Belakangan ini fenomena artis masuk dunia politik makin menjamur. Fenomena ini seakan menjadi tren baru bagi artis Indonesia. Sebut saja Eko Patrio, Rieke Dyah Pitaloka, dan Rachel Maryam. Ketiganya berhasil mendapatkan kursi di Senayan pada Pemilu 2009 lalu.
Keberhasilan artis menduduki posisi politik sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Arnold Schwarzenegger misalnya. Aktor Hollywood ini berhasil menjadi senat California pada tahun 2003. Jika ditarik lebih jauh, pada1987 aktris film porno Ciciliona bahkan berhasil menjadi anggota parlemen Italia. Kampanye yang ia lakukan tidak tanggung-tanggung: menari telanjang! Tentu hal seekstrim ini tidak terjadi di Indonesia.
Artis yang berhasil dipilih rakyat kemudian sering mendapat sorotan. Motif dibalik pencalonan artis menjadi politisi sering dipertanyakan. Apakah para artis ini memang ingin mengabdikan diri pada masyarakat atau hanya ingin menambah popularitas? Apakah partai politik (parpol) memang memilih orang berkapasitas tinggi atau sekedar mencari suara?
Banyak pihak menilai artis-artis ini hanya mengandalkan popularitas demi mendapatkan jabatannya. Parpol pun disinyalir memanfaatkan popularitas mereka demi mendongkrak dukungan. Julia Perez misalnya. Dia pernah “dilamar” oleh calon bupati Pacitan pada tahun 2010 silam. Walaupun akhirnya gagal, pencalonannya terlihat begitu memaksakan mengingat tidak ada latar belakang atau prestasi politik yang pernah diraih.
Keberadaan tokoh-tokoh yang lebih popular dibanding partainya ini membuat parpol seakan tidak mandiri. Parpol tidak lagi mampu berdiri di atas ideologinya sendiri. Parpol memilih untuk menggandeng tokoh-tokoh terkenal untuk membantunya tegak berdiri, lebih tinggi. Bukan lagi ideologi yang dibawa oleh parpol di setiap kursi, melainkan rasa haus akan kekuasaan.
Disini Artis-artis bukan berarti dilarang memasuki ranah politik. Hanya saja parpol dan rakyat harusnya menilai lebih dalam lagi motif dan track record mereka. Artis-artis ini mengaku ingin mengabdikan dirinya untuk masyarakat, untuk Indonesia. Mereka mengklaim dirinya dekat dengan rakyat dan mampu menjadi wakil rakyat. Namun kedekatan artis di mata publik bukan berarti artis lebih dekat dengan rakyat dan mampu menjadi wakil rakyat. Kita tidak bisa mengatakan artis dekat dengan rakyat hanya karena mereka sering bersalaman dengan rakyat dari atas panggung. Kesibukan para artis pun harus dipertimbangkan. Apakah sang artis mampu membagi waktunya untuk bekerja di dunia hiburan dan/atau di dunia politik.
Itikad baik untuk menjadi wakil rakyat saja tidak cukup. Siapa pun harus punya modal politik saat ingin terjun dalam dunia politik. Percuma jika tokoh politik hanya mengandalkan tampang selama kampanye tapi melempem kinerjanya.
Memang sah saja jika artis ingin mencalonkan diri jadi bupati, DPRD, DPR atau jabatan politik apapun. Toh mereka juga mempunyai hak untuk menjadi politisi. Namun yang harus diperhatikan oleh partai adalah, bahwa popularitas tidak selalu sejalan dengan kapabilitas politik. Kalau partai ingin memenangkan pemilu, maka tunjukan prestasi politiknya, hasil kerjanya. Bukan malah memamerkan prestasi artis yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik.
Tentu kita masih ingat pada 2009 lalu Partai Demokrat mengusung Angelina Sondakh untuk memromosikan kampanye anti korupsi. Tokoh terkenal lainnya juga ditampilkan untuk menyita perhatian rakyat. Sayang, justru ikon partai ini jugalah yang mengkhianati cita-cita Partainya. Kasus Angie ini kemudian membuat banyak orang mulai meragukan kapasitas artis untuk terjun ke dunia politik.
Memang benar kata para realis, politik adalah Structurized Hipocrizy. Disini, siapa pun yang mau masuk politik harus menyembunyikan motif sebenarnya. Entah motif buruk atau motif baik. Yang penting rakyat tahu yang baiknya saja.
Tapi perlu diingat, menjelang pesta demokrasi 2014 masyarakat harus semakin cerdas dalam memilih. Kita, rakyat Indonesia, harusnya bukan pasrah dan menerima apa saja yang disuguhkan oleh para politisi. Sudah banyak kita melihat politisi yang memberi janji palsu saat rakyat memberi ekspektasi lebih. Sangat benar jika kita harus bersikap skeptis terhadap semua obralan politisi ini. Lagipula menentukan masa depan bangsa tidak sama dengan memilih kucing dalam karung, bukan?
Kita hendaknya mampu membedakan mana yang menjunjung nasionalisme dan mana yang omong kosong belaka. Boleh saja menyontreng para artis. Namun jangan lupa pelajari rekam jejaknya, latar belakangnya, baru pilih. Tidak perlu memilih yang populer sedangkan dia tidak punya kapabalitas. Jangan biarkan anggota legislatif kita hanya berisikan orang-orang yang kerjanya hanya 5D; duduk, diam, dengar dan dapat duit.
Ganesh Cintika Putri
Mahasiswa Hubungan Internasional 2012
1 komentar
Keren kak.. bagus artikelnya.. i love it