![©Nurrokhman](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2013/03/IMG_6132a.jpg)
©Nurrokhman
Foto close up denganlatar belakang polos mampu membuat ekspresi Tajul Muluk lebih jelas. Ekspresi yang penuh keteguhan akan pendiriannya. Senyum datar yang terukir di wajahnya menambah kesan ketegasan. Ditambah lagi, tatapan matanya yang menerawang menimbulkan kesan penuh harap. Imam Agung Prasetya, anggota Komunitas Multimedia Amikom Yogyakarta berpendapat, “Tatapan Tajul seakan mengatakan ‘Aku tidak bersalah’.”
Tajul menjadi salah satu korban intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan di negeri ini. Kebebasan beragama di Indonesia adalah hak yang selayaknya dimiliki tiap individu. Akan tetapi, kenyataannya banyak ditemui pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mengatasnamakan kepercayaan. Banyak orang dikucilkan karena keyakinannya, tak jarang hingga merusak rumah bahkan tempat ibadah mereka.
Tajul, pendiri dan pengasuh Madrasah Misbahul Huda adalah seorang penganut Syiah. Pendirian Madrasah Tajul di tahun 2004 berawal dari banyaknya anak-anak yang mengaji padanya. Ketika pendidikan telah berlangsung di madrasah ini, justru banyak pertentangan dari sebagian besar warga. Menurut Tajul, pertentangan ini banyak dilatarbelakangi unsur iri karena madrasahnya berkembang dan menyaingi madrasah yang telah ada sebelumnya. Bahkan kedengkian tersebut sampai pada menyebarnya isu, ajaran di madrasahnya sesat. “Salah satu bentuk pertentangan warga dengan menyebarkan isu bahwa Syiah itu ajaran sesat,” jelas Henry Adrian, sang fotografer.
Pertentangan yang timbul dengan mengatasnamakan perbedaan kepercayaan di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura tersebut menimbulkan konflik yang memanas di tahun 2011. Beberapa pihak memaksa pemerintah Sampang untuk mengeluarkan Tajul dari Madura selama satu tahun dengan alasan cooling down. Tajul pun bersedia angkat kaki dari Madura dan tinggal di Malang. Akan tetapi, rumah dan madrasah Tajul tetap menjadi incaran warga sekitar. Sampai akhirnya pada September 2011, sekelompok warga melakukan perusakan dan pembakaran terhadap rumah dan madrasah yang dibangun Tajul.
Penodaan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dialami Tajul menjadi salah satu kisah yang diangkat dalam pameran foto Atma Jaya Photography Club (APC) Jumat (8/3) hingga Minggu (10/3). Pameran foto yang bertempat di Jogja Gallery tersebut menampilkan foto-foto karya para mahasiswa yang tergabung dalam APC. Pameran yang diselenggarakan ini menggambarkan banyaknya konflik yang melanggar hak-hak individu dengan berkedok kepercayaan. Atas dasar itulah pameran foto APC mengambil judul ‘In The Name of Faith’.
![©Nurrokhman](https://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2013/03/IMG_6145a.jpg)
©Nurrokhman
Setiap foto yang menggantung di sisi ruang utama Jogja Gallery menghidupkan tema pameran itu. Foto karya Henry yang berobjek Tajul menjadi salah satu di antara belasan foto yang dipamerkan. Foto jepretannya itu memancing perhatian pengunjung pameran justru karena kesederhanaannya.
Imam bahkan sempat berpendapat bahwa foto tersebut sangat aneh dengan latar belakang yang polos. Menanggapi Imam, Henry menjelaskan, “Foto dan teksnya itu tidak bisa dipisahkan.” Menurutnya, wajar saja jika seseorang harus membaca untuk mengetahui kisah di balik sebuah foto. Setelah membaca keterangan foto, Imam berpendapat, “Konsepnya sederhana, tapi memiliki seribu makna.”
Kisah dan perjuangan Tajul memotivasi Henry untuk menjadikannya obyek utama dalam salah satu foto yang diambilnya. Februari 2012, setelah mencari informasi dari beberapa kenalannya, Henry menghubungi Tajul. “Saya nekat menghampiri saja meski belum dihubungi balik,” kisahnya. Ia menceritakan bahwa di tengah perjalanan, ia menerima SMS asing. ‘Besok pagi-pagi, kamu tunggu di Hotel Royal’, begitu perintah SMS tersebut.
Keesokan harinya, Henry bergegas menuju Hotel Royal yang terletak di kawasan Sunan Ampel, Surabaya. Di sana, Tajul Muluk sudah menunggu bersama seorang rekannya. Setelah berdiskusi sejenak, Henry mengambil foto Tajul dengan latar belakang dinding hotel. Beberapa bulan setelah momen pemotretan dan wawancara Henry pada Tajul, ia masuk bui. Widi Setiawan, salah satu panitia pameran foto APC pun mengapresiasi perjuangan Henry mengambil foto, “Jarang sebuah foto punya cerita seperti itu.” [Nuresti Tristya Astarina, Lintang Cahyaningsih]