Pada tahun 1864 Surabaya sudah tercatat memiliki 228 perempuan yang memiliki profesi sebagai pelacur di bawah pengawasan 18 pemilik rumah bordil. Studi tersebut menunjukkan, bahwa bisnis seks di Surabaya sudah ada mulai jaman penjajahan,termasuk yang melibatkan anak-anak perempuan. (Bull, 1997)
Fenomena perdagangan anak perempuan di Indonesia semakin memprihatinkan. Mereka tidak hanya dipekerjakan di sektor industri, pertanian atau perkebunan. Namun, anak perempuan juga sering kali dipaksa bahkan terjebak dalam pekerjaan yang tidak manusiawi, seperti dunia pelacuran. Prostitusi dan perdagangan perempuan seolah-olah menjadi ajang bisnis yang strategis dan perlu dijaga keberlangsungannya secara turun temurun. Hal ini sangat ironis mengingat mayoritas masyarakat Indonesia memiliki nilai, norma dan adat istiadat yang kuat.
Banyak hal yang menyebabkan seseorang terjebak dalam dunia pelacuran, di antaranya adalah karena keterpaksaan, motif ekonomi, dan pengaruh dari teman. Keterpaksaan yang dialami oleh korban pelacuran biasanya timbul karena dirinya sudah tidak suci, misalnya telah diperkosa. Para korban menjadi putus asa dan sebagian dari mereka memilih pelacuran sebagai dunia yang harus dijalani. Motif ekonomi dan pengaruh teman juga merupakan salah satu faktor penyebab. Hal ini berkaitan dengan pengaruh gaya hidup hedonis dan pergaulan yang bebas, seperti di lingkungan perkotaan.
Kehidupan kota memiliki daya tarik atas segala iming-iming kesuksesan yang sudah melekat pada pikiran masyarakat desa, termasuk di kalangan anak-anak. Sebagian dari mereka yang masih dalam usia sekolah mulai memimpikan kehidupan kota yang modern. Hal tersebut menjadi bagian dari sebuah habitat yang lebih terbuka untuk mewujudkan impian dengan datang ke kota. Akibatnya terjadi pergesekan antara nilai-nilai modernitas dan tradisional dalam diri mereka.
Fenomena perdagangan anak yang dijadikan pelacur di Surabaya menjadi fokus studi Yanuar Farida Wismayanti. Ibu dari satu anak ini memusatkan pada keterlibatan kerabat yang seringkali berujung pada eksploitasi seksual. Kondisi ini biasanya memiliki keterkaitan antara kehilangan keperawanan, dunia hiburan, dan pelacuran. Lulusan Pascasarjana Program Studi Antropologi 2010 ini menyoroti berbagai alasan tentang pengkondisian anak-anak yang dijadikan korban pelacuran. Ia juga menjelaskan relasi sosial yang terjadi antara korban dengan keluarga, kerabat, ataupun pelaku sosial lainnya dalam masyarakat di daerah asal. Pada bab awal juga dipaparkan pengaruh gaya hidup konsumerisme dan hedonisme terhadap korban melalui komersialisasi seks.
Penelitian ini bertujuan untuk membangun wacana baru dalam mengembangkan sebuah strategi melawan perdagangan anak yang dijadikan pelacur. Peneliti juga mengedepankan prinsip terbaik untuk para korban yang disampaikan dalam bab akhir. Penyusunan data menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan observasi etnografis. Data-data yang diperoleh berasal dari hasil wawancara langsung dengan beberapa korban pelacuran. Peneliti memilih Surabaya sebagai objek penelitian karena merupakan kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Selain itu, berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga, Surabaya terbukti menjadi tujuan dan jalur penting perdagangan anak untuk dijadikan pelacur.
Praktik perdagangan anak yang dijadikan pelacur melibatkan sistem kekerabatan. Temuan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa anak dari kerabat bahkan satu keluarga yang dijadikan pelacur. Pernikahan dini, rendahnya pendidikan, termasuk imajinasi kehidupan kota merupakan penyebab mereka untuk terlibat dalam dunia pelacuran. Penjaringan sebagian besar dilakukan oleh teman dekat dan kerabat perempuan.
Peneliti memberikan beberapa solusi bagi penanganan masalah pelacuran dan perdagangan perempuan. Solusi tersebut berupa upaya preventif (pencegahan) yang dapat dilakukan melalui institusi pendidikan, kampanye media massa, dan monitoring perlindungan anak melalui mobilisasi komunitas. Upaya rehabilitatif (pemulihan) diaktualisasikan melalui pemberdayaan hak anak, pelayanan rumah aman, dan layanan dukungan untuk membantu mereka keluar dari lokalisasi. Solusi terakhir merupakan upaya sosial integratif melalui proses antara anak dengan keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Penelitian semacam ini dirasa perlu untuk mengetahui suatu fenomena sosial budaya di sekitar kita dengan lebih mendalam. Namun sayangnya, keterlibatan pemerintah dalam menangani pelacuran dan perdagangan perempuan tidak banyak disinggung. Peneliti cenderung menempatkan kekuatan data yang akurat sebagai pondasi utama. Akan tetapi, pemilihan diksi, peletakan titik dan koma yang terkadang kurang tepat, serta penggunaan beberapa kalimat yang tidak efektif membuat pembaca cepat lelah. [Moh.Taufiqul Hakim, Amirul Yaqin, Biawnillah]
1 komentar
Artikel yang menarik dan bermanfaat. Universitas Airlangga, Indonesia menuliskan artikel tentang pelacuran anak. Untuk artikel lebih lengkapnya akan saya bagikan link artikel di bawah ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
http://news.unair.ac.id/2020/08/03/ketidakberdayaan-anak-yang-dilacurkan/