Ada pemandangan tak biasa di kawasan pesisir Kulon Progo pada Minggu (31/3) pagi. Alih-alih menggarap lahan, justru tumpah ruah konvoidaripara petani Kulon Progo Karangsewu (Galur) menuju Karangwuni (Wates). Tak ingin ketinggalan, Warsito, salah satu pemuda Kulon Progo juga turut serta dalam rombongan tersebut. Mengenakan kaus merah bertuliskan “Granat: Tolak Tambang Pasir Besi”, Warsito menempuh jarak sekitar 10 kilometermenuju padukuhan IV Karangwuni. “Ada pesta petani di Karangwuni, Mbak. Nanti kita makan-makan dan syukuran di sana,” tutur Warsito.
Hari itu memang tengah dihelat acara perayaan hari jadi Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo yang ketujuh. Setelah diawali dengan konvoi dan arak-arakan gunungan hasil panen, acara dilanjutkan dengan potong tumpeng, orasi, dan makan-makan bersama. Menurut Warsito, prosesi potong tumpeng berjalan cukup khidmat. Potongan tumpeng diberikan kepada RM Ajikusumo, Lembaga Bantuan Hukum, perwakilan petani, dan pihak kepolisian setempat. “Ada kejadian lucu saat polisi enggan maju ke panggung untuk mengambil seserahan potongan tumpeng. Malu mungkin atau takut dimarahi bosnya,” duga Warsito sambil tergelak.
Setelah prosesi potong tumpeng usai, acara dilanjutkan dengan orasi. Warsito dan ribuan petani lainnya berkumpul di bawah tenda besar untuk mendengarkan orasi tersebut. Tak hanya petani setempat, dalam acara itu hadir pula beberapa simpatisan termasuk Watin anggota gerakan masyarakat agraria Parangtritis yang konon April ini akan mengalami penggusuran lahan oleh pemerintah Yogyakarta.
Warsito mendengarkan dengan saksama rangkaian orasi dari RM Ajikusumo, kerabat Pakualaman Yogyakarta. Ia sepakat dengan Ajikusumo bahwa perlawanan nomor satu adalah dengan tetap bertani di lahan pesisir. Ajikusumo sendiri dalam orasinya berkata, “Jika Sultan dan keluarganya tetap bersikeras mengeksukusi proyek tambang pasir besi, niscaya akan tercoreng nama baik Sultan di mata internasional.” Pasalnya, hingga saat ini PPLP sudah memperoleh dukungan dari dunia internasional seperti Australia, Filiphina, Tiongkok, Yunani, dan Jepang.
Bentuk penggalangan dukungan ini tampak saat Widodo, anggota PPLP turut serta dalam forum internasional di University of Philipinespada Maret silam. Dalam forum tersebut Widodo menumpahkan segala ketertindasan yang PPLP rasakan akibat investasi tambang. “Saya juga mengatakan kepada forum, sejauh mana keterlibatan Sultan dan keluarganya di proyek ini,” ujarnya. Sepulang dari Filiphina, diwacanakan dalam waktu dekat, akan ada pengiriman anggota PPLP ke Inggris atau Belanda untuk membahas bentuk dan mekanisme perlawanan.
Di luar penggalangan dukungan, baik Ajikusumo maupun Widodo menghimbau agar para petani tetap mempertahankan lahan agar tidak tergusur oleh kepentingan kaum pemodal. “Lahan ini harus kita jaga. Tolak tambang pasir besi dan segala moda kapitalisme di tempat kita,” seru Widodo.
Dijumpai di tempat terpisah, Kus Sri Antoro, pengamat cum peneliti agraria mengamini strategi dari PLLP untuk melawan proyek tambang. Menurutnya, perjuangan agraria bagi kaum tani dapat diterjemahkan sebagai okupasi tanah, redistribusi lahan dari tuan tanah, atau peneguhan hak komunal atas masyarakat adat. “Dalam kasus di Kulon Progo, apa yang dilakukan petani sudah sangat tepat. Jika perlawanan lewat jalur birokrasi sudah mampat, cara satu-satunyaadalah dengan memperpanjang konflik itu agar para investor enggan menggelontorkan modalnya di proyek tambang,” urainya.
Logika pemodal, menurut Kus, adalah logika untung rugi. “Jika proyek tambang seret karena banyak konflik, otomatis cash flow tak berjalan lancar. Padahal pemodal membutuhkan hasil balik modal dengan segera,” ungkapnya. Lantas, bagaimana cara memperpanjang konflik? “Ya dengan tetap bercocok tanam, karena memanam adalah salah satu bentuk perlawanan,” tambahnya. Warsito sepakat, bagaimana dengan Anda? [Purnama Ayu Rizky]