Minggu, (2/12) dilangsungkan sosialisasi dengan tema Empat Pilar Kebangsaan di Auditorium Fakultas Peternakan pukul 12.30. Siang itu, H. Cholid Mahmud, S. T., M. T. selaku anggota MPR RI hadir sebagai pembicara. Acara yang berlangsung atas kerja sama BEM Fakultas Peternakan (Fapet) dengan MPR RI ini merupakan satu dari serangkaian kegiatan yang tergabung dalam Indonesia Tersenyum Festifal (Interfest) 2012. Selain sosialisasi, hari itu ada pula penyerahan buku berjudul “Indonesia Melawan” kepada MPR RI. Buku tersebut berisi esai 30 aktivis mahasiswa yang ada di UGM dengan berbagai tema.
Meski bertajuk sosialisasi, dalam prosesnya acara ini malah lebih cenderung pada diskusi publik. Cholid menyatakan bahwa dengan adanya diskusi ini diharapkan MPR mendapat banyak masukan dan saran sehingga dapat membangun Indonesia yang lebih baik. “Sepertinya terlalu merendahkan teman-teman apabila saya hanya memberi kuliah mengenai dasar negara,” ujarnya.
Dalam diskusi yang dimoderatori Dwi Budi Utomo ini muncul banyak pertanyaan dan pendapat. Antara lain mengenai pemerataan kegiataan sosialisasi, anggaran, amandemen, pendidikan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lainnya. Tak hanya mahasiswa, peserta umum pun turut bertanya dan berpendapat dalam diskusi ini.
Salah satunya adalah Setiono Widodo, mantan anggota BPK. Ia bertanya mengenai proses amandemen yang dirasa menyimpang terkait jangka waktu. Menanggapi pertanyaan tersebut, Cholid menjelaskan bahwa UUD bukan diamandemen sebanyak empat kali. “Amandemennya hanya sekali, namun prosesnya terbagi menjadi empat tahap tahap pengesahan UU,” terang Cholid. Hal ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Dampaknya, beberapa UU harus disahkan lebih awal. “Jadi tidak ada penyalahan apapun terkait jangka waktu minimal amandemen, yaitu 5 tahun,” tambahnya.
Selain amandemen, ada juga peserta yang bertanya mengenai alokasi dana pendidikan. “Menurut statistik yang saya baca, alokasi dana pendidikan bisa dikatakan tidak tepat,” ujar Heru, perwakilan BEM KM UGM. Ia menambahkan bahwa dana yang dipakai untuk operasionalisasi pendidikan tidak sampai 12% karena terpotong gaji guru tidak tetap (GTT) dan karyawan. “Padahal kan seharusnya gaji guru terpisah dari dana pendidikan,“ terangnya.
Persentase anggaran pendidikan yang tercantum dalam UU no. 4 pasal 29 tahun 2012 adalah sebesar 20,1% atau sekitar 310 triliun dari total APBN. Cholid membenarkan bahwa Idealnya, keseluruhan dana hanya digunakan untuk biaya operasional pendidikan, terlepas dari gaji GTT dan karyawan. “Namun, kenyataannya negara kesulitan memenuhi tuntutan tersebut,” terangnya. Oleh karena itu, sebagai solusi MK memperbolehkan negara mengambil sebagian dana pendidikan untuk membayar gaji GTT dan karyawan.
Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa APBN tahun ini ada sekitar 1.500 triliun rupiah, namun uang yang tersedia untuk operasionalisasi tidaklah sebesar itu. “Per tahun, sepertiga dari APBN kita digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang luar negeri,” terang Cholid. Sedangkan sepertiga lainnya dibagi kepada provinsi dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa nyaris kurang dari 500 triliun dana yang tersedia untuk operasionalisasi aktivitas negara. “Itupun belum dipotong subsidi BBM yang mencapai 200 triliun rupiah,” tuturnya.
Masih terkait anggaran, Cholid menyatakan bahwa pada generasi selanjutnya, dalam membuat sebuah kebijakan harus ada perencanaan yang matang. Hal ini karena satu perubahan akan mempengaruhi kebijakan yang lain. “Jadi, jangan membuat kebijakan yang akan memberatkan negara, karena dibelakang masih ada banyak hal tidak terduga yang mungkin muncul,” pungkasnya.
Dwi Budi Utomo selaku moderator  turut membenarkan pernyataan Cholid. “Negara ini milik rekan semua, dan nantinya generasi inilah yang akan memimpin,” ujarnya. Ia juga menyatakan bahwa siang itu bukanlah sekedar sosialisasi, tapi juga sarana membangkitkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah-masalah bangsa.
Harapan serupa juga disampaikan oleh Luthfan Basalamah selaku Wakil Ketua BEM Fapet. Ia berharap kegiatan ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi gerakan mahasiswa yang saat ini semakin lemah. “Harapannya kegiatan ini bisa menjadi pembangkit gerakan dengan ruh yang sama, yaitu perjuangan, namun dengan gaya yang baru dan berbeda,” terangnya. [Dian Puspita]