Sebuah sistem tentu memerlukan koordinasi yang kuat antar-unit untuk bisa berjalan lancar. Tapi apa jadinya jika antar sesama unit terjadi benturan? Tentu banyak hal kontradiktif yang bermunculan. Begitulah kiranya jika melihat kenyataan dunia penyiaran Indonesia saat ini.
Sebenarnya, demi menghindari praktik monopoli dan oligopoli dalam penguasaan media, UU Penyiaran No. 32/2002 membatasi penggunaan frekuensi. Karena frekuensi merupakan milik negara dan merupakan hak publik. Sebagaimana yang tertuang dalam UU penyiaran pasal 1 ayat 8, “Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.” Frekuensi pun tak bisa diperdagangkan begitu saja.
Tetapi realitas yang ada tidaklah demikian. Kepemilikan frekuensi tetap saja berada pada genggaman beberapa orang saja. Mereka yang memiliki modal kuat pasti berjaya menguasai penyiaran di negeri ini. Hal ini terjadi karena UU penyiaran yang tersedia tidak mampu menghalangi hasrat pengusaha dalam berbisnis. Untuk memiliki frekuensi lebih dari yang ditetapkan, pengusaha dapat melakukannya melalui perdagangan saham. Dalam UU Perseroan Terbatas No. 40/2007 hal demikian tidak dilarang.
Dua Entitas
Dalam laporan penelitian, hasil riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara yang berjudul “Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia” dipaparkan lima isu utama yang dihadapi industri media di Indonesia saat ini. Isu-isu tersebut ialah: konten, perkembangan teknologi dan ekonomi, kebijakan media, biasnya keterwakilan media, dan profesionalisme jurnalis. Saya pikir sangatlah penting mencermati kelima isu tersebut jika ingin menelaah secara sistemik apa yang harus dilakukan demi peningkatan kualitas penyiaran di Indonesia.
Kelima isu tersebut memiliki titik temu pada regulasi. Keberadaan regulasi atau perundang-undangan sangat memengaruhi keberadaan media yang diatur. Regulasi pulalah yang mengakomodir bagaimana pengisian konten yang tepat, menyesuaikan kebutuhan media dalam hal teknologi dan gempuran dunia ekonomi, menjaga kepentingan publik, serta mampu menguatkan independensi jurnalis demi profesionalitasnya.
Akhirnya, kepentingan publik pun dikorbankan. Kualitas media tergerus dari berbagai sisi. Konten lebih banyak berasal dari pikiran rakus pemilik media. Berapa banyak siaran radio atau televisi yang sifatnya informatif dan edukatif? Media saat ini hanya mampu menampilkan siaran yang sifatnya tidak lebih dari skala hiburan semata. Belum lagi jika berbicara soal keberagaman konten. Televisi yang menamai diri mereka televisi nasional masih saja bersifat Jakarta-sentris. Siaran berjaringan dengan mengandalkan sumber daya dianggap remeh oleh sebagian besar pemilik media. Padahal hal itu diatur oleh undang-undang.
Perlu Langkah Bijak
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk membenahi regulasi dunia penyiaran Indonesia. Pertama, mempertegas kebijakan yang mengatur kepemilikan dan kapitalisasi perusahaan media. UU penyiaran saat ini terasa tumpul karena masih berkutat dalam domain konten. Regulasi mengenai bagaimana sebuah bisnis media seharusnya dijalankan belum matang. Beberapa kebijakan terkesan inkonsisten terhadap satu sama lainnya. Seperti masalah PP yang isinya bertentangan dengan pasal 18 dalam UU penyiaran. Kedua, memperkuat koordinasi antara institusi regulator. Kenyataannya saat ini ada semacam ego sektoral dari berbagai pihak yang berkatian dengan media. Komisi penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) berjalan dengan prinsip masing-masing. Sebagai entitas bisnis, media pun tak luput dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Koordinasi yang tidak jelas dari regulator-regulator yang ada menyebabkan kebingungan untuk memaknai dan mengimplementasikan peraturan yang ada.
Ketiga¸ isu yang selalu merangsek dalam dunia permediaan yakni, menghidupkan keberagaman (diversity) bermedia. Keberagaman tersebut dalam bentuk konten maupun kepemilikan. Hal ini akan terkondisikan jika regulasi telah mantap dan tegas berdiri. Isu keberagaman menjadi sangat penting mengingat media meminjam area yang sebenarnya menjadi hak publik. Seluruh publik dimana pun berada, tentu memiliki kebudayaan, karakter, serta situasi yang berbeda sehingga membutuhkan asupan isi yang berbeda pula. Pada akhirnya, keberagaman dari segi konten mutlak diwujudkan. Begitu pula dengan kepemilikan media. Media yang hanya dimiliki oleh beberapa pihak saja pastilah tidak sehat. Sangat dikhawatirkan memunculkan tendensi besar dalam pemuatan informasi.
Agung Hidayat
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM 2011