Penutupan kongres mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu (14/11), berhasil melahirkan lembaga baru bernama Keluarga Mahasiswa (KM) Fisipol. Keputusan ini disahkan peserta kongres yang diikuti oleh sedikitnya tiga orang perwakilan dari masing-masing Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) di Fisipol. Hanya UKMF Sociedad Indonesia para America Latina (SIpAL) yang gagal mengikuti jalannya kongres hingga akhir akibat maladministrasi.
Hasil kongres yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) KM Fisipol pada Bab VI pasal 11 menyebut ada dua organisasi di dalam KM Fisipol, yakni Dewan Mahasiswa (Dema) dan Majelis Mahasiswa (MM). Dema berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang akan dipimpin oleh enam orang wakil jurusan melalui pemilihan langsung yang berbeda dengan pemilihan ketua HMJ. Sementara MM, diisi oleh masing-masing satu delegasi dari HMJ dan UKMF.
Terbentuknya KM Fisipol melalui proses yang cukup panjang. Selama lebih dari empat belas tahun Fisipol tidak memiliki lembaga eksekutif dan/atau legislatif mahasiswa di tingkat Fakultas. Dalam sejarah pergerakan mahasiswa, di era ‘70-an pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0156/U/1978 tentang NKK dan No.037/U/1979 mengenai BKK. Keputusan ini muncul pasca peristiwa Malari 1974 dan banyaknya protes serta demonstrasi di kalangan mahasiswa jelang Pemilu 1977. NKK/BKK lahir sebagai upaya represif pemerintah untuk mengontrol gerakan mahasiswa. Semasa NKK/BKK, Dema dihapus dan diganti dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang mendapat pengawasan ketat pemerintah orde baru. Pasca NKK/BKK, geliat gerakan mahasiswa diwadahi dalam Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) di 1990-1991. Di UGM sendiri terjadi kontroversi terhadap berjalannya SMPT. “Dalam dinamika pro-kontra itu SMPT tetap berjalan,” ujar Arie Sudjito, Dosen Sosiologi cum mantan aktifis era ’90-an.
Setelah era SMPT, menurut cerita Arie, terjadi pergolakan pergerakan mahasiswa baik di Fisipol maupun tingkat Universitas. Ia menuturkan, pada 1994 saat ia duduk di Senat Mahasiswa Universitas terjadi deadlock sampai tiga kali pada kongres mahasiswa. Pada forum tersebut diusulkan pembubaran Senat Mahasiswa dan BEM. Pasca kongres berdirilah Dewan Mahasiswa dengan deklarasi di Fisipol. “Saat itu, senator dari berbagai fakultas termasuk Fisipol mendirikan Dewan Mahasiswa,” ungkapnya. Arie menuturkan, pembentukan Dewan Mahasiswa sebagai antitesis dari sikap korporatif negara. “Sudah menjadi isu nasional saat itu, bahwa mahasiswa diperlakukan sebagai agen kekuasaan,” paparnya.
Amalinda Savirani, Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan cum mantan ketua BEM Fisipol periode 1996-1997 bertutur dua faktor penyebab bubarnya BEM Fisipol. Pertama, terjadinya disorientasi gerakan mahasiswa pasca reformasi 1998. “Saat era Soeharto mahasiswa bersama-sama melawan rezim, tapi setelah itu tidak ada lagi,” tuturnya. Faktor kedua menurut Linda berasal dari diri mahasiswa sendiri, di tingkat mahasiswa, sudah marak paradigma study oriented. Akibatnya, saat pemilihan ketua BEM 1999 tidak ada yang mencalonkan. “Kanbingung, program tidak berjalan, dan akhirnya bubar,” tuturnya.
Feriawan Agung Nugroho,S.Sos. mantan ketua BEM Fisipol 1997-1998 memiliki versi lain soal bubarnya BEM Fisipol. Pada 1997, terjadi pergolakan serius di tubuh BEM Fisipol. Ia menuturkan, banyak konstelasi kepentingan di tubuh BEM Fisipol saat itu. “Ada pihak yang tidak menghendaki adanya lembaga yang hegemonial,” tuturnya. Feri menambahkan, saat itu hampir semua orang yang berada di lembaga mahasiswa berafiliasi dengan kelompok ekstra kampus. “Setiap gerakan ekstra menaruh orang-orangnya pada organisasi di kampus guna mendapat keuntungan,” tuturnya. Lebih jauh, Feri menceritakan konstelasi kubu yang terjadi di Fisipol. “BEM hanya representasi dari tarik-ulur banyak gerakan,” ungkapnya. Feri juga menambahkan, BEM tidak murni sepenuhnya mewakili masa di kampus, hanya sebagai pintu gerbang lembaga-lembaga ekstra untuk masuk ke dalam kampus dan melakukan indoktrinasi. Feri mencontohkan lembaga-lembaga selain BEM, seperti Jama’ah Shalahudin (JS) dan Jama’ah Mushola Fisipol (JMF) yang digunakan sebagai kantung-kantung basis massa. “Inilah mungkin yang dilihat teman-teman kubu kontra BEM, mereka berpikir kalau tidak ada BEMtoh tidak apa-apa,” jelasnya.
Puncak konstelasi politik terjadi saat ospek mahasiswa baru. Kubu kontra BEM masuk pada tim acara dan mengatur jalannya ospek. “Saat itu, mahasiswa baru diminta berteriak ‘bubarkan BEM! bubarkan BEM!,’” kenangnya. Pasca ospek, keadaan semaking keruh. Feri menuturkan, BEM Fisipol mengalami teror dari pihak tertentu. “Kaca jendela sekretariat kami pecah dan bau kencing,” ujarnya. Ia menambahkan, keadaan BEM Fisipol semakin memburuk dan program tidak berjalan. “Bahkan pada akhir kepengurusan, LPJ saya ditolak,” tuturnya. Pasca kepengurusan Feri, BEM Fisipol masih menyelenggarakan pemilihan ketua. “Setelah kepengurusan saya, Santi terpilih menjadi ketua, namun tidak sampai tuntas dan bubar di tengah jalan,” ungkapnya. Menyoal bubarnya BEM Fisipol, Feri menceritakan tidak ada seremonial khusus. “BEM Fisipol setahu saya tiba-tiba menghilang begitu saja,” tegasnya. Pasca bubar, tidak ada lagi geliat lembaga mahasiswa di tingkat Fakultas. “Ada semacam trauma, karena saat itu yang harusnya menjabat adalah mahasiswa yang mengikuti ospek saat BEM Fisipol kisruh,” tandasnya.
Setelah lebih dari delapan tahun tidak memiliki lembaga tingkat fakultas, Fisipol mendirikan Forum Komunikasi (Forkom) yang beranggotakan ketua HMJ tiap-tiap jurusan. Forkom terbentuk pada 2006 dengan tujuan menjalin kerjasama dan komunikasi antarjurusan. Dalam perjalanannya, Forkom selalu berusaha menjadi organisasi legal. “Usaha untuk melegalkan forkom sudah ada sejak mulai dibentuk, namun tidak juga berhasil,” ungkap Faisal A. Kamil, mantan koordinator Senat Mahasiswa Fisipol. Forum tersebut kemudian berubah menjadi Senat Mahasiswa melalui kongres pertama yang dilaksanakan pertengahan Juni 2012. Faisal mengaku, kongres pertama sangat bersifat elitis dan dianggap belum dapat memperoleh format organisasi yang diinginkan. “Senat mahasiswa berjalan tak efektif karena terjadi dualisme kepengurusan mengingat anggotanya merupakan perwakilan pengurus HMJ dan UKMF yang ada,” ungkapnya. Hasil kongres pertama itu memutuskan, akhir 2012 akan diadakan kongres berikutnya untuk mencari format terbaik.
Senada dengan Faisal, Muhammad Zaki Arrobi, koordinator Badan Pekerja (BP) kongres menceritakan, hasil kongres pertama dianggap masih membutuhkan kajian-kajian ilmiah dan akademis untuk membentuk sebuah lembaga baru. Oleh karena itu, hasil kongres juga mengamanatkan diadakannya kongres lajutan yang lebih representatif. “Oktober kemarin Senat Mahasiswa Fisipol membentuk BP untuk kongres kedua ini,” ujarnya. Lebih lanjut, Zaki mengungkapkan, selama dua bulan terakhir tim BP selalu mengadakan kajian dan diskusi guna merumuskan bentuk lembaga yang representatif dan demokratis bagi mahasiswa Fisipol.
Lobi-lobi jelang kongres telah dilakukan sejak beberapa bulan sebelumnya hingga akhirnya disepakati format KM. Format ini dianggap tepat karena melibatkan semua elemen mahasiswa dan dapat mengakomodasi seluruh kepentingan serta tidak dipimpin oleh satu orang seperti halnya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Faisal menyebutkan bahwa konsep ini dapat diterima dengan baik oleh semua pihak. “Antusiasme mahasiswa Fisipol juga tinggi diukur dari banyaknya jumlah pendaftar sebagai panitia,” paparnya. Ia menambahkan, adanya KM Fisipol ini penting dan sangat strategis fungsinya untuk merespon isu, menciptakan program-program, memenuhi undangan-undangan, dan berhubungan dengan dekanat.
Munculnya KM Fisipol sekaligus menandai usainya masa vakum organisasi mahasiswa di tingkat fakultas yang tidak dimiliki Fisipol semenjak empat belas tahun silam. Linda menyambut baik lahirnya KM Fisipol. Menurutnya, KM Fisipol dapat menjadi penguat demokrasi. Linda juga berharap, lembaga ini dapat menjadi pengisi ruang publik, memantik diskusi-diskusi di kalangan mahasiswa dan mampu berjejaring serta berorientasi keluar. “Tantangannya, KM sekarang jangan cuma hangat-hangat tahi ayam. Pastikan ada instrumen kaderisasi yang menjamin keberlanjutannya,” ungkapnya.
Senada dengan Linda, Arie Sudjito menyatakan dukungannya kepada KM Fisipol. Ia berpesan, KM Fisipol hendaknya bisa menjadi laboratorium politik bagi mahasiswa. “Artinya harus ada nilai-nilai kebersamaan dan saling belajar,” tuturnya. Ia juga mengingatkan, jangan sampai yang berkuasa di lembaga mahasiswa adalah organisasi ekstra kampus. “Emangnyakita ini setgab (Sekretariat Gabungan-red)? Kayak Demokrat dan Golkar, bagi-bagi jabatan saat menang,” ujarnya. Arie melanjutkan, tantangan ke depan bagi KM Fisipol adalah sosialisasi dan konsolidasi internal. Di sisi lain, lembaga ini juga harus mampu membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok kepentingan di Fisipol. “Bangun jaringan ke luar, benahi alat-alat kelengkapan organisasi dan siap untuk dikritik,” paparnya.
Di kalangan mahasiswa Fisipol sendiri, keberadaan KM Fisipol secara de jure belum banyak diketahui. Reynaldo Apriyandi Tobing, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional 2011 mengaku tidak tahu menahu. Setelah mendapatkan penjelasan secara garis besar, ia berpendapat, semestinya lembaga ini dapat menciptakan keadilan. “Alasannya, ada enam jurusan yang terlibat dan masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda,” tuturnya. Senada dengan Reynaldo, Suryo Hapsoro, mahasiswa Sosiologi 2010 juga menyatakan ketidaktahuannya. Di sisi lain, menurutnya urgensi keberadaan lembaga mahasiswa tersebut masih perlu dipertanyakan. “Sejauh ini keberadaan lembaga mahasiswa khususnya di Fisipol tidak memberi pengaruh besar bagi saya pribadi,” ungkapnya. Ia menekankan, lembaga mahasiswa harusnya ada untuk membantu hubungan mahasiswa dengan birokrasi kampus. “Mulai dari masalah kecil, misalnya mengurus Kartu Rencana Studi yang bermasalah atau absensi yang bermasalah. Hal-hal tersebut belum dapat ditangani oleh lembaga mahasiswa sejauh ini,” tandas Suryo. [Mukhammad Faisol Amir, Khalimatu Nisa]