Judul film : The World Before Her
Sutradara : NishaPahuja
Genre : Dokumenter
Durasi : 90 menit
Tahun Rilis : April 2012
Produksi : Storyline Entertainment
Agar bebas menjadi dirinya sendiri, perempuan harus terlebih dahulu bebas dari dominasi laki – laki.
Di akhir tahun 2012 seorang mahasiswi diperkosa oleh enam laki – laki di Delhi, India. Mahasiswi tersebut kemudian sekarat dan akhirnya meninggal di salah satu rumah sakit di Singapura. Meski kasus pemerkosaan bukan hal yang jarang terjadi di India, peristiwa tersebut memunculkan protes besar – besaran dari perempuan India. Protes tersebut juga mewakili sekian banyak peristiwa kekerasan terhadap perempuan India yang pernah dilakukan oleh kaum laki – laki. Selain banyaknya kasus pemerkosaan, termarjinalkannya posisi perempuan India juga dilihat dari pernikahan dini yang dipaksakan terhadap anak gadis di bawah umur. Selain itu, angka pengguguran janin berjenis kelamin perempuan di India mencapai 750.000 tiap tahun. Banyaknya tindakan tersebut mengindikasikan tindakan sewenang – wenang yang dialami kaum perempuan dari masyarakat khususnya kaum laki-laki. Kondisi demikian yang membuat mereka ingin bangkit dari dominasi laki-laki. Perempuan India berlomba – lomba menunjukan pada dunia bahwa mereka mampu menentukan jalannya sendiri dan lepas dari dominasi laki – laki.
Permasalahan tersebut kemudian diangkat oleh Nisha Pahuja dalam film dokumenter berjudulThe World Before Her. Dalam film berdurasi 90 menit ini, Nisha Pahuja mengambil dua sudut pandang tentang perempuan India yang tengah berusaha memerdekakan dirinya. Pertama, dari sisi Prachi Trivedi, salah seorang mentor Camp Durga Vahini, sebuah ‘pergerakan sayap kanan’ Hindu di India. Kedua, dari sisi para finalis Miss India yang sedang mengikuti 30 hari masa karantina.
Camp DurgaVahinididirikan pada tahun 1991. Setiap tahun, DurgaVahinimenerima ratusan perempuan Hindu India yang berusia 15 – 25 tahun untuk mengikuti camp. Para peserta diajarkan tentang pertahanan diri dan bagaimana menjadi perempuan Hindu yang taat pada agama. Disisi lain, bagi para peserta camp Durga Vahini, menjadi perempuan Hindu yang taat adalah tujuan utama. Perempuan Hindu harus mampu membela dirinya, sebab dengan begitu mereka mampu membela negaranya. Kemudian para peserta camp diajarkan bela diri dan menggunakan senapan. Para mentor mendidik mereka agar tidak ragu – ragu untuk membela agamanya, misal dari gangguan umat Muslim dan Nasrani. Perempuan Hindu tidak perlu berpendidikan tinggi dan mengejar kesuksesan dalam berkarir, tetapi meninggalkan keluarga dan agama. Seperti artis Ashwarya Raid dan Priyanka Chopra yang dianggap kehilangan jati dirinya sebagai perempuan Hindu. Keduanya, menggunakan pakaian seksi yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu produksi Amerika. Disamping itu, mereka bekerja untuk Amerika tetapi berbicara kultur India.
Sementara, dalam karantina Miss India, ada Ruhi Singh, Ankita dan Shweta, tiga finalis Miss India serta Pooja Chopra, Miss India 2009. Ruhi berasal dari Jaipur, salah satu wilayah terpencil di India. Membuat orangtuanya bangga adalah tujuan utama Ruhi mengikuti kontes Miss India. Selama masa karantina ia sangat optimis dan yakin bahwa dirinya akan pulang dengan memakai mahkota Miss India. Jika Ruhi mendapat dukungan penuh dari orang tuanya untuk mengikuti Miss India, tidak demikian dengan Ankita. Dalam film ini ia bercerita bahwa apa yang menurutnya benar, adalah salah bagi keluarganya. Bagi Ankita, India adalah tempat dimana laki – laki berkuasa. Jika perempuan ingin merdeka, maka ia harus keluar dan membangun dunianya sendiri.
Di menit awal, film ini seolah ingin mengadu domba dua kubu perempuan, para peserta camp Durga Vahini dan finalis Miss India. Durga Vahini yang menentang kontes kecantikan seperti Miss India dengan alasan melanggar ajaran agama Hindu. Sementara disisi lain kontes Miss India, dianggap sebagai dunia baru bagi perempuan India yang dinilai melanggar asas – asas ke-Hinduan. Menuju pertengahan film, cerita mulai mengarah pada tujuan inti dibuatnya film. Film ini dibuat untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menjadi perempuan India bukanlah hal yang mudah. Mereka lahir dan besar di negara yang menjunjung tinggi peran laki – laki. Kemerdekaan yang diimpikan oleh perempuan India adalah kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri dan merdeka dari laki – laki. Ketika mereka menemukan media untuk mengekspresikan kebebasannya, hal itu masih juga ditentang baik oleh laki – laki maupun ajaran agama.
Buktinya, Prachi Traverdi di rumah ternyata tak setangguh dirinya ketika menjadi mentor diDurga Vahini. Prachi Traverdi punya keinginan untuk tidak menikah dan mengabdi untuk kegiatan – kegiatan keagamaan. Tetapi itu ditentang oleh ayahnya. Bagi ayah Prachi, menikah adalah kewajiban perempuan Hindu. Prachi yang sejak awal film diperlihatkan sebagai sosok yang galak pun takluk oleh sang ayah. Ia tidak bisa melawan sang ayah, sebab ayahnya telah mengijinkan Prachi hidup, sekali pun dia perempuan. Dalam sejarah keluarga Prachi, anak perempuan tidak dibiarkan hidup, mereka akan dibunuh. Begitu pula dengan kisah Pooja Chopra. Ia dipuja – puja publik sebagai Miss India 2009. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia dibesarkan oleh Ibunya seorang diri. Ketika mengetahui bahwa anak keduanya lagi – lagi perempuan, ayahnya memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Bahkan melalui cerita ibunya, sang ayah sempat meminta agar anak perempuan mereka—Pooja Chopra—dibunuh saja. Tetapi ibunya menolak dan bersumpah bahwa anak tersebut akan menjadi anak yang membanggakan.
Film yang masuk ke dalam program Perspective Festival Film Dokumenter (FFD) 2012 ini memperoleh beberapa penghargaan pada tahun 2012. Diantaranya Best Documentary Feature Tribeca Film Festivaldan Best Canadian Feature Hot Docs Film Festival. Selain itu, film ini juga masuk dalam beberapa nominasi film dokumenter terbaik dan telah diputar di beberapa negara.
Di beberapa bagian, film ini memunculkan gambar tentang kekerasan yang dilakukan oleh laki – laki terhadap perempuan di India. Misalnya, memukul perempuan yang tertangkap sedang pacaran dan yang sedang berada di bar. Tetapi di beberapa bagian, sutradara menyelipkan aksi kekerasan dan perusakan yang dilakukan oleh sekelompok umat Hindu yang dikenal sebagai ‘India Taliban’ terhadap umat Muslim. Dokumentasi tersebut justru menyamarkan fokus utama film ini, yaitu perempuan India. Meskipun sedikitnya mendukung pernyataan tentang efek dari adanya camp Durga Vahini yang merupakan gerakan Hindu fundamentalis. Cara penceritaan film ini pun terkesan monoton. Sutradara menyajikan sisi Durga Vahini dan Kontes Miss India secara bergantian. Jika saja isu yang diangkat tidak menarik, mungkin film ini akan sangat membosankan.
Tetapi terlepas dari kekurangannya, dengan durasi 90 menit, film ini mampu membuka mata publik tentang kondisi perempuan di India. Perempuan India bukan perempuan yang bebas menari dan bernyanyi seperti dalam film Bollywood. Tetapi perempuan yang tengah berjuang untuk bebas dari belenggu laki – laki dan berjuang untuk menemukan dunianya sendiri. [Ayu Diah Cempaka]