—Bara— dulu pernah berada. Sekarang, Bara melanjutkan studi di Jerman. Sejak Bara pindah ke Jerman, mereka berdua memutuskan berpisah. Namun dalam hati, Lana berjanji suatu hari nanti dia akan bisa menyusul Bara ke Jerman. Dan, hari itu sudah semakin dekat.
Ia tersadar saat ponselnya berbunyi. Tanda pesan masuk.
Lana, apa kabar? Ntar malam ke tempat biasa, yuk.
Temenin aku. Mau ya?
Lama enggak lihat kamu
Pesan dari Ale. Ah, iya sudah lama juga ia tidak melihat laki-laki itu. Lana pun juga teringat pesan ibunya, mungkin ini saat yang tepat untuk menceritakan semuanya.
“LE, aku mau cerita ke kamu.” Lana mengawali percakapan.
“Cerita saja, silakan.” Ale berkata sambil tersenyum ke arah Lana.
“Le, Senin depan aku mau berangkat ke Jerman. Kamu sudah tahu kan aku lolos seleksi beasiswa itu? Maaf ya, Le, aku baru bilang sekarang kalau jadwal berangkatku Senin depan. Aku tahu, ini mendadak sekali buat kamu. Tapi, setidaknya, kita masih punya waktu satu minggu lagi. Kalau kamu mau, aku temani kamu ke sini tiap malam. Aku mau kok Le.”
Ale terdiam. Entah kenapa, pandangannya mendadak kabur. Baru saja ia merasa senang karena ia bisa bertemu Lana lagi setelah dua bulan tidak bertemu. Namun, saat ini, saat ia mendengar kata-kata yang diucapkan Lana, ia merasa kesempatan itu hilang.
“Kenapa justru pada saat aku ingin menyatakan perasaanku selama ini, aku harus mengetahui kenyataan bahwa kamu akan pergi meninggalkan aku, Lana,” batin Ale menangis mengatakannya.
“Le, kenapa diam saja?” tanya Lana curiga.
“Tidak, aku tidak bisa menunggu lagi, apapun itu, harus kukatakan sekarang juga!” batin Ale.
Ale masih terdiam.
“Le, ngomong, dong. Jangan diam aja.”
“Gimana aku bisa ngomong Lana, kamu sudah kasih aku kenyataan yang aku belum bisa terima saat ini,” jawab Ale dalam hati.
Ale berusaha mengumpulkan semua sisa keberaniannya, kekuatannya. Ia mencoba mengusir rasa sedihnya. Ya, ia harus mengutarakannya saat ini.
“Lana, sebelum kamu pergi jauh, meninggalkan aku, aku mau kamu tahu hal ini. Mungkin kamu enggak percaya, tapi kali ini aku enggak lagi bercanda ke kamu. Aku sayang kamu, Lana.”
Lana tersentak, ia bangun dan segera mengambil posisi duduk. Ia sama sekali tidak menyangka, Ale akan mengatakan itu. Dadanya sesak. Ia bingung. Perasaannya campur aduk.
Namun,Lana berusaha mengendalikan diri.
“Ale, maaf… tapi aku… tidak bisa…” kata-kata Lana tertahan di bibirnya.
“Kamu nyaman, kan, selama ini dekat denganku?”
“Iya, aku merasa nyaman, tapi rasa nyaman itu karena…”
“Karena apa, Lana? Kamu takut tidak bisa merasa nyaman lagi didekatkukarena kamu sebentar lagi akan ke Jerman, ya?”
“Kamu membuatku nyaman karena kamu mengingatkan aku pada Bara!”
“Bara? Kakakku si Bara? Dia yang sekarang ada di Jerman? Oh… jangan katakan… Lana…”
“Ya, aku masih mencintai Bara. Kakakmu! Dan aku pergi ke Jerman untuk menyusulnya. Maafkan aku Le…”
BAGI LANA langit hari itu berwarna abu-abu. Seakan hujan akan turun deras. Namun, saat kakinya menyentuh lantai kayu yang terasa dingin, ia sadar. Air matanya telah banyak menetes, bahkan sampai ia merasa sesak. Bukan langit yang berwarna gelap, tetapi hatinyalah yang sedang diselimuti awan gelap,tidak, hari itu tidak akan hujan karena sebenarnya langit sangat cerah, melainkan air matanyalah yang seperti hujan deras.
Hari ini, satu hari sebelum keberangkatannya ke Jerman. Harapannya untuk menepati janjinya menemui mantan kekasihnya segera datang.Seharusnya, ia merasa bahagia, kan?
Bulan Wening Risang Ayu adalah seorang mahasiswa jurusan Kimia angkatan 2012. Ia lahir di Yogyakarta, 7 Maret 1994. Cerpen ini adalah cerpen pertama yang ia buat selama menjadi anggota di Balairung.