Judul : Indonesia Punya Cerita
Penulis : Yusuf & Toet
Penerbit : Cerdas Interaktif
Tahun terbit : 2012
Tebal buku : iv+124 halaman
Kebudayaan adalah jiwa dari sebuah bangsa. Tanpa kebudayaan, sebuah bangsa hanyalah negeri tanpa jiwa.
Indonesia merupakan negara dengan kebudayaan terbanyak di dunia. Tidak mengherankan, penduduknya memiliki budaya yang berbeda-beda dari ujung timur sampai barat dan ujung utara sampai selatan. Suku-suku yang tinggal di tiap daerah memiliki kebiasaan, kepercayaan, dan bahasa yang berbeda-beda.
Kebudayaan yang hidup di negeri ini diceritakan secara singkat oleh Yusuf dan Toet dalam bukunya yang berjudul Indonesia Punya Cerita. Dalam buku ini, mereka menuliskan setiap kebudayaan secara terpisah. Satu per satu mereka ceritakan kebudayaan itu dengan singkat. Setiap cerita disertai dengan ilustrasi mengenai apa yang mereka ceritakan. Dua orang ini menceritakan kebudayaan yang unik, menarik, bertujuan baik, dan contoh kebudayaan yang bertujuan agar kita tidak menirunya.
Satu contoh kebudayaan Indonesia yang menarik adalah kita menganggap belum makan dan tetap merasa lapar bila belum makan nasi. Sehari-hari -hampir tiga kali sehari- kita mengonsumsinya sebagai makanan utama. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk mengonsumsi makanan pokok selain nasi. Memang, nasi telah menjadi makanan pokok sejak dahulu, terutama untuk kita yang berasal dari Jawa.
Contoh nyata budaya tersebut adalah saat pesta pernikahan. Walau hidangan pembuka sudah dihidangkan bergantian, kita tetap merasa belum makan karena nasi belum dihidangkan. Padahal makanan-makanan pembuka tersebut sebenarnya sudah cukup untuk membuat perut kenyang.
Kebudayaan tidak hanya monoton, tapi juga unik. Salah satu contohnya adalah roti buaya yang menjadi kebudayaan khas Betawi. Roti buaya digunakan pada upacara adat Betawi. Roti berbentuk buaya ini menjadi hantaran mempelai pria saat berkunjung ke rumah mempelai wanita. Mempelai pria membawakan mempelai wanita sepasang roti buaya. Ada yang unik dalam adat ini, yakni roti buaya tersebut tidak boleh patah atau rusak. Masyarakat Betawi percaya bahwa roti buaya yang menjadi perlambang kesetiaan. Apabila roti buaya ini rusak, pernikahan mereka juga diyakini akan rusak juga.
Contoh lain dari kebudayaan yang unik adalah kebiasaan masyarakat kita untuk pergi ke dukun. Sering sekali kita dengar pernyataan “cinta ditolak, dukun bertindak”. Kita tidak pernah mendengar dukun yang mengurusi cinta di negara Barat. Fenomena ini hanya ada di Indonesia. Orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan, sebagian dari mereka lari ke dukun. Terutama bagi masyarakat yang masih percaya dengan hal-hal mistis. Mereka ke dukun untuk mendapatkan cinta orang yang mereka cintai. Orang-orang tetap pergi ke dukun walau tahu cinta yang didapat hanya cinta semu. Menurut hemat saya, cinta adalah perasaan tulus sepasang manusia dan tidak dapat dipaksakan oleh apapun.
Selain menarik dan unik, kebudayaan juga mengajarkan kebaikan pada kita. Salah satunya adalah pamali. Kata ini tidak asing bagi mereka yang berasal dari Jawa. Arti dari pamali adalah pantangan atau larangan. Sebagai contoh, orang tua kita pernah melarang untuk tidak memotong kuku saat malam hari. Ada kepercayaan bila memotong kuku pada malam hari, kita akan celaka. Meskipun terdengar mistis, kepercayaan tersebut memiliki arti pesan tersendiri.
Pesan yang didapat dari pamali ternyata masuk akal. Dengan contoh memotong kuku di malam hari, penglihatan kita tidak sesempurna saat siang. Saat penglihatan kita tidak sempurna, dikhawatirkan jari kita yang lain ikut terpotong atau terluka. Pamali mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan tingkah laku kita agar tidak celaka.
Di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, ada kebudayaan yang menanamkan perbuatan baik, yakni nyama selam. Nyama selam adalah sebutan masyarakat setempat bagi masyarakat muslim yang merupakan minoritas di sana. Nyama selam berarti saudara dari kalangan muslim.
Masyarakat muslim saat hari raya Idul Fitri melakukan ngejot yang sudah berlangsung secara turun temurun. Mereka memberikan hidangan kepada masyarakat sekitar tidak peduli apapun agamanya. Tradisi ini mengajarkan kita untuk hidup bertoleransi dengan umat lain.
Tidak hanya kebiasaan unik yang diceritakan, tetapi juga kebiasaan buruk yang dilakukan oleh masyarakat kita. Salah satu contohnya adalah kebiasaan ngerumpi yang identik dengan ibu-ibu. Ngerumpi biasanya dikonotasikan buruk karena saat ngerumpi hal yang dibicarakan cenderung tidak bermanfaat dan merugikan. Misalnya adalah membicarakan aib orang lain sampai menyebarkan berita yang kebenarannya diragukan.
Satu contoh lagi kebiasaan buruk yang dipaparkan oleh penulis adalah kebiasaan yang sering kita rasakan saat berhadapan dengan birokrasi. Tentu kita pernah mendengar “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?” Kita merasakannya saat mengurus surat-surat kepada birokrasi. Dalam buku ini, ternyata kebiasaan buruk yang Yusuf dan Toet ceritakan sangat merugikan. Urusan seseorang bisa terhambat dan menyusahkan orang lain. Dengan contoh ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi para pembacanya agar tidak melakukannya.
Buku ini menceritakan kebudayaan yang hidup di negeri kita, tetapi sebagian besar adalah kebudayaan populer. Hanya sedikit porsi untuk cerita kebudayaan yang kurang begitu populer di masyarakat. Yusuf dan Toet pun tidak menggolongkan cerita mereka dalam klasifikasi tertentu dan terkesan campur aduk. Pembaca tidak tahu apakah cerita mereka ini termasuk kebudayaan, tingkah laku, atau kebiasaan yang hidup di masyarakat.
Walau terdapat beberapa kekurangan, buku ini menarik untuk dibaca. Kita tidak akan bosan karena buku ini ditulis dengan gaya bahasa santai dan disertai ilustrasi atraktif. Cerita dari penulis dimaksudkan agar kita mengenal budaya sendiri. Walau tidak dijelaskan secara terperinci, pembaca tetap bisa mengerti tentang apa yang diceritakan. Penulis menceritakan secara langsung ke inti masalah. [Gilang Pradhipta Sanggi]