Judul : Lupa Endonesa
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Waktu terbit : September 2012
Jumlah halaman : 218 halaman
Bagaimana seorang pemimpin tidak keceh getih (bersimbah darah) dan gupak pulut (terkena kotoran) untuk mewujudkan cita-citanya…, pikir Bilung. Wong ngurus negoro ini gak cukup cuma dengan diskusi dan rembukan seperti kaum cendekiawan. Di pendopo sarasehan, darah dan kotoran telek lencong (tahi ayam) bisa dihindari. (Halaman 50)
Permasalahan yang terjadi di Indonesia begitu beragam, mulai dari masalah kecil hingga masalah besar. Bahkan tak jarang satu permasalahan beranak pinak dan melahirkan masalah-masalah baru. Misalnya kasus Century yang menyeret banyak pihak termasuk bapak wakil presiden sendiri. Ironisnya, sampai sekarang kasus tersebut belum jelas penyelesaiannya. Bahkan diduga terdapat pengalihan isu dengan berbagai kasus lain. Hal tersebut menandakan bahwa sistem birokrasi di negara ini masih labil dan kurang serius.
Rakyat sebagai pemilik saham utama sebuah negara diacuhkan dengan kasus-kasus yang menjerat petugas birokrasi. Hak rakyat Indonesia untuk menikmati kesejahteraan sebagaimana dijanjikan oleh undang-undang hanya menjadi angin belaka. Bahkan undang-undang yang semestinya menjadi salah satu kitab suci demokrasi, beralih fungsi menjadi bahan pembelaan. Esensi naskah undang-undang yang ambigu menjadi strategi jitu para tersangka untuk mengembalikannya menjadi terdakwa, bahkan berbalik menjadi saksi.
Melalui buku Lupa Endonesa, Ki Jiwo, begitu panggilan akrabnya, mencoba mengungkapkan realitas melalui ide-ide pedas namun cerdas. Lulusan ITB ini menuliskan hal-hal yang malu-malu, memalukan, atau tak memalukan tentang persoalan negeri ini. Dengan bahasa terselubung dan melibatkan Ponokawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong), Jiwo menyentil banyak pihak dengan menohok, nyeleneh, tapi banyak benarnya. Pemikiran-pemikirannya akan membuat malu banyak pihak, terutama bagi yang lupa bahwa dirinya adalah bangsa Indonesia dengan identitas budi pekerti luhur.
Salah satu pemikiran cukup nakal namun masuk akal bisa ditemui dalam cerita berjudul Unjuk Rasa Badut-badut. Cerita tersebut mengisahkan kegelisahan Ponokawan yang terancam kehilangan pekerjaannya sebagai pelawak sebab kalah lucu dengan kasus-kasus pejabat. Ternyata masyarakat lebih tertawa geli di depan televisi ketika melihat para pejabat KPK, Polri, dan Kejaksaan yang terjerat kasus ketimbang pelawak sungguhan. Hal itu membuat keluargaPonokawan berpikir keras dan kemudian mengadakan rapat dadakan lantaran dapur mereka sudah tiga minggu tidak menyala.
Akhirnya para Ponokawan sepakat untuk mengadakan unjuk rasa. Aksi turun ke jalan yang dikomandoi oleh Petruk, Gareng, dan Bagong itu diikuti oleh ribuan massa. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pekerja dan pengangguran, yang mengaku kasihan kepada badut-badut sungguhan. Mereka turut prihatin melihat para badut yang terancam kehilangan pekerjaan. Para demonstran tersebut menuntut agar seluruh penyelenggara negara tidak cuma dites kesehatan dan track record mereka, seperti pada fit and proper test. Mereka meminta calon-calon pejabat itu dites juga oleh para psikolog. Jika ternyata punya bakat melawak, maka sebaiknya dijadikan pelawak.
Ponokawan beserta massanya menuntut agar para pejabat keluar dari kantor masing-masing dan bersatu menyambut para demonstran. Ribuan demonstran akhirnya menyerbu para pejabat. Awalnya Ponokawan senang melihat hal itu. Namun, mereka kemudian menangis. Ternyata para demonstran seketika berubah pikiran saat melihat para pejabat secara langsung. Ribuan massa tersebut bukannya mendamprat dan menyampaikan uneg-uneg, malah ingin bersalaman dan mengucapkan terima kasih. Tingkah laku para pejabat yang tempo hari menjadi tontonan masyarakat di televisi sangatlah menghibur. Bahkan banyak dari para demonstran yang minta foto bersama.
Dalang Edan yang kemarin telah menyelesaikan buku berjudul Jiwo J#ncuk ini, sebenarnya mengajak pembaca untuk lebih mencintai Indonesia. Gagasan-gagasan yang tertuang dalam cerita tidak hanya berupa kritikan dan pembolak-balikan kisah wayang yang dicampur dengan tokoh-tokoh masa kini. Misalnya dalam cerita yang berjudul Wayang Tak Pernah Cuti di Hatiku.
Ki Jiwo rupanya cukup lihai dalam mengaktualisasikan ajaran Hasta Brata dengan Pancasila, dan mengajak pembaca untuk memahami Pancasila dengan sudut pandang lain.
Dalam cerita tersebut, dikisahkan seorang lulusan Teknik Mesin menjadi pengajar Pancasila di SMP yang berada di sebuah pulau terpencil. Bambungan, atau kerap dipanggil Bambung, menafsirkan Pancasila berdasarkan ajaran Hasta Brata kepada murid-muridnya. Hasta Brata adalah delapan laku kepemimpinan yang pernah disampaikan Kresna kepada Arjuna di gunung Kutharunggu. Katanya, Ketuhanan yang Maha Esa berarti seluruh warga beserta pemimpinnya boleh kaya dan berkuasa. Namun, tidak boleh mempunyai kemelekatan pada harta benda dan kekuasaan tersebut. Pemimpin hanya melekat kepada Tuhan.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti manakala seorang rakyat membutuhkan harta benda dan kekuasaan untuk kemaslahatan, maka pemimpin harus merelakannya. Hal ini seperti Prabu Yudhistira yang bahkan merelakan darah dagingnya sendiri diiris. Bagaikan Nabi Ibrahim yang merelakan anaknya sendiri disembelih. Persatuan Indonesia berarti menjaga agar Indonesia tetap utuh, supaya keanekaragaman tetap terpelihara. Selanjutnya, hanya orang-orang yang terbukti mampu menjaga keanekaragaman dunia melalui persatuan Indonesia dalam ranah kemanusiaan atas dasar ketuhanan. Orang-orang seperti itulah yang berhak memimpin musyawarah mufakat. Kemudian, tidak boleh ada musyawarah apa pun yang agendanya bukan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemilik nama asli Agus Hadi Sujiwo ini mengungkapkan bahwa ide-ide yang Ia tuliskan adalah berupa khayalan, ngelindur dan bebas. Cerita-cerita yang disajikan dalam buku ini merupakan sebagian dari kumpulan rubrik mingguan Jawa Pos, Wayang Durangpo (ngelindur bareng Ponokawan). Sebab, tidak ada yang salah dalam ngelindur, dan bebas. Hal itulah yang membuat Ia memilih membolak-balikkan cerita wayang, terutama tokoh Ponokawan dengan tokoh-tokoh lain seperti Presiden dan cantrik-cantriknya dalam satu latar. Terlepas dari itu semua, buku ini hadir tidak hanya sebagai kritik pedas atas tingkah badut-badut baru. Namun sebagai cerminan betapa jauhnya anak bangsa kini sudah melupakan Indonesia yang berbudi pekerti luhur. [Taufiq Hakim]