Sudah satu tahun Depo Sampah beroperasi. Penampungan sampah yang sempat disangka Shelter Bus karena kemiripannya ini, merupakan usaha UGM menuju kampus Educopolis. Sampai saat ini depo berjumlah 13 unit beberapa diantaranya terletak di sektor Grafika, Sains, Agro dan Fauna.
Depo sampah berfungsi sebagai tempat penampungan sampah sementara sebelum menuju tempat pembuangan akhir. Sebelum ada depo, penampungan sampah sementara menggunakan bak-bak sampah yang terbuka. Sutrisno S. Sos, koordinator Satuan Kebersihan dan Pertamanan (SKP) Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) UGM ditemui di kantornya (14/12) menerangkan alur pembuangan sampah di UGM. Ia menjelaskan bahwa sampah yang ada di setiap fakultas dan kantor akan dibuang oleh unit kerja masing-masing menuju depo sampah terdekat. Sampah tersebut sebelumnya harus dipilah menjadi tiga bagian yakni, sampah organik, anorganik, dan lainnya. Di dalam depo sendiri akan terdapat tiga bagian penampungan jenis sampah. Diharapkan penggolongan sampah dapat terlaksana dengan baik.
Tetapi pemilahan tersebut diakui tidak berjalan dengan baik. âDi dalam depo seharusnya sampah telah terpilah dengan tempat penampungan dalamnya yang sudah disediakan, tetapi kami masih mendapati kantung sampah yang berada diluar penampungan itu,â ujar Sutrisno. Ia menyesalkan petugas dari beberapa unit kerja fakultas dan kantor yang tidak memilah sampah sebelum mengangkutnya menuju depo. Padahal, sebelumnya telah diadakan sosialisasi dan training dari DPPA terhadap unit-unit kerja tersebut.
Prasetyo, petugas kebersihan di Fisipol mengakui bahwa pemilahan sampah idak dilakukan. âPokoknya kita langsung angkut ke depo tanpa pemisahan terlebih dahulu,â ungkapnya. Hal ini jelas memberatkan SKP ketika harus dituntut untuk dapat memilah sampah saat pengangkutan menuju tempat pembuangan. Sutrisno memaparkan dari segi tenaga kerja SKP kekurangan sumberdaya. âAkan sangat membutuhkan waktu untuk dapat memilah, sedangkan kita harus mengangkut tepat waktu dengan jarak yang jauh. Padahal tenaga kita juga kurang mencukupi,â paparnya.
Saat ini SKP memiliki 35 orang pegawai dengan rincian 17 orang yang bertugas untuk mengangkut sampah serta sisanya bertugas di dalam lingkungan kampus. Untuk pengangkutan, 5 orang menggunakan truk dan 2 orang menggunakan mobil pick up. Armada pengangkutan yang dimiliki SKP saat ini berjumlah tiga truk dan satu mobil pick up. Dengan jumlah tenaga kerja demikian, Sutrisno pun mengajukan usul penambahan. âSaya sudah mengajukan permintaan 5 orang, tetapi jujur saja itu masih dirasa kurang,â tuturnya. Tetapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari DPPA mengenai penambahan personel SKP. Alhasil, Untuk mengatasi kekurangan tenaga kebersihan saat ini SKP mempekerjakan tenagaoutsourcing sebanyak 8 orang. âjika anda melihat penyapu-penyapu jalan, seperti yang berada di sekitar perpustakaan depan Fisipol, mereka adalah tenaga outsourcing yang kami pekerjakan,â ungkap sutrisno lagi.
Setelah sampah berada di depo, barulah petugas SKP bertugas. Tiga truk akan dikerahkan untuk mengangkut sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan dan satu mobil pick up dikerahkan untuk mengangkut menuju Laboratorium Daur Ulang Sampah (LDUS) UGM di Berbah. Piyungan merupakan tempat sampah anorganik ditampung, sedangkan LDUS akan menampung sampah organik untuk diolah kembali. âSampah seperti dedaunan kering akan diangkut mobil pick up menuju Berbah. Di Berbah, sampah akan diolah kembali menjadi pupuk kompos,â terang Sutrisno.
LDUS merupakan hibah dari Kementerian Pekerjaan Umum kepada kampus kerakyatan ini. LDUS mulai dipergunakan sejak pertengahan 2011. Mustofa, Kepala Seksi Jalan Pertamanan & Persampahan menerangkan fungsi dari LDUS. âFungsinya tentu saja untuk mendaur ulang sampah organik yang berasal dari lingkungan UGM dan juga lingkungan sekitar masyarakat Berbah,â ungkapnya saat ditemui di kantor DPPA (18/12).
Selain mendaur ulang sampah, Mustofa juga menjelaskan bahwa LDUS juga berfungsi sebagaimana Laboratorium pembelajaran bagi mahasiswa UGM. Disana akan ditemukan proses layaknya pabrik untuk mengolah sampah menjadi pupuk kompos. Beberapa mahasiswa dari fakultas seperti Peternakan pernah melakukan kunjungan penelitian. Saat ini LDUS dikelola oleh Kebun Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4), Sub-Unit pada Unit Sarana Penunjang Penelitian di UGM. Oleh karena itu, rekrutmen tenaga kerja LDUS dilakukan oleh KP4.
Kabarnya, kontrak Piyungan sebagai Tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah-sampah di Kota Yogya dan sekitarnya selama ini akan berakhir pada 2012. Artinya, pemerintah DIY memiliki tanggung jawab untuk mencari lokasi baru TPA sampah. Maka pengangkutan sampah UGM pun dipertanyakan. Menjawab kabar tersebut Mustofa berujar, âSampai saat ini belum ada pemberitahuan lebih lanjut dari pemerintah Kota. Sekarang pun UGM masih menggunakan jasa Piyungan dan mereka tidak pernah menolak.â Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa permasalahan pembangunan lokasi baru TPA sampah adalah permasalahan bersama pemerintahan Yogyakarta-Sleman-Bantul. Perlu kerjasama antara ketiga pemerintah daerah tersebut.
Melihat kemungkinan pemindahan pembuangan sampah bagi UGM, LDUS di indikasikan menjadi alternatif bagi tempat pembuangan khusus untuk UGM. Menanggapi hal tersebut Mustofa menjawab bahwa belum ada rencana seperti itu. âBelum ada alternatif sejauh itu. Sampai saat ini kita masih membuang limbah organik di LDUS karena pasti bisa didaur ulang serta terbukti manfaatnya. Sedangkan limbah lainnya pasti kita bawa ke Piyungan,â ujarnya.
Limbah yang dibawa ke Piyungan bukanlah perkara yang gratis. Untuk melakukan pembuangan sampah dikenakan tarif perbulannya. Tarif pembuangan sampah tersebut mengalami kenaikan yang signifikan. Tarif semula berkisar Rp 400.000/bulan, tetapi sejak tiga bulan yang lalu telah mengalami kenaikan. âSekarang kita telah dikenakan tarif hingga Rp 4.000.000/bulannya,â ungkap Sutrisno. Namun, kenaikan tar
if tersebut sampai saat ini belum menjadi kendala bagi pihak UGM dalam hal pengelolaan sampah. [ Agung Hidayat, Muhammad Onto Kusumo, Nuzula Ichwanun Nabila ]