Beberapa tahun terakhir, gejala intoleransi di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia disinyalir meningkat. Buktinya, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum minoritas seperti Ahmadiyah yang semakin marak. Hal inilah yang melatarbelakangi diskusi tentang Persepsi Jurnalis dalam Pemberitaan Agama (Islam) hasil Survei Pantau, Rabu (27/3). Diskusi yang dihelat di Wisma kagama UGM ini menghadirkan Endy Bayuni, Imam Shofwan, dan Suhadi Cholil sebagai pemantik.
Mengawali diskusi, Imam Shofwan menyatakan bahwa tujuan survei pada 2012 lalu adalah untuk mengetahui perspektif jurnalis terkait isu-isu keagamaan. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ada konservatisme di berbagai lini, salah satunya jurnalis. “Ada kecenderungan jurnalis mereproduksi kebencian terhadap kaum minoritas. Hal ini terjadi karena kurangnya sensitifitas jurnalis dalam memberitakan suatu peristiwa,” tutur pegiat Yayasan Pantau ini.
Menurut Imam, kecenderungan diskriminasi tercermin dari pemilihan diksi dalam pemberitaan. Sebagai contoh, penggunaan kata bentrok dan sesat. Kata-kata diskriminatif tersebut sayangnya juga dipakai oleh ulama-ulama yang menjadi salah satu sumber informasi. Akibatnya, bias keagamaan ikut tereproduksi. “Saat jurnalis tidak hati-hati dalam memakai sumber, maka yang terjadi adalah reproduksi kebencian,” papar Imam.
Senada dengan Imam, Endy Bayuni pun mengkritisi kecenderungan diskriminasi dalam pemberitaan. Jurnalis senior The Jakarta Post ini mengungkapkan, saat ini media telah menjadi bagian dari masalah, bukan lagi solusi. “Jihad telah menjadi kata-kata yang kotor di dunia Internasional karena diidentikkan dengan teroris. Hal ini tak pelak juga dipengaruhi oleh pemberitaan yang dilakukan media,” ujarnya.
Endy juga menyayangkan jurnalis yang kerap menjadi hakim. Ia menambahkan, seharusnya jurnalis tak boleh serta-merta menyatakan suatu kejadian benar atau salah. Endy mengangkat kasus Ahmadiyah sebagai contoh. “Ada kecenderungan penghakiman dalam pemberitaan seputar kasus Ahmadiyah karena bias dengan agama yang dianut si jurnalis,” tutur pendiri The International Association of Religion Journalist ini. Seharusnya, menurut Endy, media bisa memberitakan secara fair tanpa terikat kepercayaan tertentu. Namun sayangnya kesadaran tersebut baru tertanam dalam diri sebagian kecil jurnalis saja, dan belum sampai pada level lembaga atau media.
Terkait bias dalam pemberitaan, Suhadi Cholil mengatakan bahwa mungkin kesadaran yang harus diupayakan bukanlah pada si jurnalis, melainkan institusi media. “Jangan-jangan kepentingan pemilik media membuat jurnalis tidak memiliki kebebasan dalam memberitakan suatu peristiwa,” terang Kepala Divisi Penelitian Center for Religious and Cross-Cultural Studies ini.
Suhadi pun membandingkan kondisi pers saat ini dengan zaman Orde Baru. Terkait kebebasan dalam pemberitaan, pers saat ini memang lepas dari kekangan pemerintah. Namun hal tersebut tidak dibarengi dengan independensi jurnalis dari kebijakan redaksional medianya. “Agama dan jurnalisme merupakan dua arena yang berbeda. Media seharusnya bisa menjadi ruang yang objektif agar tidak terdapat dominasi di dalamnya,” ujar Suhadi.
Demi menjembatani berbagai persoalan tersebut, Endy memaparkan konsep“Jurnalisme Agama”. Meski belum populer, jurnalisme ini penting dalam menjembatani berbagai kelompok agama. Tugas jurnalisme agama bukan sebagai penyebar pesan agama, tapi melakukan reportase mengenai keharmonisan hubungan antarkelompok agama.“Tujuannya adalah membangun rasa toleransi antar mereka yang berbeda keyakinan,” pungkasnya. [Dian Puspita]