Mereka bukan polisi, bukan pula tentara. Mereka adalah santri pesantren yang memiliki loyalitas terhadap ideologi, negara, dan agama.
Sejak berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908, organisasi kepemudaan di Indonesia mulai bermunculan di Indonesia. Pada awalnya, organisasi kepemudaan berfungsi sebagai wadah kaum-kaum intelek dalam usaha merebut kemerdekaan secara diplomatis. Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi dari organisasi tersebut kian berkembang. Fungsinya sudah mulai menjurus ke berbagai bidang mulai dari sosial, edukasi, olahraga, bahkan militer.
Di era reformasi organisasi kepemudaan militer kian dilupakan masyarakat. Namun, sebagian dari mereka masih eksis hingga saat ini. Salah satunya adalah Banser (Barisan Serbaguna) yang merupakan kelompok paramiliter semi-otonom dari organisasi Pemuda Ansor berada dibawah naungan Nahdlatul Ulama’ (NU). Sebagai badan yang di bentuk oleh NU, peran Banser diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi lembaga pembentuknya. Contoh kongkritnya adalah mengamankan berbagai acara yang menyangkut kepenting NU. Ketika acara tersebut diselenggarakan, sering dijumpai sekelompok orang berseragam militer. Kelompok tersebut bertindak sebagai aparat penjaga keamanan dan ketertiban selama acara berlangsung. Mereka bukanlah, satpam, polisi ataupun tentara, mereka tidak lain adalah anggota Banser. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya fungsi Banser itu sendiri, bagaimana sistem perekrutanya dan apa latar belakang anggotanya.
Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi Banser tidak hanya melindungi kepentingan NU. Kini Banser mulai berfungsi untuk membantu menjaga keamanan dan stabilitas nasional. Hal tersebut yang dibahas Hairussalim, mahasiswa S2 Program Studi Antropologi 1998 dalam tesisnya “ Banser: Konstruksi Budaya Sebuah Kelompok Paramiliter”. Dalam tesis ini Hairussalim ingin mengungkap beberapa permasalahan yang ada dalam perjalanan banser hingga saat ini. Masalah yang diungkap mulai dari latar belakang banser hingga peranan banser dari awal berdiri sampai masa kepresidenan Abdurrahman Wahid. Selain itu beliau mengkaji fungsi serta peran organisasi banser di mata masyarakat.
Hairussalim menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data. Metode dilakukan mulai dari mengambil data dari referensi tertulis hingga melakukan observasi dan wawancara langsung. Penelitian tentang Banser ini mengalami berbagai kendala yanag cukup rumit. Mereka hanya ditugaskan jika ada acara besar yang menyangkut kepentingan NU sehingga observasi dan wawancara dilakukan secara spontan. Observasi dan wawancara semakin sulit karena pengurus Banser seringkali tidak memberitahukan waktu penugasan Banser. Padahal, sebelumnya penulis telah meminta untuk dihubungi oleh pengurus banser jika banser bertugas. Selain itu, lingkup penelitian Hairussalim terbatas pada wilayah DIY dan sekitarnya karena wilayah tersebut cenderung lebih mudah untuk diobservasi dibandingkan dengan daerah lain. Karakteristik antara anggota Banser berbeda di Jawa khususnya jawa timur lebih radikal, sedangkan diluar pulau jawa cenderung lembek .
Temuan yang menarik dari tesis ini adalah pengabdian anggota Banser terhadap NU, pesantren, dan kyai. Anggota banser yang sebagian besar adalah santri memiliki loyalitas yang besar terhadap ketiga hal tersebut. Loyalitas tersebut dibangun melalui pendidikan secara fisik maupun mental. Pendidikan tersebut mencakup pelatihan militer ditambah dengan pencak silat,ilmu kanuragan, dan tenaga dalam. Hal menarik lainnya adalah masyarakat dibeberapa daerah lebih mempercayai banser daripada aparat penegak lainnya seperti polisi ataupun tentara. Pengabdian tersebut dibayar dengan kepercayaan masyarakat yang lebih dibanding aparatur keamanan yang lain. Kepercayaan yang diperoleh dari masyarakat disebabkan sejarah banser itu sendiri, dimana doktrin yang terbentuk membuat anggota banser loyal terhadap NU dan masyarakat.
Tesis ini menunjukan kepada kita hal-hal yang selama ini jauh dari pikiran orang selama ini. Kebanyakan dari kita berpikir Banser hanyalah suatu organisasi semi militer yang bertugas mengamankan dan menertibkan jalannya suatu acara yang berbasis NU. Padahal dibalik itu semua, barisan ini mempunyai peran dan andil cukup besar dalam stabilitas keamanan Indonesia. Misalnya dalam perayaan besar umat kristiani, anggota banser turun menjaga keamanan di sekitar gereja. Hal tersebut selain sebagai bentuk mewujudkan keamanan, juga merupakan wujud toleransi beragama dari anggota banser sendiri. [Roni Sulfa Ali, Rifki Afwakhoir, Anggrelika Putri]