Ada yang tak biasa di Gelanggang Mahasiswa UGM pada Jumat (5/4) malam. Hall yang biasanya sepi, kini terdengar begitu ramai. Alunan gamelan terdengar bertalu-talu. Bunyinya terdengar hingga ke area parkir Gelanggang.
Puluhan orang yang masih ada di parkiran Gelanggang berbondong-bondong menuju sumber suara. Begitu masuk ke hall Gelanggang, ruangan sudah dipenuhi oleh penonton yang datang. Lampu-lampu menerangi seluruh sudut ruangan. Selembar kain putih terpajang di sisi selatan. Kain ini biasa disebut kelir, yaitu layar yang digunakan untuk pertunjukkan wayang. Tepat di depan kain, tertancap dua wayang kulit warna kuning keemasan. Wayang ini berbentuk seperti gunung. Terdapat gambar gerbang istana dan hutan di dalamnya. Wayang ini yang biasa disebut dengan gunungan. Gunungan berfungsi untuk menggambarkan latar terjadinya suatu peristiwa. Tak hanya gunungan, puluhan wayang tertata rapi di atas pelepah pisang. Saron, kenong, gong dan seperangkat alat gamelan lainnya telah terjajar rapi di depan susunan wayang kulit.
Belasan pemain telah duduk bersila menyiapkan alat musik masing-masing. Tak lama, alat musik pukul dimainkan dengan lincahnya. Musik yang rancak membuat malam semakin semarak. Sorak penonton tak henti-henti bergema memenuhi ruangan. Meski harus berdesakan duduk di lantai dengan beralas tikar, semangat penonton tidak luntur. Tepuk tangan meriah masih terdengar sampai alat musik selesai dimainkan.
Hymne Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) yang berjudul Lancaran dan lagu Mangungkung ini resmi membuka Gladhi Madya. Acara yang berlangsung pukul 19.00 hingga 01.00 dini hari ini menampilkan berbagai kesenian. Ada pentas karawitan, tari dan pedhalangan yang diselenggarakan oleh UKJGS. UKJGS merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seni di UGM. UKM ini berisikan mahasiswa yang tertarik untuk melestarikan kesenian Jawa, terutama yang bergaya Surakarta.
Anggara Wikan Prasetya, Ketua UKJGS periode 2012-2013 menuturkan, Gladhi Madya menjadi acara rutin yang diadakan tiap tahun bagi anggota baru UKJGS. Tujuannya untuk melatih mental para anggota baru UKJGS sebelum pentas di luar UGM. Anggota baru dapat lebih bersemangat dan memiliki rasa bangga dalam berkesenian. “Selain itu, mereka semakin terlecut untuk terus belajar dan mengembangkan diri,” tambah Anggara.
Dalam Gladhi Madya, sebanyak 60 anggota baru UKJGS unjuk kebolehan setelah melakukan persiapan selama sebulan. Dari enam puluh anggota baru ini dibentuk dua tim karawitan untuk memainkan gamelan dengan diiringi oleh para penonton yang ikut bernyanyi. Sedangkan anggota lainnya ikut unjuk kebolehan dalam menari Gambyong dan Tari Domba Nini Banyumasan. Tari Domba Nini Banyumasan merupakan tari kontemporer yang baru. Belasan mahasiswa yang mengenakan baju kuning dan jarik coklat unjuk kebolehan dengan membawakan tarian kontemporer ini. Berbeda dengan tari Domba Nini Banyumasan yang kontemporer, tari gambyong cenderung klasik. Tari ini semula dipentaskan oleh para putri raja. Namun, malam ini tari gambyong dipersembahkan oleh lima belas mahasiswi untuk menyambut para hadirin.
Meski tari ini berasal dari Jawa tetapi tidak semua penarinya berasal dari Jawa Tengah atau Yogyakarta. Ada satu penari yang berasal dari negara Cina. Namanya Dang Yao, mahasiswa S2 Ilmu Antropologi UGM. Dang Yao mengaku tertarik untuk belajar tari Jawa karena gerakannya yang halus dan terlihat anggun. “Tapi kesulitannya, kalau tari Jawa itu harus belajar mendak,” ungkap Dang Yao.
Tak hanya menunjukkan penampilan dari anggota UKJGS, dalam Gladhi Madya kali ini terdapat pula pementasan dari UKM lain. Seperti Gasita yang menampilkan karawitan, UKM Unit Tari Bali (UTB) yang menampilkan Tari Pendhet dari lima orang penari. Lalu disusul dengan penampilan gamelan yang rancak berjudul Suthing Pari dari Prasasti, Jurusan Sastra Inggris UGM. Ada pula Swagayugama dengan tari Fragmen Merak. Puncak dari acara ini adalah wayangan yang berlangsung sampai pukul 01.00 dini hari.
Hariyadi, salah satu penonton berpendapat bahwa pagelaran yang menampilkan seni dan kebudayaan seperti ini harus terus dilanjutkan. Di daerah asalnya, Solo, kegiatan semacam ini telah jarang dilakukan. “Sayangnya, tari Jawa tidak pernah ditarikan serutin orang-orang Bali memperkenalkan budayanya,” ungkap Hariyadi kecewa.
Irma, salah satu penonton Gladhi Madya menuturkan bahwa kegiatan ini patut diapresiasi. Tidak banyak anak muda yang merelakan waktunya untuk melestarikan budaya. “Di tengah modernitas, mereka masih mau memberi perhatian pada kesenian Jawa, itu yang harus kita hargai,” ungkap Irma. [Ganesh Cintika, Inez Christyastuti]