Kesepakatan damai pembentuk harmoni lahir dari keragaman tradisi .
Lasem merupakan sebuah kota di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Letaknya di pesisir utara Jawa telah dikenal sejak dulu sebagai pelabuhan penting di Nusantara. Lasem dikenal sebagai le petit chinoise atau Beijing kecil karena kemiripan arsitektur Tiongkok dan banyaknya orang Tionghoa yang tinggal disini. Meskipun begitu, orang Tionghoa di Lasem tidak hanya menjalin hubungan dengan internal kelompoknya saja tetapi juga dengan pribumi Jawa dan para santri.
Medio 1965 sampai dengan 1998 merupakan tahun yang berat bagi warga Tionghoa di Indonesia, tidak terkecuali di Lasem. Hal tersebut dimulai dari adanya pertentangan antara pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) dan laskar Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser). Pertentangan ini menimbulkan ketegangan antara penduduk. Hal itu berakibat pada banyaknya penangkapan warga etnis Tionghoa yang diduga aktif dalam perkumpulan sayap komunis ke aparat hukum. Tidak hanya itu, beberapa tragedi kekerasan di Madiun dan Blora menimbulkan dampak tidak langsung terhadap warga Tionghoa di Lasem. Ujian keharmonisan ini semakin menjadi saat terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 yang melarang segala bentuk ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Hasilnya, warga etnis Tionghoa menjadi menutup diri karena takut menjadi korban kekerasan.
Selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan Orde Baru menciptakan tembok perbedaan dan pemisah antara warga Tionghoa dan pribumi. Kebijakan represif dan diskriminatif yang ada secara tidak langsung sama seperti yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Saat itu, Belanda membagi penduduk Hindia menjadi kelas Eropa, Timur Asing, dan pribumi. Puncaknya, diskriminasi dan kekerasan terhadap warga Tionghoa terjadi pada Mei tahun 1998.
Berbagai peristiwa ini setidaknya telah dicatat tahun 1740 akibat perlawanan atas rezim Gubernul Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Adriaan Valckenier. Peristiwa ini menewaskan lebih dari 10.000 orang Tionghoa. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan Perang Kuning atau Perang Sepanjang, yaitu perlawanan gabungan masyarakat Jawa dan Tionghoa terhadap kolonialisme Belanda.
Lasem juga turut ambil bagian dalam perlawanan ini. Dikenal sebagai kota pelabuhan penting sejak zaman Majapahit hingga penjajahan Jepang menjadikan Lasem lokasi yang strategis dalam perdagangan dan pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa. Dalam sejarahnya, perlawanan terhadap kolonialisme ini berupa penyerangan terhadap barak pertahanan militer Belanda di Rembang, Pati, dan Jepara. Penyerangan ini merupakan inisiatif Oei Ing Kiat (orang Tionghoa yang menjadi Adipati Lasem), Raden Panji Margono (priyayi Jawa), dan Kiai Baidlawi (ulama pengasuh Pesantren Purikawak), yang dibantu oleh pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem, Tan Kee Wie.
Hal ini menarik perhatian seorang bernama Munawir Aziz. Ia lalu menulis tesis yang berjudul, Lasem Milik Bersama : Formasi Harmoni antara Orang Tionghoa, Pribumi dan Santri di Sebuah Kota di Jawa. Dalam tesis tersebut peneliti mencari tahu bagaimana proses konstruksi harmoni pada kehidupan bermasyarakat di Lasem. Kota itu dianggap mampu merepresentasikan perdamaian dalam keragaman di masyarakatnya.
Melalui penelitian lapangan dengan metode partisipatif, peneliti mengarungi kehidupan masyarakat di desa Karangturi, Lasem. Peneliti yang merupakan mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM tahun 2010 menggunakan tiga strategi dalam proses penggalian data. Ketiga proses tersebut melalui wawancara mendalam, pengamatan lapangan, dan penelitian arsip dan dokumentasi.
Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa tokoh setempat, peneliti menemukan bahwa warga Tionghoa di Lasem turut serta dalam memperjuangkan kemerdekan. Hal tersebut diketahui dari ekspresi nasionalisme Hyang Wie, warga yang mendirikan Perusahaan Otobus (PO) Indonesia dengan mengecat armada truknya menjadi berwarna merah putih. Selain itu, di Lasem pada pemilihan langsung untuk memilih kewarganegaraan, banyak warga Tionghoa yang berdiam diri di rumah. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dimana orang Tionghoa diharuskan memilih antara sebagai warga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau Indonesia. Keputusan untuk berangkat ke area pemilihan berarti warga telah menjatuhkan pilihan menjadi warga RRT.
Dalam hal diskriminasi akibat penerbitan Inpres No.14 Tahun 1967, pemerintah Orde Baru juga mengharuskan pergantian nama China menjadi nama khas Indonesia. Di sisi lain, ketegangan pada tahun 1965 memang menyebabkan guncangan politik akibat cap komunis pada warga Tionghoa. Namun, pada tahun 1998 kekerasan yang hampir pula meletus di Lasem dapat diredakan dengan adanya kesepakatan damai. Kesepakatan ini terbentuk dari pertemuan Forum Komunikasi Masyarakat Lasem (FKML). Pertemuan antar tokoh lintas etnis dan agama ini diinisiasi oleh Tjan Khing Hwie dan KH. Thaifoer yang melahirkan kesepakatan Lasem Milik Bersama yang menyerukan perdamaian antar warga.
Peneliti melakukan proses pengamatan lapangan selama enam minggu. Proses tersebut terjadi pada 15-18 September 2011, 28-30 Januari 2012, 18-30 April 2012, dan 07-12 Juni 2012. Dalam proses ini peneliti menemukan bahwa harmoni didapat dari modal sosial, modal ekonomi, modal simbolik, dan modal kultural. Modal sosial tercermin dari komunikasi dan interaksi diantara orang Tionghoa, pribumi Jawa, dan santri pada berbagai ruang sosial terbuka seperti sekolah dan warung kopi. Hal tersebut dikuatkan dengan pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 melalui Inpres No.6 Tahun 2000 oleh Gus Dur. Selain itu, peresmian tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional melalui Inpres No.9 Tahun 2002 oleh Megawati membangkitkan aktivitas organisasi warga Tionghoa dan ritual budaya. Hal tersebut semakin menguatkan relasi sosial masyarakat. Relasi sosial yang menguat dibuktikan dengan partisipasi semua elemen masyarakat dalam ritual budaya Tionghoa, pribumi Jawa, dan santri. Misalnya, perayaan Imlek dan Cap Go Meh, tradisi “slametan” dan nyadran, serta pada pengajian haul di pesantren Kauman.
Modal ekonomi pembentuk harmoni masyarakat Lasem dimulai sejak tahun 1998 dalam upaya mencegah kerusuhan. Ketika itu komunitas Tionghoa memberikan distribusi sembako kepada penduduk miskin di Lasem. Upaya ini merupakan langkah warga Tionghoa agar mendapat pengakuan dan kepercayaan dari pribumi Jawa dan santri di Lasem.Elit setiap golongan berperan sebagai agen perdamaian. Hal tersebut merupakan suatu bentuk modal simbolik, dimana para tokoh Tionghoa, pemuka desa dan para kiai bersama-sama menegoisasikan jalannya perdamaian. Mereka memengaruhi massa dan menjadi panutan dalam proses harmoni di Lasem, seperti pada perayaan agama dan ritual budaya.
Selain itu, modal kultural yang terjadi melalui adanya perkawinan silang di antara warga Lasem menjadi jembatan sosial yang melahirkan generasi peranakan. Adanya generasi peranakan dapat mengikis perbedaan tradisi, bahasa dan aktivitas keseharian di antara orang Lasem. Tanpa adanya sekat perbedaan etnis dan budaya, masyarakat Lasem dapat menjaga nilai-nilai damai yang telah disepakati bersama. Peristiwa heroik yang tergambar pada kisah perang Kuning pada 1740-1743 yang juga terjadi di Lasem merupakan hasil dari penelitian arsip dan dokumentasi. Peristiwa tersebut mewariskan persaudaraan antar orang Tionghoa, pribumi Jawa, dan para santri. Kenangan positif akan persatuan orang Tionghoa, pribumi Jawa dan santri melawan kolonialisme Belanda merupakan motivasi untuk menjaga perdamaian di Lasem.
Penelitian ini bermanfaat dalam mengupas kesuksesan Lasem dalam menjaga perdamaian dengan mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu. Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat secara keseluruhan, terkhusus di Indonesia dalam menjalin perdamaian. Namun, perlu diingat bahwa penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan. Jangka waktu dan objek daerah penelitian berpengaruh terhadap hasil penelitian. Selain itu, peneliti cenderung memaksakan adanya partisipasi aktif ketiga pihak, yakni warga Tionghoa, Jawa, dan santri dalam berbagai kesempatan. Padahal, tidak semua pihak bisa selalu berpartisipasi aktif dalam setiap proses negoisasi damai. [Hannifah Nur Laili]