“Jihad jangan hanya dimaknai negatif atau diasosiasikan dengan teroris, karena mewujudkan kedaulatan pangan pun berarti jihad,” ujar Prof. Dr. Ali Agus, DEA, DAA, Dekan Fakultas Peternakan UGM. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar bertajuk Integrated Farming in Achieving Food Sovereignty pada Sabtu (16/2). Seminar ini bertempat di Auditorium Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan dihadiri sekitar 200 peserta. Tujuannya adalah agar mahasiswa sadar akan konsep kedaulatan pangan. Seminar ini merupakan salah satu rangkaian acara Kongres Nasional ke-18 International Association of Student in Agricultural and Related Sciences (IAAS) Indonesia.
Komite lokal IAAS Universitas Gadjah Mada mengangkat tema integrated farming atau pertanian terpadu karena dinilai sebagai sektor penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Konsep pertanian terpadu tidak terbatas pada bercocok tanam, tapi juga dapat diaplikasikan pada bidang peternakan. Melalui pertanian terpadu, hasil pertanian dimanfaatkan secara optimal hingga tidak ada komoditi yang terbuang. Pengelolaan pertanian terpadu tidak hanya menghasilkan satu jenis komoditi, namun juga produk sampingan lain. “Bahkan limbah pertanian pun dapat dimanfaatkan untuk kepentingan petani,” ujar Prof. Agus. Ia mencontohkan, air seni dan kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk sedangkan tulangnya diolah menjadi tepung. Optimalisasi sektor pertanian inilah yang akan mendorong lahirnya kedaulatan pangan.
Prof. Agus mengungkapkan bahwa mewujudkan kedaulatan pangan melalui pertanian terpadu tidak akan ada tanpa pendampingan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan tenaga ahli yang bersedia ditempatkan di daerah-daerah untuk mendampingi petani. “Kita hanya pintar perencanaan, tapi enggan berjihad langsung di lapangan. Silahkan menjadi kelompok mujahid pangan Indonesia, pelaku dan pejuang pangan,” tuturnya.
Usaha pertanian terpadu telah dilakukan oleh Adhita Sri Prabakusuma, S.P., pengusaha muda Agribisnis yang merupakan pembicara dalam seminar ini. Adhita merangkul petani di Gunung Kidul untuk membudidayakan lele. Selain menjual lele segar, kelompok taninya juga mengolah lele menjadi produk lain. “Kulit lele kami jadikan kerupuk, dagingnya diolah menjadi abon dan kepalanya juga dimanfaatkan sebagai pakan indukan,” tutur Adhita.
Pelaksanaan pertanian terpadu tidak lepas dari kendala dan tantangan, seperti diungkapkan oleh Siti Aminah, salah satu peserta sekaligus pengusaha pertanian terpadu. Mahasiswa S1 Kedokteran Hewan ‘09 ini memberdayakan kelompok tani Desa Giri Mulyo untuk menanam sayuran organik. ”Kendala yang kami hadapi adalah persoalan distribusi dan marketing serta produksi yang belum dapat dilakukan secara massal,” terang mahasiswa yang akrab disapa Ami ini. Walaupun demikian, Ami mengatakan bahwa ia tetap optimis dengan konsep pertanian terpadu. “Saya harap petani Indonesia kedepannya bisa makmur melalui pertanian terpadu,” tuturnya. [Krisnia Rahmadany]